Tuesday, June 21, 2016

Catatan Dinamika Politik Jelang Pilkada Kulonprogo


Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada) secara serentak akan kembali lagi digelar pada tahun 2017. Demikian pula, kabupaten tanah kelahiran saya, kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tak ada perbedaan yang mencolok dengan dinamika politik di daerah lain. Makin dekat rentang waktu pelaksanaan Pilkada praktis tensi dan eskalasi politik dipastikan akan meningkat yang akan diwarnai aneka rupa manuver para elit politik.
Meski kerap diluar Kulonprogo, namun sebagai orang yang lahir dan besar serta ber-KTP Kulonprogo, sudah pasti, memiliki perhatian khusus mengenai perkembangan politik lokal. Apalagi beberapa kawan yang bergiat di politik lokal, kerap mengajak diskusi melewati sosial media maupun melalui sambungan telepon seluler membicarakan mengenai perkembangan politik kekinian. 

Pertarungan Oligarki
Paling tidak, ada dua pilihan yang harus dipilih oleh warga Kulonprogo. Pilihan politik yang tersedia antara lanjutkan atau perubahan. Hal ini karena petahana, baik bupati maupun wakil bupati, bertekad kembali maju lagi. Bupati Hasto Wardoyo dan Wakil Bupati Sutejo yang dalam Pilkada kemarin berpasangan sama-sama berhasrat kembali memimpin di bumi Binangun. Pertanyaannya, akankah mereka berduet kembali?.
       Pertanyaan itu sudah tentu tak mudah dijawab, sebab ada banyak variabel politik yang saling memengaruhi. Bukan saja masing-masing calon yang akan  berpasangan, melainkan juga konstelasi politik di setiap partai politik yang akan mengusung.
Hasto Wardoyo yang dalam Pilkada kemarin diusung oleh PDI Perjuangan, saya memiliki keyakinan untuk Pilkada sekarang juga akan mendapatkan rekomendasi DPP PDI Perjuangan. Bukan hanya karena petahana yang memiliki peluang besar untuk menang, melainkan juga lantaran memiliki kinerja berprestasi sebagai Kepala Daerah. Kepada teman yang ngantor di DPP PDI Perjuangan, ketika bertemu saya berujar,” Kalau PDIP ngak ngusung Pak Hasto di Kabupaten saya, itu sebuah kecerobohan politik”.
Pernyataan itu tentu bukan karena saya memiliki kedekatan atau relasi politik dengannya, melainkan melihat kinerja dan potensi kemenangan yang sudah barang tentu bermanfaat bagi kemajuan Kulonprogo. Beberapa kali pernah komunikasi melewati whatshap maupun bertatap muka. Terakhir kontak melalui whatshap untuk menyampaikan informasi mengenai adanya even pameran internasional terkait potensi lokal yang digelar di Amerika Serikat yang salah satu panitianya kebetulan teman. 
Di bawah kepemimpinan Hasto Wardoyo, harus diakui segudang prestasi diraih, baik penghargaan di level regional maupun nasional. Namun, ada prestasi yang  cukup berharga, yakni tumbuhnya solidaritas ditengah gempuran gaya hidup individualisme. Sebagai contoh misalnya, program bedah rumah, yang anggaran non-APBD, saya kira merupakan terobosan cemerlang, bukan saja menyediakan rumah layak huni bagi masyarakat miskin, melainkan pula berhasil memupuk kembali semangat solidaritas sesama warga. Ini karena selain dikerjakan secara gotong-royong, program ini juga melibatkan partisipasi warga yang secara ekonomi lebih mampu. Ditengah individualisme yang kian merebak, menumbuhkembangkan solidaritas adalah pekerjaan tidak saja mulia, melainkan juga dapat mempertebal social capital yang menjadi salah satu elemen modal pembangunan untuk mendongkrak partisipasi dan keterlibatan warga dalam memajukan daerah.
Sementara itu, wakil bupati Sutejo atau akrap disapa Pak Tejo, harus rela berada di bawah bayang-bayang Bupati Hasto Wardoyo. Posisi politik mantan birokrat ini memang belum bisa dikatakan "aman" untuk diusung kembali oleh Partai Amanat Nasional(PAN). Manuver penolakan dari pengurus kecamatan dan kabupaten bisa jadi menjadi batu sandungan untuk memperoleh rekomendasi dukungan dari DPP PAN. Meski demikian, dengan posisi sebagai petahana bisa dijadikan alat negosiasi untuk bargaining terhadap elit partai, apalagi rumor yang beredar Pak Hasto memang menghendaki duet kembali.
Hanya saja, gejala dan dinamika politik kader-kader akar rumput yang melakukan penolakan tersebut, meski misalnya mendapatkan rekomendasi  dari DPP PAN,  bisa jadi mesin politik partai bekerja tidak maksimal akibat kekecewaan aspirasi yang diabaikan. Di sisi lain, di internal PAN juga muncul pesaing yang juga mendaftar sebagai bakal calon wakil bupati Suradi; yang konon diusung oleh 11 pengurus PAN tingkat kecamatan. Hanya satu kecamatan saja yang tak mendukung bakal calon wakil bupati asal kecamatan Panjatan ini. Hal ini tentu tak bisa dianggap persoalan remeh-temeh, sebab boleh jadi ini merepresentasikan kehendak kader akar rumput. 
Ditengah sistem kepartaian yang makin sentralistik serta kian suburnya praktik oligarki, kewenangan kepengurusan partai politik di tingkat pusat memang sangat strategis dalam menentukan siapa yang akan diusung dalam Pilkada. Artinya, sebesar apa pun dukungan kader dan warga masyarakat, jika gagal mendapatkan rekomendasi perahu politik dipastikan gagal mencalonkan diri. Inilah pertarungan oligarki yang harus melewati jalan berkelok, penuh duri, dan becek.
Sebagai warga Kulonprogo hanya berharap semoga terpilih duet pemimpin yang sanggup membawa Kulonprogo sebagai Kabupaten yang menjadi kebanggaan warganya. Ini sekadar catatan sebagai rakyat jelata, melihat dari jauh dinamika  politik jelang Pilkada Kulonprogo.


Jakarta, 21 Juni 2016

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment