Wednesday, August 24, 2016

Relevankah Kota Satelit Samigaluh?

Oleh: Arif Nurul Imam

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat ngobrol dengan Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo yang sekarang telah demisioner dari jabatannya sejak 24 Agustus 2016. Dalam percakapan tersebut, politisi PDIP yang siap maju lagi dalam Pilkada 2017 ini sempat melontarkan mengenai gagasan atau proyeksi membangun Kota Satelit Samigaluh.


Namun karena pertemuan yang relatif singkat sudah tentu tak bisa diskusi panjang dan mendalam. Dokter spesialis kandungan tersebut kemudian mengajak saya diskusi di kemudian hari, namun hingga kini belum kesampain. Sebagai warga Samigaluh dan intens terhadap isu-isu kebijakan publik, melewati tulisan ringkas ini, saya ingin menyampaikan pandangan terkait rencana tersebut.

Kota satelit menurut wikepedia merupakan daerah penunjang bagi kota-kota besar di sekitarnya dan merupakan 'jembatan' masuk/akses untuk menuju ke kota besar. Karena kota satelit juga berfungsi sebagai penunjang kota besar, maka implikasi daripada kota satelit sebagai penunjang akan tampak pada hidup keseharian warganya. Kota satelit bisa juga sebagai pemasok barang-barang kebutuhan warga kota besar, karena semakin besar dan berkembangnya suatu kota maka sikap warganya untuk memproduksi barang-barang untuk kebutuhan mereka juga akan semakin turun.



Kecamatan Samigaluh terletak di gugusan Perbukitan Menoreh dengan jumlah penduduk sebanyak 24.681, terdiri dari 7 desa, serta petani adalah profesi mayoritas penduduk. Sementara itu, kondisi kultur setiap desa atau dusun memiliki keunikan serta potensi yang beragam, kualitas SDM yang tak merata, serta tingkat partisipasi yang beragam. Namun secara umum, hampir bisa dikatakan mayoritas masih menerapkan pola pertanian subsistem. Menyimpan sejumlah potensi seperti komoditas pertanian, destinasi wisata alam, wisata budaya, dan sebagainya.
Merencanakan pembangunan sebuah kota sudah pasti perlu pemetaan yang komprehensif. Bukan saja sekadar melihat persoalan teknis, seperti bagaimana membangun infrastruktur pendukung misalnya jalan, taman kota, atau lampu penerangan; melainkan juga mesti melihat peta ekonomi, sosial, budaya, bahkan termasuk kontestasi kepentingan modal.
Hal ini menjadi penting sebab dalam banyak pengalaman tidak sedikit jargon pembangunan kerapkali justru tak memberi dampak positif bagi warga sekitar. Tak jarang pula, pembangunan yang seharusnya memberdayakan justru memarginalkan warga. Dengan kata lain, proyeksi pembangunan ini hendaknya sebisa mungkin mesti memerhatikan ekses-ekses yang ditimbulkan. Bahkan, sedapat mungkin harus didorong dan dioptimalkan agar memberi faedah dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi warga Samigaluh. Pertanyaannya, apakah proyeksi ini akan berdampak positif bagi warga Samigaluh? Sejauhmana relevansi dan urgensinya?.
Pertanyaan itu hemat saya perlu diperdebatkan secara mendalam agar segala macam rupa yang berpotensi memungkinkan timbul ekses negatif dapat diantisipasi serta memiliki solusi yang tepat dan akurat. Selain itu, pertanyan demikian berfungsi agar derajat partisipasi dapat meluas dan menjadi diskursus publik, terutama di masyarakat Samigaluh.
Sosiolog Arief Budiman dalam bukunya Teori Pembangunan Dunia Ketiga menjelaskan tentang paramater pembangunan yang bisa dikatakan sukses. Guru Besar Melbourne University Australia ini menjabarkan setidaknya ada tiga prasyarat pembangunan yang harus dipenuhi untuk bisa disebut berhasil. Pertama, terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kedua, tidak terjadinya kerusakan sosial, dan ketiga tidak terjadi kerusakan lingkungan.
 Pendapat ilmuwan tersebut, hemat saya dapat dijadikan rujukan dalam menyusun desain besar pembangunan kota Satelit Samigaluh. Hal ini setidaknya akan mendorong kita untuk memfokuskan pada dampak ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan beserta ekses yang muncul. Selain itu, harus ada kalkulasi sejauhmana manfaat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa harus menihilkan local wisdom. Perlu dicegah pula, misalnya, pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun berdampak pada kerusakan sosial serta lingkungan.
Sebagai kota penyangga, sudah barang tentu, perlu melihat apa saja potensi atau peluang yang bisa digarap agar dapat menjadi penyokong bagi terwujudnya kota satelit. Misalkan sebagai contoh, sebagai daerah agraris bagaimana potensi komoditas pertanian bisa diolah menjadi barang setengah jadi, sehingga terjadi pertambahan nilai. Artinya, warga perlu diberikan fasilitasi pelatihan pasca panen beserta jejaring pemasaran di kota-kota besar. Dengan adanya pertambahan nilai, maka pada gilirannya akan menambah pendapatan warga.
Identitas budaya sebagai perekat solidaritas juga tak kalah penting untuk terus dirawat dan ditumbuhkembangkan. Solidaritas masyarakat desa dengan tradisi gotong-royong yang kuat harus diproteksi dengan pendekatan budaya agar terhindar dari ekses negatif budaya kota yang individualistik. Sebab kita tahu, gotong-royong merupakan aset yang secara sosial politik berdaya-guna bagi lokomotif penggerak pembangunan yang partisipatif.
Sementara itu terkait pembangunan infrastruktur pendukung, tak boleh mengabaikan dampak ekologis. Dampak ekologis merupakan bencana yang harus dihindarkan dari proyeksi pembangunan ini. Artinya, pembangunan yang dilangsungkan mesti ramah lingkungan yang tak mengubah kesejukan serta nyaman untuk tempat tinggal. Tak boleh sekadar mentereng dan necis secara fisik, namun hancur secara ekologis dan tak nyaman dihuni. 
Ciri masyarakat kota yang positif adalah tingkat komsumsi informasi yang tinggi. Karena ini positif, maka perlu diadopsi menjadi tradisi masyarakat Samigaluh menuju masyarakat melek informasi dan modern. Ini jelas memiliki tantangan tersendiri, sebab dengan bentang lahan pegunungan menyulitkan warga mendapatkan akses internet. Itu sebabnya, salah satu cara mewujudkan kota satelit yang berhasil adalah dengan memberikan fasilitas kemudahan untuk mengakses internet agar mudah memperoleh informasi. Usul konkret saya, perlu mendirikan tower-tower internet berkapasitas tinggi yang bisa di akses warga di banyak titik. Umpama saja, setiap desa terdapat lima area hotspot.
Konon, di Singapura karena kemelekan informasi, masyarakat bisa menambah pendapatan setengah dollar dari setiap satu dollar. Paling tidak, dengan kemudahan memperoleh informasi, akan merangsang masyarakat untuk mencari informasi dan belajar secara online. Atau dapat pula difungsikan untuk memantau pergerakan harga komoditas pertanian yang ada di daerah lain sehingga dapat memotong mata-rantai perdagangan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan warga. Di samping itu, jika dikaitkan dengan potensi wisata alam bisa pula diperuntukkan sebagai media promosi melalui sosial media.
Agar secara konseptual matang, perlu menghadirkan pihak-pihak yang kompeten untuk menyusun dan merealisasikan rencana hebat ini, selain harus menyerap aspirasi sebanyak mungkin dari warga Samigaluh sebagai subjek pembangunan. Jika dilaksanakan dengan demikian, maka gagasan membangun Kota Satelit Samigaluh bisa dikatakan relevan.
Kota Satelit Samigaluh adalah gagasan baik jika dibarengi dengan upaya-upaya yang serius, serta menyesuaikan kesiapan daya dukung agar memberi manfaat yang besar bagi warga. Jangan sampai kemudian, akibat pembangunan ini justru makin melebarkan kesenjangan dan kepincangan sosial, pudarnya solidaritas, merebaknya konsumerisme, serta menghancurkan ekologi. Gagasan ini jika sukses direalisasikan, boleh jadi akan menjadi model pertama di Indonesia sebagai kota berbasis agraris. Semoga sukses.

Jakarta, 25 Agustus 2016





0 komentar:

Post a Comment