Monday, July 3, 2017

Kriminalisasi HT Langgar Prinsip HAM


Koran Sindo, 2 Juli 2017


JAKARTA– Penetapan tersangka Ketua Umum DPP Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) dalam kasus SMS dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi yang dijamin UUD 1945.

Pasalnya isi SMS kepada Jaksa Yulianto itu sangat jelas tidak mengandung unsur ancaman sedikit pun. Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM DPR Desmond J Mahesa meyakini ada sesuatu di belakang pengusutan kasus SMS. Dia melihat sangat jelas bahwa Jaksa Yulianto melaporkan SMS itu ke kepolisian karena ada orang yang menyuruh dirinya terlebih dulu.


Buktinya adalah tindakan Jaksa Agung M Prasetyo yang lebih dulu membuat pernyataan kepada media bahwa HT tersangka, padahal kepolisian sendiri menyatakan bahwa status HT masih saksi. Berkaca dari hal tersebut, dia menilai dorongan politik dalam kasus SMS sangatlah kental. “Berarti ini kan ini sesuatu dorongan politik, ini tidak murni hukum.


Ini lebih ke politik, jadi kalau ada pakar yang berpendapat ini salah satu pelanggaran HAM yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, betul sekali itu,” papar Desmond kemarin. Dia juga menyesalkan kondisi penegakan hukum pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karena, menurut dia, faktanya pemerintah saat ini terkesan buta hukum dan sewenangwenang.


Bahkan pemerintah lewat aparat hukumnya diduga kuat melakukan gerakan-gerakan politik penzaliman terhadap orang-orang yang berbeda paham politiknya. Menurut Desmond, pemerintah telah menggunakan hukum sebagai alat politik amputasi untuk menyingkirkan lawan politiknya. Penetapan tersangka terhadap HT merupakan salah satu contohnya.


Seperti diketahui bersama, HT merupakan Ketua Umum DPP Partai Perindo, pemilik grup media besar, mendukung Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilgub DKI Jakarta serta mendukung Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 lalu. “Itu yang membuat dia (HT) ditersangkakan. Itu membuat pemerintah merasa terganggu, itu namanya politik amputasi terhadap tangan-tangan yang dianggap akan mengganggu kekuasaan,” ungkapnya.


Desmond meyakini skenario politik ini merupakan bagian dari persiapan Jokowi untuk mencalonkan diri kembali pada Pilpres 2019. Tapi seharusnya pemerintah tidak mempertontonkan rusaknya catatan sejarah hukum dan ketatanegaraan secara vulgar karena hal itu justru akan merusak citra Jokowi. Menurutnya, Jaksa Agung telah salah melakukan penanganan hukum.


Padahal halhal seperti ini yang bisa membuat Jokowi bisa tidak terpilih lagi untuk yang kedua kali karena mempertontonkan ketidakadilan- ketidakadilan. “Polisi (diduga) melakukan kriminalisasi terhadap ulama, Jaksa Agung melakukan pengamputasian terhadap lawanlawan politik seolah ini dibuat untuk (mendukung) Pak Jokowi, padahal (sebenarnya) merusak Pak Jokowi,” tegasnya.


Karena itu, lanjut Desmond, politik amputasi ini tidak hanya HT yang akan menjadi korban. Tapi, menurut dia, lawan politik Jokowi yang dianggap menghalangi langkah pemerintah juga akan diperlakukan sama. Sebelumnya sudah ada tokoh reformasi Amien Rais yang dituduh menerima suap Rp600 juta dalam kasus korupsi alat kesehatan tanpa bukti yang jelas.


Upaya Mabes Polri menetapkan HT sebagai tersangka terus menuai kritikan. Bahkan langkah arogan dan sarat kepentingan politik dalam kasus SMS terhadap Jaksa Yulianto ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM. “Kasus yang menimpa HT adalah contoh langkah negara melanggar konstitusinya dan ini mengarah pada bentuk-bentuk pelanggaran HAM,” ungkap pengamat politik Point Indonesia Arif Nurul Imam kemarin.


Menurut dia, negara semestinya menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dalam kehidupan bernegara. Selain dijamin negara yang diatur dalam UUD 1945, kebebasan berpendapat juga bagian dari pilar demokrasi. Arif Nurul mengharapkan, Presiden Jokowi mengembalikan kewibawaan negara dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi.


Negara, menurut dia, harus memberikan ruang partisipasi masyarakat yang lebar, pelibatan dalam proses kehidupan bernegara secara luas, dan tidak mengebiri hak-hak berpendapat. Dengan demikian beragam bentuk ekspresi warga negara dalam kehidupan berdemokrasi dihargai dan tidak dikriminalisasi. “Jokowi jelas harus melakukan koreksi besar.


