Mungkin anda tidak akan percaya
dengan judul ini. Apa benar menjadi anggota legislatif tingkat kabupaten cukup tujuh juta?. Hal ini wajar, karena saya cukup memahami sebagaimana kita tahu,
pragmatisme politik seakan kian tak terbendung.
Hampir semua transaksional, wani
piro?.
Wani piro seakan menjadi budaya dan denyut nadi yang sulit diputus dalam belantara politik. Semua harus dibayar; tak ada makan siang gratis. Namun demikian, kenyataan pahit semacam ini tidak berlaku universal. Sebab saya menemui kenyataan yang berbeda, dimana untuk menjadi anggota DPRD dari kantongnya sendiri cukup tujuh juta, tak perlu menguras kocek yang dalam.
Kebetulan aktornya satu kampung
dan masih famili dengan saya, tepatnya kakak sepupu. Sebut saja namanya Budi Hutomo Putro. Kakak
saya ini kemarin maju sebagai anggota legislatif tingkat kabupaten Kulonprogo, dan
berhasil memperoleh dukungan terbanyak. Jika memakai logika politik konvensional,
ia mustahil akan menang, sebab kantongnya cekak. Kasarnya untuk beli alat
peraga, misalnya baliho, spanduk, dan sticker
saja hampir keteteran.
Modal politik yang dimiliki hanya
modal sosial saja. Rekam jejaknya sebagai kepala desa yang merakyat, ringan
tangan dalam menolong, serta tulus dalam bekerja adalah satu-satunya modal yang
ia punya. Jangan anda bayangkan, menjadi kepala desa seperti di kampung saya
yang di perdesaan bisa kaya-raya. Bisa survive saja sudah bagus.
Modal sosial semacam inilah yang kemudian menjadi magnet dukungan. Dukungan para simpatisan dan relawan
mengalir, datang berbondong-bondong dengan bermacam pengorbanan. Mereka jelas
memahami, mendukung dia, tidak bisa mengharap mendapat ‘angpao’ atau bingkisan
lain. Bahkan para pendukung menyadari, mereka siap berkorban sesuai
kemampuan masing-masing. Tenaga serta pikiran sudah pasti, dan tidak sedikit yang rela
saweran untuk membiayai berbagai kegiatan yang harus digelar.
Ada kisah menarik, dalam soal
saweran. Ada seorang ibu-ibu yang datang membawa hasil panen berupa padi
kering. Padi kering sebanyak 3 karung di sumbangkan untuk membantu dalam pemenangan
secara suka-rela, tak ada diel politik. Rakyat kecil yang tak paham ABCDnya
politik, mendukung dengan tanpa syarat, bukan seolah relawan tapi memiliki
motif politik terselubung.
Di malam pencoblosan, relawan
menginisiasi untuk melakukan ronda jaga malam di basis masing-masing. Inisiatif
ini berangkat dari kesadaran bahwa di malam tersebut akan banyak serangan money
politik. Ada sekitar 700 relawan yang keliling dilorong-lorong di perbukitan
yang tentu saja naik-turun. Relawan yang jaga basis, ada di berbagai pos, beberapa
titik di pos ronda, rumah warga, perempatan lorong jalan, dan ada yang di
ladang-ladang. Nah, padi tersebut ternyata kemudian memiliki peran dalam
menopang kerja-kerja politik amatiran tersebut. Padi sebanyak 3 karung ini berguna
di malam pencoblosan, plus sumbangan yang lainnya untuk diolah menjadi nasi
bungkus.
Tentu ada banyak kisah sumbangan
lain yang bisa saya ceritakan. Tapi kisah tersebut bagi saya yang cukup
mengesankan. Ada banyak pengorbanan para relawan tanpa mengharap apapun.
Harapannya Cuma satu, ketika terpilih tetap komitmen pada rakyat kecil.
Kemenangan tersebut tentu saja
tidak saja mengandalkan modal sosial semata, melainkan didukung oleh strategi
dan manajemen konflik yang terukur. Bagaimanapun, sebesar apapun modal sosial
jika salah mengelola hampir di pastikan akan awut-awutan.
Secara materi, saya memang tidak
membantu. Namun setidaknya saya memiliki kontribusi. Jelang 6 bulan sebelum
pemilu, saya tiap bulan pulang kampung untuk membantu memantau secara langsung,
merumuskan strategi, merespon perkembangan isu, dan supervisi para relawan.
Kebetulan saat itu, saya bekerja di konsultan politik di Jakarta yang kerjanya
demikian pula. Pengorbanan saya, paling banter sebatas tiket, pikiran, dan
tenaga.
Kisah ini, tentu saja, bisa
menjadi oase dan semacam lilin penerang di tengah pragmatisme politik yang nyaris dianggapsebagai perilaku lumrah. Pengalaman ini juga memberi semangat dan optimisme
saya dalam memandang masa depan demokrasi di Indonesia. Bahwa politik murah dan
menggerakkan partisipasi itu masih bisa kita lakukan. Semoga.
0 komentar:
Post a Comment