Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Orang Boleh Pandai Setinggi Langit Tapi Selama ia Tidak Menulis Ia akan hilang didalam Masyarakat dan Sejarah. Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Wednesday, January 24, 2018
Menteri Rangkap Jabatan Tak Tunjukkan Kinerja, Bisa Dipolitisasi Lawan Politik
PolitikToday – Pengamat politik Point Indonesia, Arief Nurul Imam, berpendapat, keputusan Jokowi yang menuai pro dan kontra tersebut tidak lepas dari faktor mengamankan konsolidasi partai politik pendukung pada 2019.
“Jadi, saat ini, Jokowi akan mengakomodasi kepentingan politik yang pragmatis, bahkan meskipun bertolak belakang dengan janji semasa awal pemerintahannya sendiri,” lanjutnya.,” ujar Imam, Selasa (23/1).
Imam menuturkan, secara etika politik mungkin langkah Jokowi dinilai tidak tepat. Namun, secara politis, keputusan Jokowi dinilai sah-sah saja. Sebab, tanpa dukungan parpol pada akhirnya juga akan mempersulit Jokowi.
“Ini dilema memang. Namun, Jokowi tahu prioritasnya. Jokowi berpikir elektabilitasnya tinggi, tetapi tanpa dukungan parpol, dia tidak bisa maju. Akhirnya dia sekarang ini mengamankan suara parpol dulu. Baru menggenjot elektabilitas,” ujar Imam.
Tuesday, January 23, 2018
"Jelas, Jokowi Butuh 'Amankan' Pilpres 2019..."
·
Nasional
FABIAN
JANUARIUS KUWADO
Kompas.com - 24/01/2018, 08:43 WIB
Menteri Sosial Idrus Marham (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum
Partai Golongan Karya sekaligus Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto
(kanan) usai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/1). Presiden
melantik Idrus Marham sebagai Menteri Sosial menggantikan Khofifah Indar
Parawansa yang mengundurkan diri untuk mengikuti Pilkada Jawa Timur. ANTARA
FOTO/Puspa Perwitasari/foc/18.(ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)
JAKARTA, KOMPAS.com — Keputusan
Presiden Joko Widodo memperbolehkan Airlangga Hartarto merangkap jabatan
sebagai Menteri Perindustrian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar terus menuai
pro dan kontra.
Tak hanya Airlangga, Idrus Marham yang
baru saja dilantik sebagai Menteri Sosial juga merangkap Koordinator Bidang
Hubungan Eksekutif-Legislatif Partai Golkar.
Di kalangan partai politik pendukung
pemerintah, hanya PAN yang mengkritik keputusan Jokowi itu.
Sementara PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB,
dan PPP tidak mempersoalkannya.
Di sisi lain, partai politik oposisi,
yakni Gerindra dan PKS, mengkritik habis-habisan.
Keputusan Presiden Jokowi tersebut
terus disandingkan dengan komitmennya sejak awal pemerintahan: melarang menteri
merangkap jabatan di partai politik.
Butuh dukungan di
2019
Pengamat politik Point Indonesia, Arief
Nurul Imam, berpendapat, keputusan Jokowi yang menuai pro dan kontra tersebut
tidak lepas dari faktor mengamankan konsolidasi partai politik pendukung pada
2019.
"Jokowi itu terpaksa melanggar
komitmennya sendiri karena jelas dia butuh pengamanan Pilpres 2019," ujar
Imam kepada Kompas.com, Selasa (23/1/2018).
"Untuk maju di 2019, dia kan harus
didukung partai politik. Jadi, saat ini, Jokowi akan mengakomodasi kepentingan
politik yang pragmatis, bahkan meskipun bertolak belakang dengan janji semasa
awal pemerintahannya sendiri," lanjutnya.
Secara etika politik, kata Imam,
keputusan Jokowi menuai perdebatan. Namun, secara politis, keputusan Jokowi itu
dinilai tepat.
Sebab, tanpa dukungan partai politik,
akan mempersulit Jokowi.
"Ini dilema memang. Namun, Jokowi
tahu prioritasnya. Jokowi berpikir elektabilitasnya tinggi, tetapi tanpa
dukungan parpol, dia tidak bisa maju. Akhirnya dia sekarang ini mengamankan
suara parpol dulu. Baru menggenjot elektabilitas," ujar Imam.
"Ketika tiket dari parpol sudah
aman, tahapan kerja politik selanjutnya adalah menggenjot elektabilitas,"
katanya.
Apalagi, bagi seorang petahana,
sebenarnya tidak sulit meningkatkan elektabilitas. Jokowi hanya cukup
mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis. Suara otomatis bakal terdulang.
Jokowi, Golkar, dan Komitmen yang Dilanggar
RAKHMAT NUR
HAKIM
Kompas.com - 23/01/2018, 08:38 WIB
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (tengah) bersama pimpinan DPP
Partai Golkar membuka Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai
Golkar di JCC, Senayan, Jakarta, Senin (18/12/2017). Munaslub ini dilakukan
untuk memilih ketua umum baru Partai Golkar yaitu Airlangga Hartarto untuk
menggantikan Setya Novanto yang menjadi tersangka kasus pidana korupsi KTP
elektronik.(KOMPAS.com/ANDREAS LUKAS ALTOBELI)
JAKARTA, KOMPAS.com — Janji tinggal
janji. Demikian pernyataan Ketua DPP Partai Amanat Nasional Yandri Susanto
merespons sikap Presiden Joko Widodo yang membiarkan dua menteri di kabinetnya
merangkap jabatan partai.
Dua menteri itu adalah Menteri
Perindustrian Airlangga Hartarto yang merangkap Ketua Umum Partai Golkar,
dan Menteri Sosial Idrus Marham yang juga menjabat Koordinator Bidang
Hubungan Eksekutif dan Legislatif DPP Golkar.
Sikap Presiden yang
"mengistimewakan" Golkar ini berbeda dengan komitmen yang telah
disampaikannya sejak awal pemerintahan. Menteri tak boleh rangkap jabatan agar
fokus pada kerja pemerintahan.
Komitmen ini pula yang membuat Wiranto,
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, melepaskan jabatannya sebagai
ketua umum Partai Hanura.
Jaga Citra Jokowi, Menteri Rangkap Jabatan Disarankan Tunjukkan Kinerja
Oleh M Anwar pada hari Selasa, 23 Jan 2018 - 04:09:06 WIB
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Presiden Jokowi mendapatkan kritik
pasca-perombakan kabinet pada 17 Januari 2018, lantaran mempersilakan sejumlah
menterinya rangkap jabatan.
Tentu saja, sikap Jokowi itu berbeda dari komitmen yang ia tegaskan
ketika baru terpilih menjadi Presiden pada 2014 lalu, bahwa menteri tidak boleh
merangkap jabatan sebagai ketua umum atau pejabat struktural partai politik.
Pengamat politik Point Indonesia, Arief Nurul Imam mengatakan,
satu-satunya cara agar lepas dari kritikan tersebut adalah pembuktian kinerja
dari para menteri yang rangkap jabatan tersebut.
"Ketika kampanye, Presiden kan bilang menteri rangkap jabatan tidak
boleh atas alasan pasti tidak efisiensi kerja. Sekarang diperbolehkan merangkap
jabatan. Untuk menangkal isu negatif, tunjukkan hasil kerja nyata," ujar
Imam Senin (22/1/2018).
Dengan menunjukkan kinerja yang fantastis, publik pasti tidak lagi
mempersoalkan ada menteri yang merangkap jabatan.
Sebab, menteri tersebut nantinya dianggap telah membuktikan diri bahwa
rangkap jabatan sebagai pejabat strukural partai politik ternyata tidak mengganggu
pencapaian di pemerintahan.
Namun, jika menteri itu tidak menunjukkan pencapaian fantastis selama
sekitar satu tahun sisa periode pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Imam
yakin perubahan komitmen Presiden akan terus dipolitisasi, terutama oleh lawan
politik, menuju Pemilihan Presiden 2019.
