Friday, November 7, 2014

Menjadi DPRD Cukup Tujuh juta


Mungkin anda tidak akan percaya dengan judul ini. Apa benar menjadi anggota legislatif tingkat kabupaten cukup tujuh juta?. Hal ini wajar, karena saya cukup memahami sebagaimana kita tahu, pragmatisme politik seakan kian tak terbendung.  Hampir semua transaksional, wani piro?.

Wani piro seakan menjadi budaya dan denyut nadi yang sulit diputus dalam belantara politik. Semua harus dibayar; tak ada makan siang gratis. Namun demikian, kenyataan pahit semacam ini tidak berlaku universal. Sebab saya menemui kenyataan yang berbeda, dimana untuk menjadi anggota DPRD dari kantongnya sendiri cukup tujuh juta, tak perlu menguras kocek yang dalam.




Kebetulan aktornya satu kampung dan masih famili dengan saya, tepatnya kakak sepupu.  Sebut saja namanya Budi Hutomo Putro. Kakak saya ini kemarin maju sebagai anggota legislatif tingkat kabupaten Kulonprogo, dan berhasil memperoleh dukungan terbanyak. Jika memakai logika politik konvensional, ia mustahil akan menang, sebab kantongnya cekak. Kasarnya untuk beli alat peraga, misalnya baliho, spanduk, dan  sticker saja hampir keteteran.
Modal politik yang dimiliki hanya modal sosial saja. Rekam jejaknya sebagai kepala desa yang merakyat, ringan tangan dalam menolong, serta tulus dalam bekerja adalah satu-satunya modal yang ia punya. Jangan anda bayangkan, menjadi kepala desa seperti di kampung saya yang di perdesaan bisa kaya-raya. Bisa survive saja sudah bagus.

Modal sosial semacam inilah yang kemudian menjadi magnet dukungan. Dukungan para simpatisan dan relawan mengalir, datang berbondong-bondong dengan bermacam pengorbanan. Mereka jelas memahami, mendukung dia, tidak bisa mengharap mendapat ‘angpao’ atau bingkisan lain. Bahkan para pendukung menyadari, mereka siap berkorban sesuai kemampuan masing-masing. Tenaga serta pikiran sudah pasti, dan tidak sedikit yang rela saweran untuk membiayai berbagai kegiatan yang harus digelar.

Ada kisah menarik, dalam soal saweran. Ada seorang ibu-ibu yang datang membawa hasil panen berupa padi kering. Padi kering sebanyak 3 karung di sumbangkan untuk membantu dalam pemenangan secara suka-rela, tak ada diel politik. Rakyat kecil yang tak paham ABCDnya politik, mendukung dengan tanpa syarat, bukan seolah relawan tapi memiliki motif politik terselubung.

Di malam pencoblosan, relawan menginisiasi untuk melakukan ronda jaga malam di basis masing-masing. Inisiatif ini berangkat dari kesadaran bahwa di malam tersebut akan banyak serangan money politik. Ada sekitar 700 relawan yang keliling dilorong-lorong di perbukitan yang tentu saja naik-turun. Relawan yang jaga basis, ada di berbagai pos, beberapa titik di pos ronda, rumah warga, perempatan lorong jalan, dan ada yang di ladang-ladang. Nah, padi tersebut ternyata kemudian memiliki peran dalam menopang kerja-kerja politik amatiran tersebut. Padi sebanyak 3 karung ini berguna di malam pencoblosan, plus sumbangan yang lainnya untuk diolah menjadi nasi bungkus.

Tentu ada banyak kisah sumbangan lain yang bisa saya ceritakan. Tapi kisah tersebut bagi saya yang cukup mengesankan. Ada banyak pengorbanan para relawan tanpa mengharap apapun. Harapannya Cuma satu, ketika terpilih tetap komitmen pada rakyat kecil.

Kemenangan tersebut tentu saja tidak saja mengandalkan modal sosial semata, melainkan didukung oleh strategi dan manajemen konflik yang terukur. Bagaimanapun, sebesar apapun modal sosial jika salah mengelola hampir di pastikan akan awut-awutan.

Secara materi, saya memang tidak membantu. Namun setidaknya saya memiliki kontribusi. Jelang 6 bulan sebelum pemilu, saya tiap bulan pulang kampung untuk membantu memantau secara langsung, merumuskan strategi, merespon perkembangan isu, dan supervisi para relawan. Kebetulan saat itu, saya bekerja di konsultan politik di Jakarta yang kerjanya demikian pula. Pengorbanan saya, paling banter sebatas tiket, pikiran, dan tenaga.

Kisah ini, tentu saja, bisa menjadi oase dan semacam lilin penerang di tengah pragmatisme politik yang nyaris dianggapsebagai perilaku lumrah. Pengalaman ini juga memberi semangat dan optimisme saya dalam memandang masa depan demokrasi di Indonesia. Bahwa politik murah dan menggerakkan partisipasi itu masih bisa kita lakukan. Semoga.

Related Posts:

  • Tiga Simpul Massa Aksi 411 Ada sejumlah dugaan mengapa aksi demontrasi 4 November 2016 kemarin mampu menggerakkan massa yang cukup besar. Kita paham memobilisasi massa, apalagi di Jakarta bukan perkara mudah. Dari pengamatan dan hasil wawancara s… Read More
  • Faisal Basri: Sosdem atau Neolib? Nov 17, 2014 Oleh: Arif Nurul Imam Stigma ideologi yang melekat di wajah ekonom Faisal Basri memang paradoks. Di satu kalangan, ia dinilai sebagai tokoh politik dan ekonom berhaluan sosial demokrasi (sosdem), tapi di… Read More
  • Mewujudkan Pemilu Jurdil Mewujudkan Pemilu Jurdil Oleh : Arif Nurul Imam (Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting) Pemilihan umum (Pemilu) merupakan mekanisme demokrasi untuk melakukan sirkulasi dan rotasi k… Read More
  • Anomali Biaya Kampanye Ahok Putaran Kedua Jika kita lihat hasil perolehan suara paslon Ahok-Djarot pada putaran kedua terdapat sesuatu yang bisa dikatakan anomali. Dikatakan anomali karena, mereka mengeluarkan biaya kampanye sebesar 31,7 milyar, tapi justru perole… Read More
  • Menjadi DPRD Cukup Tujuh juta Mungkin anda tidak akan percaya dengan judul ini. Apa benar menjadi anggota legislatif tingkat kabupaten cukup tujuh juta?. Hal ini wajar, karena saya cukup memahami sebagaimana kita tahu, pragmatisme politik seakan kian … Read More

0 komentar:

Post a Comment