Kehidupan demokrasi di Indonesia sudah menjadi contoh bagi dunia. Jangan sampai dimundurkan dan lebih parah dari Orde Baru,” tandasnya. Arif melanjutkan jangan sampai justru Presiden melakukan pembiaran upaya kriminalisasi anak bangsa yang ingin memberikan sumbangsih pemikirannya melalui sebuah pendapat.


“SMS HT itu konyol kalau dikatakan mengancam, siapa yang diancam? Kenapa kok Yulianto takut dengan kalimat akan diberantasnya polapola penegakan hukum yang transaksional dan abuse of power,” paparnya. Saat ini rakyat Indonesia sudah bisa membaca dan melihat dengan jelas. Dengan demikian sangat wajar jika muncul suara miring terhadap kejaksaan karena terlalu sensitif atas SMS tersebut.


“Ini kan bentuk penjegalan kepada HT. Ironisnya Polri juga terlalu gegabah dengan menetapkan HT sebagai tersangka. Penegakan hukum semestinya dijauhkan dari syahwat politik agar rakyat percaya pada penegakan hukum,” tandas Arif.

Kemunduran Hukum

Sebelumnya pakar hukum Universitas Indonesia Chudry Sitompul menganggap proses hukum yang dialamatkan kepada HT lebih berdasarkan kepentingan dan bukan persoalan hukum murni. Dia menilai SMS ancaman yang dituduhkan juga hasil dari upaya mencari- cari kesalahan seseorang. “Jadi mencari-cari alasan supaya bisa memenuhi keinginan atasannya dan ini sangat berbahaya terhadap proses penegakan hukum,” ujar Chudry.

Dia juga menyayangkan masih adanya proses penegakan hukum semacam ini di Tanah Air. Sebab kondisi ini menurut dia berseberangan dengan semangat reformasi yang menginginkan adanya penegakan hukum yang profesional dan tidak berdasarkan kepentingan. “Ini menjadi kemunduran sejak era reformasi,” kata dia.

Chudry menambahkanbahwa semangat penegakan hukum pasca-reformasi adalah menjadikan hukum sebagai panglima dan bukan politik sebagai panglima. “Kondisi ini mengurangi kepercayaan publik terhadap pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia,” tegasnya. Pakar hukum pidana Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) Muh Khambali menilai agak janggal publikasi status tersangka terhadap HT.

Jaksa Agung mengatakan HT sudah menjadi tersangka, sementara di sisi lain Kabareskrim pada saat yang sama justru menyatakan belum tahu. Menurut dia, surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) memang yang mengeluarkan kejaksaan, tetapi status tersangka yang menetapkan adalah penyidik kepolisian.

“Kok Kejagung sudah tahu duluan, sementara Kabareskrim selaku penyidik belum tahu? Ini bisa menjadi pintu masuk untuk mempersoalkan penetapan tersangka ini,” terangnya. Lebih jauh Khambali mengatakan secara normatif penyidik boleh menetapkan tersangka sepanjang terpenuhinya dua alat bukti.

Penetapan tersangka ini belum tentu melanggar HAM kecuali jika proses dan prosedurnya dilanggar, maka ada potensi pelanggaran HAM di situ. “Saya sarankan Pak HT melakukan praperadilan. Publikasi tersangka oleh Kejagung tadi bisa jadi pintu masuk untuk mempersoalkan itu. Bagi penguasa yang tidak berhati mulia, hukum memang bisa menjadi alat pembenar, alat untuk melanggengkan kekuasaan,” tandasnya.

Pengamat hukum pidana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Sudaryono menilai SMS yang dikirimkan HT tidak ada unsur ancamannya. Isi SMS sekadar koreksi terhadap orang yang dikirimi. Karena itu, pasal Undang-Undang tentang Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) yang dikenakan untuk menjerat HT sebagai tersangka sangat lemah.

Sekretaris DPW Garda Rajawali Perindo (GRIND) DIY Maryanto Rozali mengatakan, langkah menetapkan HT sebagai tersangka dalam kasus SMS kepada Jaksa Yulianto benarbenar membuat publik jengah atas diskriminasi hukum ini.

Hal itu memicu ketidak percayaan publik terhadap penegakan hukum yang cenderung dilarikan ke arah politik kekuasaan. “Kami tidak akan diam, kita mulai atur strategi, kalau perlu kita akan rapatkan barisan menggeruduk Mabes Polri dan Kejaksaan Agung. Semua sayap partai dalam keadaan siap bergerak,” katanya.

kiswondari /suharjono/dian ramdhani/ainun najib / ary wahyu wibowo

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment