Koran Harian Terbit, 14 Oktober 2016
Oleh:
Arif Nurul ImamAnalis
Politik POINT Indonesia
Sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga
survey, elektabilitas Basuki Tjahya Purnama atau akrap disapa Ahok terus
merosot. Padahal, rentang waktu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada)
masih sekitar empat bulan lagi. Ibarat perjalanan, masih harus menempuh jalan
panjang dan tidak menutup kemungkinan banyak lubang jarum yang bisa membuat
jatuh terperosok. Pertanyaannya, apakah Pilkada kali ini bakal menjadi senjakala Ahok?
Sebagai petahana, sesungguhnya memiliki ruang
lebar untuk melakukan aksi nyata melalui kebijakan dan program yang bukan saja
memberi faedah bagi masyarakat Jakarta, tapi juga akan memberi sentimen positif
yang bakal menambah kepercayaan publik sekaligus mendongkrak elektabilitas.
Namun kenyataannya, Ahok justru melakukan tindakan yang acap kali melawan arus
publik sebagaimana kita saksikan.
Jika tak ada perubahan radikal, baik itu cara
komunikasi maupun kebijakan yang ditempuh, bukan mustahil Pilkada kali ini
bakal menjadi senjakala Ahok. Beberapa tindakan atau kebijakan yang cenderung
tidak berpihak pada masyarakat kecil dan ditengarai sebagai kepentingan
pemodal, hemat penulis, akan terus digoreng oleh pasangan pesaing dan diingat
oleh publik sebagai catatan buruk.
Pertama, soal reklamasi teluk Jakarta. Proyek
raksasa ini, selain berdampak pada kerusakan lingkungan, juga mengancam
keberlangsungan hidup para nelayan. Selain para pegiat lingkungan, nelayan, dan
publik luas, penolakan proyek ini sesungguhnya bukan saja mencerminkan
kebijakan publik yang tidak partisipatif, melainkan juga sangat potensial
menggerus basis dukungan petahana. Secara elektoral, kebijakan ini jelas akan
menurunkan basis dukungan dalam Pilkada.
Ketiga, gaya
berkomunikasi. Sebagai gubernur, Ahok kerapkali kasar dalam gaya berkomunikasi.
Ia tak segan menghardik anak buah atau rakyat kecil dikhalayak umum sehingga
menimbulkan kesan arogan. Yang mutakhir soal tafsir mengenai Surat Al Maidah ayat 51 yang menimbulkan
kontroversi dan mengundang reaksi protes keras dari sebagian besar umat Islam
karena dianggap melakukan penistaan agama. Padahal, secara demografi warga Jakarta
mayoritas memeluk agama Islam. Karena itu, tidak menutup kemungkinan suara
mayoritas umat Islam akan memberikan dukungan pada pasangan selain Ahok-Djarot.
Tentu semua
tindak-tanduk dan kebijakan Ahok akan menjadi catatan pemilih yang menjadi
referensi dalam menentukan pilihan pada 15 Februari 2017 di bilik suara. Jika
masih memakai gaya seperti selama ini, hampir dipastikan akan terus menggerus
elektabilitasnya.
Antitesa Ahok
Elektabilitas pasangan Anis-Sandiaga yang
diusung Gerinda dan PKS makin menempel ketat. Sementara, pasangan Agus-Silvi
juga makin berkibar meski pada awalnya hanya dianggap sebagai pasangan calon
“karbitan” akibat kebuntuan koalisi Cikeas.
Anis-Sandiaga serta Agus-Silvi, tentu tak
bisa dianggap pesaing remeh-temeh. Meski muncul di masa injury
time, namun kedua pasangan ini memiliki kelebihan
masing-masing yang potensial dikapitalisasi menjadi dukungan elektoral.
Gaya dan karakter kedua pasangan calon merupakan
modal besar; sebagai sosok antitesa Ahok yang terkesan arogan. Bukan hanya
santun serta cerdas, namun juga memiliki rekam jejak positif dibidangnya
masing-masing.
Apabila kedua pasangan ini mampu menampilkan
kampanye santun, efektif dan tepat sasaran tidak mustahil akan menyalip
elektabilitas Ahok-Djarot. Atau, setidaknya jika salah satu pasangan calon
lolos pada putaran kedua, mereka bisa bersatu mendukung calon yang lolos
diputaran kedua.
Peluang ini cukup besar, sebab aturan Pilkada
DKI mensyaratkan dukungan lima puluh persen plus. Artinya, apabila pemilih
Anis-Sandiaga dan Agus-Silvi bersatu pada putaran kedua, sangat potensial
menggulung pasangan Ahok-Djarot. Jika ini terjadi, maka senjakala Ahok bukan sebuah
ilusi. Wallohualambishowab
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Terbit Jakarta, 14 Oktober 2016
0 komentar:
Post a Comment