Oleh: Arif Nurul Imam
Beberapa
waktu yang lalu, saya sempat ngobrol dengan Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo
yang sekarang telah demisioner dari jabatannya sejak 24 Agustus 2016. Dalam
percakapan tersebut, politisi PDIP yang siap maju lagi dalam Pilkada 2017 ini sempat
melontarkan mengenai gagasan atau proyeksi membangun Kota Satelit Samigaluh.
Namun
karena pertemuan yang relatif singkat sudah tentu tak bisa diskusi panjang dan
mendalam. Dokter spesialis kandungan tersebut kemudian mengajak saya diskusi di
kemudian hari, namun hingga kini belum kesampain. Sebagai warga Samigaluh dan intens terhadap isu-isu kebijakan publik, melewati
tulisan ringkas ini, saya ingin menyampaikan pandangan terkait rencana tersebut.
Kota
satelit menurut wikepedia merupakan daerah penunjang bagi kota-kota
besar di sekitarnya dan merupakan 'jembatan' masuk/akses untuk menuju ke kota
besar. Karena kota satelit juga berfungsi sebagai penunjang kota besar, maka
implikasi daripada kota satelit sebagai penunjang akan tampak pada hidup
keseharian warganya. Kota satelit bisa
juga sebagai pemasok barang-barang kebutuhan warga kota besar, karena semakin
besar dan berkembangnya suatu kota maka sikap warganya untuk memproduksi
barang-barang untuk kebutuhan mereka juga akan semakin turun.
Kecamatan
Samigaluh terletak di gugusan Perbukitan Menoreh dengan jumlah penduduk
sebanyak 24.681, terdiri dari 7 desa, serta petani adalah profesi mayoritas
penduduk. Sementara itu, kondisi kultur setiap desa atau dusun memiliki
keunikan serta potensi yang beragam, kualitas SDM yang tak merata, serta
tingkat partisipasi yang beragam. Namun secara umum, hampir bisa dikatakan
mayoritas masih menerapkan pola pertanian subsistem.
Menyimpan sejumlah potensi seperti komoditas pertanian, destinasi wisata
alam, wisata budaya, dan sebagainya.
Merencanakan
pembangunan sebuah kota sudah pasti perlu pemetaan yang komprehensif. Bukan
saja sekadar melihat persoalan teknis, seperti bagaimana membangun
infrastruktur pendukung misalnya jalan, taman kota, atau lampu penerangan; melainkan
juga mesti melihat peta ekonomi, sosial, budaya, bahkan termasuk kontestasi
kepentingan modal.
Hal
ini menjadi penting sebab dalam banyak pengalaman tidak sedikit jargon
pembangunan kerapkali justru tak memberi dampak positif bagi warga sekitar. Tak
jarang pula, pembangunan yang seharusnya memberdayakan justru memarginalkan warga. Dengan
kata lain, proyeksi pembangunan ini hendaknya sebisa mungkin
mesti memerhatikan ekses-ekses yang ditimbulkan. Bahkan, sedapat mungkin harus
didorong dan dioptimalkan agar memberi faedah dan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi warga Samigaluh. Pertanyaannya, apakah proyeksi ini akan berdampak positif
bagi warga Samigaluh? Sejauhmana relevansi dan urgensinya?.
Pertanyaan
itu hemat saya perlu diperdebatkan secara mendalam agar segala macam rupa yang berpotensi
memungkinkan timbul ekses negatif dapat diantisipasi serta memiliki solusi yang tepat dan akurat. Selain itu, pertanyan demikian berfungsi agar derajat partisipasi
dapat meluas dan menjadi diskursus publik, terutama di masyarakat Samigaluh.
Sosiolog
Arief Budiman dalam bukunya Teori
Pembangunan Dunia Ketiga menjelaskan tentang paramater pembangunan yang bisa dikatakan sukses. Guru Besar Melbourne University Australia ini
menjabarkan setidaknya ada tiga prasyarat pembangunan yang harus dipenuhi untuk bisa disebut berhasil. Pertama, terjadinya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kedua, tidak terjadinya kerusakan sosial, dan
ketiga tidak terjadi kerusakan lingkungan.
Pendapat ilmuwan
tersebut, hemat saya dapat dijadikan rujukan dalam menyusun desain besar pembangunan
kota Satelit Samigaluh. Hal ini setidaknya akan mendorong kita untuk
memfokuskan pada dampak ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan beserta ekses yang muncul. Selain itu, harus ada kalkulasi sejauhmana manfaat
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa harus menihilkan local wisdom. Perlu dicegah pula, misalnya, pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun berdampak pada kerusakan sosial serta lingkungan.
Sebagai kota penyangga, sudah barang tentu, perlu melihat apa
saja potensi atau peluang yang bisa digarap agar dapat menjadi penyokong bagi
terwujudnya kota satelit. Misalkan sebagai contoh, sebagai daerah agraris bagaimana potensi
komoditas pertanian bisa diolah menjadi barang setengah jadi, sehingga terjadi
pertambahan nilai. Artinya, warga perlu diberikan fasilitasi pelatihan pasca
panen beserta jejaring pemasaran di kota-kota besar. Dengan adanya pertambahan
nilai, maka pada gilirannya akan menambah pendapatan warga.
