Foto : www.gmni.or.id
Pada suatu kesempatan, sekitar setahun lalu, saya diajak salah satu pentolan GMNI Jan Prince Permata untuk mengikuti diskusi di sekretariat pusat GMNI. Tema yg diusung pun menarik, "Peran Media dan Gerakan Mahasiswa".yang dihadiri para presidium dan ketua presidium.
Dalam forum diskusi tersebut saya melontarkan bahwa GMNI dalam posisi dilema. Dikatakan dilema karena secara simbolik kelompok merah hari ini sedang berkuasa, tapi secara representatif kader GMNI yang duduk di jabatan strategis hampir tidak ada, misalnya setingkat menteri. Toh jika ada, misalnya Kang Teten Masduki bukan representasi GMNI, melainkan NGO.
Sementara itu, karena secara simbolik ideologi sama, pergerakan GMNI menjadi tidak luwes, bahkan kaku karena dianggap publik sebagai bagian gerbong kekuasaan. Dampaknya, GMNI kerap gagap, untuk tidak mengatakan dilema dalam merespon isu dan kebijakan publik yang acapkali bertentangan dengan kepentingan publik.
Meski bukan parpol, sebagaimana diketahui, representasi semacam ini kerap dijadikan acuan dalam menentukan jabatan-jabatan politis. Karenanya, posisi GMNI hari ini memang dilema, karena seolah-olah ikut bagian gerbong kekuasaan, tapi dalam kenyataannya justru tak ikut kecipratan kue kekuasaan. Disisi lain sebagai gerakan mahasiswa, mereka di tuntut menjadi agen of change sekaligus menjadi kekuatan kontrol bagi rezim yang berkuasa.
Kongres XX kali ini yang dibuka oleh Presiden Jokowi, saya kira penting membicarakan reposisioning ini, agar GMNI makin progresif dan jaya. Dan satu lagi, misalnya mempertegas sikap dan komitmennya dalam memperjuangkan para marhaen, seperti terkait penolakan warga Kendeng menolak pabrik semen. Menjadi Pejuang-Pemikir, Pemikir-Pejuang yang membumi. Selamat Berkongres GMNI.
0 komentar:
Post a Comment