Saturday, October 15, 2016

Senjakala Ahok?

Koran Harian Terbit, 14 Oktober 2016 
Oleh: Arif Nurul ImamAnalis Politik POINT Indonesia



Sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga survey, elektabilitas Basuki Tjahya Purnama atau akrap disapa Ahok terus merosot. Padahal, rentang waktu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada) masih sekitar empat bulan lagi. Ibarat perjalanan, masih harus menempuh jalan panjang dan tidak menutup kemungkinan banyak lubang jarum yang bisa membuat jatuh terperosok. Pertanyaannya, apakah Pilkada kali ini  bakal menjadi senjakala Ahok?

Sebagai petahana, sesungguhnya memiliki ruang lebar untuk melakukan aksi nyata melalui kebijakan dan program yang bukan saja memberi faedah bagi masyarakat Jakarta, tapi juga akan memberi sentimen positif yang bakal menambah kepercayaan publik sekaligus mendongkrak elektabilitas. Namun kenyataannya, Ahok justru melakukan tindakan yang acap kali melawan arus publik sebagaimana kita saksikan.


Jika tak ada perubahan radikal, baik itu cara komunikasi maupun kebijakan yang ditempuh, bukan mustahil Pilkada kali ini bakal menjadi senjakala Ahok. Beberapa tindakan atau kebijakan yang cenderung tidak berpihak pada masyarakat kecil dan ditengarai sebagai kepentingan pemodal, hemat penulis, akan terus digoreng oleh pasangan pesaing dan diingat oleh publik sebagai catatan buruk.

Pertama, soal reklamasi teluk Jakarta. Proyek raksasa ini, selain berdampak pada kerusakan lingkungan, juga mengancam keberlangsungan hidup para nelayan. Selain para pegiat lingkungan, nelayan, dan publik luas, penolakan proyek ini sesungguhnya bukan saja mencerminkan kebijakan publik yang tidak partisipatif, melainkan juga sangat potensial menggerus basis dukungan petahana. Secara elektoral, kebijakan ini jelas akan menurunkan basis dukungan dalam Pilkada.

Kedua, penggusuran perkampungan di berbagai wilayah yang mengorbankan masyarakat kecil. Lembaga Bantuan Hukum(LBH) mencatat sepanjang tahun 2015 saja, terdapat 113 penggusuran paksa yang menelan korban terdampak sebanyak 8.145 kepala keluarga(KK) dan 6.283 unit usaha. Mirisnya, cara penggusuran yang dilakukan bukan mengedepankan persuasif dengan cara dialog, melainkan memilih dengan cara represif yang melibatkan polisi dan TNI. Secara elektoral, ini jelas akan menggerus dukungan pasangan Ahok-Djarot.
Ketiga, gaya berkomunikasi. Sebagai gubernur, Ahok kerapkali kasar dalam gaya berkomunikasi. Ia tak segan menghardik anak buah atau rakyat kecil dikhalayak umum sehingga menimbulkan kesan arogan. Yang mutakhir soal tafsir mengenai Surat Al Maidah ayat 51 yang menimbulkan kontroversi dan mengundang reaksi protes keras dari sebagian besar umat Islam karena dianggap melakukan penistaan agama. Padahal, secara demografi warga Jakarta mayoritas memeluk agama Islam. Karena itu, tidak menutup kemungkinan suara mayoritas umat Islam akan memberikan dukungan pada pasangan selain Ahok-Djarot.
Tentu semua tindak-tanduk dan kebijakan Ahok akan menjadi catatan pemilih yang menjadi referensi dalam menentukan pilihan pada 15 Februari 2017 di bilik suara. Jika masih memakai gaya seperti selama ini, hampir dipastikan akan terus menggerus elektabilitasnya.
Antitesa Ahok
Elektabilitas pasangan Anis-Sandiaga yang diusung Gerinda dan PKS makin menempel ketat. Sementara, pasangan Agus-Silvi juga makin berkibar meski pada awalnya hanya dianggap sebagai pasangan calon “karbitan” akibat kebuntuan koalisi Cikeas.

Anis-Sandiaga serta Agus-Silvi, tentu tak bisa dianggap pesaing remeh-temeh. Meski muncul di masa injury time, namun kedua pasangan ini memiliki kelebihan masing-masing yang potensial dikapitalisasi menjadi dukungan elektoral.

Gaya dan karakter kedua pasangan calon merupakan modal besar; sebagai sosok antitesa Ahok yang terkesan arogan. Bukan hanya santun serta cerdas, namun juga memiliki rekam jejak positif dibidangnya masing-masing.

Apabila kedua pasangan ini mampu menampilkan kampanye santun, efektif dan tepat sasaran tidak mustahil akan menyalip elektabilitas Ahok-Djarot. Atau, setidaknya jika salah satu pasangan calon lolos pada putaran kedua, mereka bisa bersatu mendukung calon yang lolos diputaran kedua.

Peluang ini cukup besar, sebab aturan Pilkada DKI mensyaratkan dukungan lima puluh persen plus. Artinya, apabila pemilih Anis-Sandiaga dan Agus-Silvi bersatu pada putaran kedua, sangat potensial menggulung pasangan Ahok-Djarot. Jika ini terjadi, maka senjakala Ahok bukan sebuah ilusi. Wallohualambishowab


Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Terbit Jakarta, 14 Oktober 2016

Related Posts:

  • Catatan bagi Jokowi dan Prabowo untuk Debat Pertama Pilpres 2019Catatan bagi Jokowi dan Prabowo untuk Debat Pertama Pilpres 2019  ARIF NURUL IMAM Kompas.com - 17/01/2019, 17:11 WIB Dua pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menghadiri dek… Read More
  • Catatan Pelaksanaan Pemilu Serentak Catatan Pelaksanaan Pemilu Serentak Koran Sindo Kamis, 25 April 2019 - 08:15 WIB Arif Nurul Imam Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting PEMILU serentak yang digelar pada 17 April 2… Read More
  • Mewujudkan Pemilu Jurdil Mewujudkan Pemilu Jurdil Oleh : Arif Nurul Imam (Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting) Pemilihan umum (Pemilu) merupakan mekanisme demokrasi untuk melakukan sirkulasi dan rotasi k… Read More
  • The dynamics of simultaneous elections in Indonesia INTERNATIONAL The dynamics of simultaneous elections in Indonesia Tuesday, April 16, 2019, 16:54 GMT+7 A worker carries election materials as he prepares ballot boxes before their distribution to polling stations in a… Read More
  • Membidik Dukungan Warga Muhammadiyah dalam Pilpres Membidik Dukungan Warga Muhammadiyah dalam Pilpres Koran Sindo Senin, 1 April 2019 - 09:36 WIB views: 475 Arif Nurul Imam, Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting. Foto/Istimewa Arif N… Read More

0 komentar:

Post a Comment