Identitas budaya sebagai perekat solidaritas juga tak kalah
penting untuk terus dirawat dan ditumbuhkembangkan. Solidaritas masyarakat desa
dengan tradisi gotong-royong yang kuat harus diproteksi dengan pendekatan
budaya agar terhindar dari ekses negatif budaya kota yang individualistik. Sebab
kita tahu, gotong-royong merupakan aset yang secara sosial politik
berdaya-guna bagi lokomotif penggerak pembangunan yang partisipatif.
Sementara itu terkait pembangunan infrastruktur pendukung, tak boleh
mengabaikan dampak ekologis. Dampak ekologis merupakan bencana yang harus
dihindarkan dari proyeksi pembangunan ini. Artinya,
pembangunan yang dilangsungkan mesti ramah lingkungan yang tak mengubah
kesejukan serta nyaman untuk tempat tinggal. Tak boleh sekadar mentereng dan
necis secara fisik, namun hancur secara ekologis dan tak nyaman dihuni.
Ciri masyarakat kota yang positif adalah tingkat komsumsi informasi yang tinggi. Karena ini positif, maka perlu diadopsi menjadi tradisi masyarakat Samigaluh menuju masyarakat melek informasi dan modern. Ini jelas memiliki tantangan tersendiri, sebab dengan bentang lahan pegunungan menyulitkan warga mendapatkan akses internet. Itu sebabnya, salah satu cara mewujudkan kota satelit yang berhasil adalah dengan memberikan fasilitas kemudahan untuk mengakses internet agar mudah memperoleh informasi. Usul konkret saya, perlu mendirikan tower-tower internet berkapasitas tinggi yang bisa di akses warga di banyak titik. Umpama saja, setiap desa terdapat lima area hotspot.
Ciri masyarakat kota yang positif adalah tingkat komsumsi informasi yang tinggi. Karena ini positif, maka perlu diadopsi menjadi tradisi masyarakat Samigaluh menuju masyarakat melek informasi dan modern. Ini jelas memiliki tantangan tersendiri, sebab dengan bentang lahan pegunungan menyulitkan warga mendapatkan akses internet. Itu sebabnya, salah satu cara mewujudkan kota satelit yang berhasil adalah dengan memberikan fasilitas kemudahan untuk mengakses internet agar mudah memperoleh informasi. Usul konkret saya, perlu mendirikan tower-tower internet berkapasitas tinggi yang bisa di akses warga di banyak titik. Umpama saja, setiap desa terdapat lima area hotspot.
Konon, di Singapura karena kemelekan informasi, masyarakat
bisa menambah pendapatan setengah dollar dari setiap satu dollar. Paling tidak,
dengan kemudahan memperoleh informasi, akan merangsang masyarakat untuk mencari
informasi dan belajar secara online. Atau dapat pula difungsikan untuk memantau
pergerakan harga komoditas pertanian yang ada di daerah lain sehingga dapat
memotong mata-rantai perdagangan yang pada gilirannya dapat meningkatkan
kesejahteraan warga. Di samping itu, jika dikaitkan dengan potensi wisata alam bisa pula diperuntukkan sebagai media promosi melalui sosial media.
Agar secara konseptual matang, perlu menghadirkan pihak-pihak yang kompeten untuk menyusun dan merealisasikan rencana hebat ini, selain harus menyerap aspirasi sebanyak mungkin dari warga Samigaluh sebagai subjek pembangunan. Jika dilaksanakan dengan demikian, maka gagasan membangun Kota Satelit Samigaluh bisa dikatakan relevan.
Agar secara konseptual matang, perlu menghadirkan pihak-pihak yang kompeten untuk menyusun dan merealisasikan rencana hebat ini, selain harus menyerap aspirasi sebanyak mungkin dari warga Samigaluh sebagai subjek pembangunan. Jika dilaksanakan dengan demikian, maka gagasan membangun Kota Satelit Samigaluh bisa dikatakan relevan.
Kota Satelit Samigaluh adalah gagasan baik jika dibarengi
dengan upaya-upaya yang serius, serta menyesuaikan kesiapan daya dukung agar memberi manfaat yang besar bagi warga. Jangan sampai
kemudian, akibat pembangunan ini justru makin melebarkan kesenjangan dan
kepincangan sosial, pudarnya solidaritas, merebaknya konsumerisme, serta
menghancurkan ekologi. Gagasan ini jika sukses direalisasikan, boleh jadi akan
menjadi model pertama di Indonesia sebagai kota berbasis agraris. Semoga sukses.
Jakarta, 25 Agustus 2016
Jakarta, 25 Agustus 2016
0 komentar:
Post a Comment