"Pasti itu akan terus-terusan jadi bahan oposisi sampai nanti
2019," kata Imam.
Diketahui, Presiden Jokowi mengizinkan sejumlah menterinya merangkap
jabatan, baik sebagai ketua umum maupun pejabat struktural partai politik.
Misalnya Presiden Jokowi mengizinkan Airlangga Hartarto merangkap
jabatan sebagai Menteri Perindustrian dan Ketua Umum Partai Golkar.
Selain itu, ada Idrus Marham yang baru saja dilantik sebagai menteri
sosial, namun ia juga mendapatkan posisi sebagai Koordinator Bidang Hubungan
Eksekutif-Legislatif Partai Golkar.
Nusron Wahid juga diketahui merangkap jabatan sebagai Kepala BNP2TKI
sekaligus Ketua Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa-Kalimantan
Partai Golkar.
Terakhir, Puan Maharani juga dikabarkan bakal mendapatkan posisi
strategis di partainya, PDI Perjuangan. Ketua DPP PDI-P Hendrawan Supratikno
mengatakan, Presiden Jokowi sudah memberikan kelonggaran bagi para menterinya
untuk merangkap jabatan, salah satunya Puan. (aim)
Sumber TeropongSenayan
Monday, January 22, 2018
Menteri Rangkap Jabatan Disarankan Tunjukkan Kinerja demi Citra Jokowi
·
Nasional
FABIAN
JANUARIUS KUWADO
Kompas.com - 22/01/2018, 22:21 WIB
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama pimpinan DPP Partai Golkar membuka
Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di JCC, Senayan,
Jakarta, Senin (18/12/2017). Munaslub ini dilakukan untuk memilih ketua umum
baru Partai Golkar yaitu Airlangga Hartarto untuk menggantikan Setya Novanto
yang menjadi tersangka kasus pidana korupsi KTP elektronik.(KOMPAS.com /
ANDREAS LUKAS ALTOBELI )
JAKARTA, KOMPAS.com -
Pasca-perombakan kabinet pada 17 Januari 2018, Presiden Joko Widodo menjadi
sasaran kritik sejumlah pihak lantaran mempersilakan sejumlah menterinya rangkap jabatan.
Hal ini berbeda dari komitmen yang ia
tegaskan ketika baru terpilih menjadi Presiden pada 2014 lalu, bahwa menteri
tidak boleh merangkap jabatan sebagai ketua umum atau pejabat struktural partai
politik.
Pengamat politik Point Indonesia, Arief
Nurul Imam mengatakan, satu-satunya cara agar lepas dari kritikan tersebut
adalah pembuktian kinerja dari para menteri yang rangkap jabatan tersebut.
"Ketika kampanye, Presiden kan
bilang menteri rangkap jabatan tidak boleh atas alasan pasti tidak efisiensi
kerja. Sekarang diperbolehkan merangkap jabatan. Untuk menangkal isu negatif,
tunjukkan hasil kerja nyata," ujar Imam saat dihubungi Kompas.com,
Senin (22/1/2018).
o Dualisme, Hanura Terancam Tak Bisa Atasi Konflik
Minggu, 21 Januari 2018 | 09:21 WIB
·
o
Photo
:
§
VIVA/Eka Permadi
Wakil Ketua Umum Partai Hanura, Gede Pasek Suardika kubu Oso.
VIVA – Partai
Hanura, kini dirundung dualisme kepengurusan di tingkat pusat. Setelah kubu
Ambhara resmi memecat Oesman Sapta Odang atau Oso selaku ketua umum digantikan
oleh Daryatmo, saat munaslub beberapa hari lalu.
Kubu Oso, tentu tidak ingin menyerah. Sehingga,
kini partai itu dipimpin oleh dua kubu yang berbeda. Dengan peristiwa ini,
Hanura dianggap tidak memiliki managemen konflik yang baik.
“Dualisme kepengurusan ini akan menghambat
konsolidasi partai menghadapi verifikasi parpol, serta kerja-kerja politik
menghadapi Pilkada,” ujar pengamat politik POINT Indonesia Arif Nurul Imam,
kepada VIVA.co.id, Minggu 21 Januari 2018.
Thursday, January 18, 2018
Jokowi Legalkan Cantrang Demi Suara Nelayan di Pilpres 2019?
FABIAN
JANUARIUS KUWADO
Kompas.com - 18/01/2018, 08:58 WIB
Ratusan Nelayan dari berbagai daerah yang tergabung dalam Aliansi
Nelayan Indonesia (ANI) menggelar unjuk rasa di Monas, Jakarta Pusat, Rabu
(17/1). Mereka mendesak Pemerintah mencabut Peraturan Menteri Nomor 2/2015 yang
mengatur penggunaan alat cantrang oleh nelayan tradisional. ANTARA FOTO/Dhemas
Reviyanto/ama/18(ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah
melunak soal penggunaan alat penangkap ikan jenis cantrang.
Sempat dilarang keras dan akhirnya
menuai protes dari kelompok nelayan Indonesia, khususnya di Pantai Utara Jawa,
cantrang akhirnya diperbolehkan digunakan dengan syarat dan batasan.
Perjalanan
Polemik Cantrang
Catatan Kompas.com, polemik
cantrang berawal dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor 02 Tahun 2015 dan
Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2016 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti. Larangan didasarkan pada kajian bahwa penggunaan cantrang bisa
merusak ekosistem laut.
Nelayan Pantura
kemudian tumpah ruah ke depan kantor Menteri Susi hingga Istana menuntut
pemerintah kembali melegalkan cantrang.
Mereka bersikukuh bahwa cantrang tidak
merusak lingkungan. Lebih-lebih cantrang telah menjadi alat mata pencaharian
yang terjangkau bagi mereka.
Isu cantrang lalu mengalami pasang
surut. Entah kebetulan atau tidak, 'goyangan' nelayan itu hanya muncul setiap
hangat-hangatnya isu perombakan kabinet alias reshuffle.
Isu ini juga tak lepas dari bau
politik. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sampai menemui kelompok nelayan hanya
untuk membahas pro kontra cantrang itu pada 26 April 2017.
Setelah bertemu, Cak Imin, sapaan akrab
Muhaimin, mendorong Presiden Jokowi menyelesaikan persoalan itu.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)
Budi Gunawan sempat merespons polemik cantrang.
Budi yang biasanya irit bicara,
tiba-tiba berkomentar bahwa ada kartel perikanan di Indonesia yang tengah
berupaya menyerang posisi Susi. Kartel itu merasa terganggu dengan kinerja
positif Susi.
Mei 2017, Presiden Jokowi melunak. Ia
meminta Menteri Susi memperpanjang masa transisi nelayan untuk beralih dari
alat penangkapan ikan cantrang ke alat penangkapan ikan lain yang
direkomendasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Menteri Susi juga melunak dengan
memperpanjangnya hingga Desember 2017.
Dalam masa itu, Presiden Jokowi juga
meminta Susi menggiatkan pembagian alat penangkapan ikan pengganti cantrang
kepada nelayan.
"Nelayan Marah,
Jokowi Susah"
Sekitar setengah tahun isu cantrang itu
kembali mereda, Presiden Jokowi menemui perwakilan nelayan pro cantrang di sela
kunjungan kerjanya ke Jawa Tengah, 15 Januari 2018 lalu di salah satu rumah
makan terkenal di Kota Tegal.
Pertemuan itu dilanjutkan di Istana
Merdeka, Jakarta, Rabu, 17 Januari 2018 kemarin, usai Jokowi melantik lima
pejabat negara yang baru.
Hanya lima orang perwakilan nelayan
yang diterima Presiden Jokowi. Sementara, ada ribuan nelayan dari lima
kabupaten di Jawa Tengah tumpah ruah di Jalan Medan Merdeka Selatan yang
mengawal pertemuan tersebut.
Usai pertemuan, Menteri Susi sendiri
yang menyampaikan hasilnya kepada ribuan nelayan itu.
"Ibu Susi membawa kabar baik. Jadi
(izin penggunaan cantrang) diperpanjang tanpa batasan waktu, tapi tidak boleh
menambah kapal," kata Juru Bicara Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) Hadi
Santoso yang mendampingi Susi di atas mobil orasi.
Nelayan bersorak gembira. Bahkan, ada
yang berteriak, "I love you, Susi".
Susi kemudian menambahkan, nelayan akan
didorong untuk beralih menggunakan alat penangkapan ikan selain cantrang.
KKP akan menyediakan pola bantuan
pinjaman melalui pemerintah daerah masing-masing agar nelayan tidak terlalu berat
dari sisi pembiayaannya.
Susi juga mengatakan, tidak boleh lagi
ada penambahan kapal cantrang.
"Keputusan tadi tolong dihormati.
Saya tidak mau ada kapal cantrang ilegal, tidak punya ukuran, ukuran mark
down masih melaut," kata Susi.
"Setujuuu," jawab para
nelayan kompak.
"Tapi semua harus berniat, beralih
alat tangkap. Setuju?" tanya Susi.
"Setujuuu," jawab para
nelayan.
"Kalau enggak setuju saya cabut
lagi (izin penggunaan cantrang)," ancam Susi.
"Kan katanya sampeyan mau jagain
Pak Jokowi toh.
Kalau Sampeyan bandel terus, nelayan tradisional marah, Pak Jokowi kan juga
susah. Jadi tolong, kompromi ini dipatuhi," lanjut dia.
Demi Suara Nelayan
Pengamat politik Point Indonesia Arif
Nurul Iman melihat serangkaian peristiwa mengenai isu cantrang tarik ulur suara
menjelang 2019.
Iman mengatakan, nelayan Pantai Utara
Jawa cukup banyak jumlahnya. Dari sisi elektoral, itu merupakan lumbung suara.
Apalagi berkaca pada Pilpres 2014, kawasan utara Jawa didominasi oleh pencoblos
Jokowi.
Maka tidak heran jika Jokowi melunak
terhadap tuntutan kelompok nelayan. Ini terlepas dari apakah cantrang
benar-benar merusak lingkungan atau tidak.
"Saya tidak terlalu memahami soal
cantrangnya. Tapi sebagai politikus, Jokowi tidak akan bisa melepaskan keputusannya
dari faktor-faktor pertimbangan politis, salah satunya adalah menjaga
konstituennya," ujar Iman kepada Kompas.com, Kamis (18/1/2018)
pagi.
"Jadi kebijakan yang dia ambil,
termasuk melunak soal cantrang, ini tidak bisa lepas dari bagaimana mendongkrak
elektabilitasnya. Apalagi tahun 2018 ini dan tahun 2019 adalah tahun politik.
Jokowi merasa perlu melakukan itu dan dia diuntungkan kok," lanjut dia.
Manuver politik Jokowi yang melunak
soal cantrang ini, lanjut Iman, sekaligus memberi angin segar bagi PKB.
Cak Imin dan kawan-kawan boleh saja
mengklaim bahwa keputusan Presiden itu merupakan hasil dari 'pressure' yang ia
lakukan selama ini.
Tentu ini membuat popularitasnya di
kalangan nelayan meningkat.
"Itu akan menjadi klaim politik
PKB bahwa aspirasi nelayan telah diperjuangkan dan hasilnya ya sesuai dengan
maunya nelayan. Dari tidak boleh menjadi boleh," lanjut Iman.
Ke depan, tentu hanya waktu yang bisa
membuktikan apakah suara nelayan tetap pada Jokowi atau beralih ke PKB yang
belakangan disebut-sebut hendak membuat poros baru di Pilpres 2019.
Sumber Kompas http://nasional.kompas.com/read/2018/01/18/08584001/jokowi-legalkan-cantrang-demi-suara-nelayan-di-pilpres
Pengamat: Dukungan Perindo Perbesar Peluang Menang 2DM
PEMERINTAHAN RABU,
17 JANUARI 2018 , 18:24:00 WIB | LAPORAN: YUSLIPAR
RMOLJabar. Dukungan
Partai Perindo pada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat Deddy
Mizwar dan Dedi Mulyadi makin menguatkan bapaslon ini untuk berkompetisi di
Pilgub Jabar 2018 mendatang.
Meski parpol non parlemen, Perindo memiliki sejumlah kekuatan yang akan memperbesar
peluang kemenangan.
"Dukungan Perindo ke Deddy Mizwar dan Dedi
Mulyadi tentu akan menambah kekuatan politik baru dalam memperbesar kemenangan.
Sebab Perindo memiliki sejumlah kekuatan politik yang dapat mendongkrak
elektabilitas pasangan 2 DM," ujar pengamat politik POINT Indonesia, Arif
Nurul Imam kepada RMOL Jabar, Rabu (17/1).
Saturday, January 6, 2018
PILGUB JABAR 2018: 2DM Maju, Isu SARA Tak Laku Di Jawa Barat
Bisnis.com,BANDUNG--Analis Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Imam mengatakan Isu SARA masih mungkin dimainkan dalam arena kontestasi Pilgub Jawa Barat 2018.
Sebagaimana diketahui, kemunculan isu SARA dapat merusak tenun kebangsaan karena berorientasi pada politik identitas bukan rasional.
“Kemungkinan isu SARA dimainkan di Pilkada Jabar itu masih ada. Tetapi, saya kira dampaknya tidak akan signifikan. Karena, para bakal calon yang muncul itu orang lokal semua,” kata Arif Jabar, Jumat (5/1/2018).
Menurut Arif, isu SARA bahkan tidak akan laku dijual dan tidak akan menemukan momentum kebangkitan di Jawa Barat. Hal ini karena, terdapat satu pasangan calon yang mampu meminimalisir isu tersebut.
Pilkada Jateng Jadi Tantangan Berat PDIP
Sabtu, 6 Januari 2018 - 10:14 WIB
Sabtu, 6
Januari 2018 - 10:14 WIBPilkada Jawa Tengah jadi tantangan berat PDIP untuk
bisa mengulang kembali catatan sejarah memenangkan pilkada. Foto ilustrasi/SINDOnews
YOGYAKARTA - Pilkada
Jawa Tengah tidak kalah serunya dengan pilkada lain seperti Jawa Barat dan Jawa
Timur. Di Provinsi inilah PDIP harus berhati hati dan memiliki tantangan berat
untuk bisa mengulang kembali catatan sejarah memenangkan pilkada.
Analis politik POINT Indonesia Arif Nurul Imam mengatakan, Jawa Tengah merupakan basis utama PDIP. Dengan kondisi ini hampir dipastikan PDIP akan berjuang total dan mati-matian untuk memenangkan Pilkada.
Peta dukungan terhadap Gubernur besutan PDIP Ganjar Pranowo yang banyak menuai kritikan menjadi sebuah catatan besar.
"PDIP harus selektif memilih pasangan cagub dan cawagub yang hendak diusung. Jika kalah di basis, ini tentu menjadi preseden buruk bagi partai berlambang banteng moncong putih tersebut," ujarnya saat berbincang dengan SINDOnews, Sabtu (6/1/2018).
Friday, January 5, 2018
Isu Sara Bakal Hiasi Pilkada Jabar, Deddy Mizwar Dinilai Sebagai Perisai Dedi Mulyadi
BaladSiliwangi
- Analis politik Point Indonesia, Arif Nurul Imam, mengatakan, isu SARA masih
mungkin menghiasi Pilkada Jawa Barat 2018.
“Kemungkinan isu SARA dimainkan di Pilkada Jabar masih ada. Meski
demikian, dampaknya tak begitu signifikan karena bakal calon yang muncul di
permukaan orang lokal semua,” kata Arif, Kamis (4/1/2018).
