RAKHMAT NUR
HAKIM
Kompas.com - 23/01/2018, 08:38 WIB
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (tengah) bersama pimpinan DPP
Partai Golkar membuka Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai
Golkar di JCC, Senayan, Jakarta, Senin (18/12/2017). Munaslub ini dilakukan
untuk memilih ketua umum baru Partai Golkar yaitu Airlangga Hartarto untuk
menggantikan Setya Novanto yang menjadi tersangka kasus pidana korupsi KTP
elektronik.(KOMPAS.com/ANDREAS LUKAS ALTOBELI)
JAKARTA, KOMPAS.com — Janji tinggal
janji. Demikian pernyataan Ketua DPP Partai Amanat Nasional Yandri Susanto
merespons sikap Presiden Joko Widodo yang membiarkan dua menteri di kabinetnya
merangkap jabatan partai.
Dua menteri itu adalah Menteri
Perindustrian Airlangga Hartarto yang merangkap Ketua Umum Partai Golkar,
dan Menteri Sosial Idrus Marham yang juga menjabat Koordinator Bidang
Hubungan Eksekutif dan Legislatif DPP Golkar.
Sikap Presiden yang
"mengistimewakan" Golkar ini berbeda dengan komitmen yang telah
disampaikannya sejak awal pemerintahan. Menteri tak boleh rangkap jabatan agar
fokus pada kerja pemerintahan.
Komitmen ini pula yang membuat Wiranto,
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, melepaskan jabatannya sebagai
ketua umum Partai Hanura.
Demikian pula Puan Maharani, yang
menanggalkan posisinya di struktur kepengurusan DPP PDI-P.
Yandri mengatakan, ia ingat komitmen
politik Presiden Jokowi soal larangan rangkap jabatan.
"Kita ingat betul Pak Jokowi waktu
kampanye dan di awal pemerintahannya ketika memilih para menteri, salah satu
yang Pak Jokowi hindari adalah rangkap jabatan. Waktu itu kan Mbak Puan harus
nonaktif (dari PDI-P), Pak Wiranto harus buat Munaslub (Hanura)," ujar
Yandri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/1/2018).
Aturan tak tertulis itu berlaku sejak
terbentuknya Kabinet Kerja.
Selain Wiranto dan Puan, politisi
PDI-P, Tjahjo Kumolo, juga melepaskan jabatan sekjen ketika ditunjuk menjadi
Menteri Dalam Negeri.
Sikap Presiden Jokowi menjadi sorotan
karena "keistimewaan" untuk Golkar tak didapatkan kader dari partai
lain yang duduk di kabinet dan telah mendukung Jokowi sejak masa pencapresan
2014.
Golkar yang baru masuk dalam gerbong
koalisi pendukung pemerintah pada Juli 2016 justru mendapatkan keistimewaan.
Inkonsistensi Jokowi terhadap
komitmennya terlihat sejak Airlangga terpilih sebagai Ketua Umum Golkar.
Saat ditanya wartawan soal rangkap
jabatan Airlangga, mantan Gubernur DKI Jakarta itu kerap menghindar.
Demikian pula ketika wartawan bertanya
kepada Airlangga. Ia mengatakan, hal itu merupakan kewenangan Presiden.
Hal itu berlanjut saat Presiden Jokowi
melantik Idrus Marham sebagai Menteri Sosial menggantikan Khofifah Indar
Parawansa yang mundur karena mengikuti Pilkada Jawa Timur.
Enam hari pascadilantik, nama Idrus ternyata kembali bercokol dalam struktur kepengurusan DPP Partai Golkar.
"Artinya janji tinggal janji,
komitmen tinggal komitmen. Pak Jokowi sendiri yang melanggar," kata
Yandri.
Pengamat politik Point Indonesia, Arief
Nurul Imam, mengatakan, ada cara yang bisa dilakukan Presiden Jokowi agar lepas
dari kritikan atas komitmen yang dilanggarnya.
Caranya, Jokowi harus
menjamin menteri yang rangkap jabatan di kabinetnya menunjukkan kinerja yang
baik dan sesuai target.
Jika Jokowi gagal menjamin kinerja dua
menteri Golkar tersebut, Imam memprediksi hal itu akan menjadi isu yang akan
dimainkan oleh partai oposisi pada 2019.
"Pasti itu akan terus-terusan jadi
bahan oposisi sampai nanti 2019," kata Imam.
0 komentar:
Post a Comment