Menurut Arief, strategi Dedi Mulyadi menggandeng Deddy Mizwar sebagai
pasangannya di Pilkada Jawa Barat 2018 dapat dikatakan sebagai langkah tepat.
Sebab, Dedi menjadi salah satu kandidat yang mungkin diserang isu SARA lantaran
dirinya sangat kental dengan budaya sunda dan nasionalisme.
“Pasangan Dedi Mulyadi-Deddy Mizwar menjadi pasangan calon yang
merepresentasikan nasionalis-relegius sehingga pasangan ini merupakan perpaduan
corak representasi masyarakat Jabar. Artinya, dengan duet dua tokoh ini,
serangan SARA kepada Dedi Mulyadi akan berkurang, bahkan bisa diredam karena
adanya Deddy Mizwar,” katanya.
Potensi isu SARA, lanjut Arif, kemungkinan besar akan diembuskan jika
lawan politik Dedi Mulyadi mengapitalisasi isu-isu SARA.
“Namun, dampak elektoralnya tak bakal signifikan. Selain itu, latar
belakang Dedi Mulyadi sebagai mantan aktivis HMI dan pengurus Nahdlatul Ulama
dapat menjadi counter isu yang bisa meredam isu tersebut,” ucapnya.
Arif menilai, ada isu lain yang mungkin bisa dimainkan dalam Pilkada
Jawa Barat ketimbang menggunakan isu SARA.
“Isu perang kesalehan, siapa yang paling saleh atau religius. Isu lain
soal Meikarta juga akan menjadi isu hangat,” tandasnya.
Sementara itu, Dedi Mulyadi mengklaim pasangan Dua DM (Dedi
Mulyadi-Deddy Mizwar) bakal memberikan sumbangsih besar untuk Pilkada Jawa
Barat 2018 dengan cara menurunkan tensi politik yang memungkinkan dibuat tinggi
dengan isu SARA.
“Dua-duanya mewakili dua sisi yang berbeda. Yang satu mewakili kelompok
masyarakat religius, yang satu mewakili representasi masyarakat nasionalis.
Dua-duanya kali ini digabungkan dari yang biasa dibenturkan. Ini sumbangsih
kita bagi Pilkada Jawa Barat untuk menjadikan pilkada yang tenang, tertib, dan
adem serta memberikan rasa nyaman bagi masyarakat,” kata Dedi, Kamis.
Sumber Kumparan https://kumparan.com/balad-siliwangi/isu-sara-bakal-hiasi-pilkada-jabar-deddy-mizwar-dinilai-sebagai-perisai-dedi-mulyadi
Pilkada Jabar Dinilai Akan Jadi Perang Kesalehan, Siapa yang Paling Religius
Jumat, 5 Januari 2018
Kolase Tribun Jabar
Dedi Mulyadi dan Deddy Mizwar (Duo
DM)
Laporan wartawan Tribun Jabar,
Haryanto
TRIBUNJABAR.CO.ID, PURWAKARTA - Isu SARA
dianggap tidak akan terlalu laku pada kontestasi Pemilihan Gubernur Jawa Barat
2018 nanti.
Menurut Analis Politik POINT
Indonesia, Arif Nurul Imam, hal tersebut karena para bakal calon berasal dari
orang lokal.
Selain itu, isu tersebut bisa diredam
oleh adanya bakal calon dari koalisi Sejajar yaitu 2DM, Bupati Purwakarta, Dedi
Mulyadi dan Wakil Gubernur Jabar, Deddy Mizwar.
Arif menambahkan, kedua sosok itu
bisa saling melengkapi dan mampu meminimalisir isu SARA yang kemungkinan
berkembang.
"Pasangan tersebut
merepresentasikan kubu nasionalis dan kubu religius. Maka, saya kira ini sangat
mewakili corak publik Jawa Barat," kata Arif saat dihubungi melalui
sambungan telepon, Jum’at (5/1/2018).