Selasa , 30 May 2017, 14:30 WIB
Red: Heri Ruslan
dok pri

Oleh: Arif Nurul Imam
(Analis Politik POINT INDONESIA)
REPUBLIKA.CO.ID,
-- Pilkada DKI Jakarta telah usai digelar dengan meninggalkan sejumlah
jejak dan catatan. Secara umum Pilkada ini bisa dikatakan berjalan
lancar, meski harus diakui masih banyak catatan kritis yang berlangsung
selama hajat demokrasi ini.
Berdasar hasil rekapitulasi
penghitungan suara KPU DKI Jakarta (30/4/2017), pasangan calon nomor
pemilihan tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno dinyatakan sebagai pemenang
Pilkada putaran kedua dengan 57,96 persen suara. Adapun pasangan nomor
pemilihan dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat
memeroleh 42,04 persen suara.
Meski sebelumnya muncul
sejumlah kekhawatiran seperti konfik horizontal, kita patut
mengapresiasi kepada semua stakeholder Pilkada, terutama warga Jakarta
karena Pilkada ini bisa berjalan dengan aman. Namun demikian, diakui
atau tidak, Pilkada ini juga menyisakan sejumlah persoalan, terutama
bagaimana kembali merajut kehidupan sosial agar berjalan normal dan
harmonis.
Selain itu, peristiwa politik paling akbar sepanjang
tahun 2017 ini, juga membukukan catatan positif. Setidaknya, hal ini
bisa dilihat dari tingkat partisipasi diputaran kedua yang mencapai
angka 78 persen dengan 5.661.895 pengguna hak pilih, melebihi angka
partisipasi secara nasional.
Pasangan Anies-Sandi yang mengusung
tagline “Maju Kotanya, Bahagia Warganya” tentu memiliki tanggung jawab
untuk mewujudkan janji kampanye pasca dinyatakan KPU DKI sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih.
Di tengah keretakan sosial
akibat persaingan dalam kontestasi pilkada, tugas pertama dan utama
adalah bagaimana merajut kohesi sosial, dengan demikian, kehidupan warga
bisa kembali berjalan normal serta harmonis. Persaingan politik yang
keras dalam Pilkada kemarin, nampaknya menyisakan sejumlah masalah
sosial yang harus di antisipasi sebagai basis pijak menyusun program
kerja untuk memenuhi janji kampanye.
Janji kampanye tak boleh
dianggap sekadar main-main, melainkan mesti menjadi komitmen Anies-Sandi
untuk diwujudnyatakan ketika menjabat. Sebab, janji kampanye bukan
sekadar lipstik untuk meraih dukungan, melainkan sebuah komitmen untuk
mewujudkan harapan warga. Janji kampanye harus dipahami sebagai sebuah
kontrak politik antara kandidat dengan warga yang menitipkan aspirasi
yang diterjemahkan dalam bentuk program kerja ketika mengemban amanah
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
Membangun kota metropolitan
Jakarta memang dipastikan bakal menjumpai aneka kerumitan dan beragam
tantangan yang tak mudah. Sebagai Ibukota, Jakarta adalah kota yang
memiliki 1001 kepentingan. Bukan hanya kepentingan publik yang justru
seringkali diabaikan, melainkan pula kepentingan para pemodal besar,
elit politik nasional, dan kelompok pemburu rente lainnya.
Tantangan Anies-Sandi
Kompleksitas
persoalan yang membelit Jakarta memang menyimpan sejumlah tantangan.
Sekurang-kurangnya, tantangan yang bakal dihadapi akan datang dari tiga
kelompok.
Pertama, tantangan bakal muncul dari tim sukses dan relawan
pendukung. Hal ini karena, bukan tidak mungkin, banyak tim sukses atau
relawan yang melihat kemenangan ini sebagai sarana untuk memeroleh
keuntungan ekonomi dengan berebut mendapatkan kue kekuasaan sehingga
pada gilirannya merugikan kepentingan publik.
Hal ini memang
kadang kerap menjadi dilema, sebab tim sukses atau relawan merasa
‘berkeringat’ dalam kerja-kerja politik pemenangan. Pemahaman inilah
yang tak jarang mendorong tim sukses atau relawan ikut merangsek dalam
lingkatan kekuasaan dengan logika politik balas jasa. Tidak haram memang
tim sukses atau relawan ikut menjadi bagian lingkaran kekuasaan, tapi
mesti berdasarkan kompetensi atau pengalaman sehingga jabatan-jabatan
strategis betul-betul dipegang orang yang kompeten, bukan karena balas
jasa atau nepotisme.
Kedua, menghindari intervensi partai
politik yang bertentangan dengan kepentingan publik. Tentu peran partai
tak bisa dinegasikan, namun harus dipastikan partai-partai politik
pendukung, jangan sampai justru mengintervensi hal-hal yang justru
merugikan kepentingan publik. Toh, jika Anies-Sandi sukses mewujudkan
janji kampanye pada gilirannya partai pengusung akan memeroleh reward
politik berupa citra positif yang dapat dikonversi menjadi dukungan
elektoral pada Pemilu 2019.
Kekhawatiran ini muncul sebab
meminjam pendapat ilmuwan politik Dodi Ambardi, di Indonesia praktik
kartel politik masih marak dilakukan untuk menjaga keberlangsungan hidup
mereka sebagai kepentingannya. Kelangsungan hidup partai-partai politik
ini ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber
keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah. Sumber
keuangan partai yang dimaksud bukanlah uang pemerintah yang resmi
dialokasikan untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang
didapatkan oleh partai melalui perburuan rente.
Ketiga,
menghindari intervensi donatur besar atau pengusaha. Kampanye yang
menguras biaya besar tentu hampir tak mungkin jika hanya ditanggung oleh
kontestan Pilkada. Itu sebabnya, banyak donatur yang memberi sumbangan
dengan berbagai motif. Yang perlu diwaspadai, donatur besar karena
potensial mendikte kebijakan ketika menjabat.
Dalam politik, postulat ‘tak ada makan siang gratis’ tentu harus menjadi warning agar waspada terhadap modus politik para donatur besar yang sekadar berburu rente.
Perlu
dipastikan aturan main, misalnya, dalam proses tender proyek APBD
sehingga tak bisa melakukan intrervensi pemenang tender. Dengan adanya
aturan yang jelas dan pasti, proses tender semacam ini dapat mendorong
terciptanya tender yang transparan sekaligus menepis kemungkinan proyek
sekadar sebagai balas jasa politik.
Di bentuknya tim sinkronisasi
yang dipimpin mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman
Said, hemat penulis, mesti jeli melihat permasalahan ini sehingga bisa
membantu menyusun langkah antisipasi. Tim tersebut hendaknya bisa
memosisikan sebagai ‘penjaga moral’ Anies-Sandi dalam menerjemahkan
janji kampanye dalam bentuk program kerja yang solutif serta menjadi
kebutuhan publik.
Menurut jadwal pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno bakal
dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur pada bulan Oktober 2017.
Rentang waktu tunggu pelantikan yang masih sekitar lima bulan hendaknya
dapat dimanfaatkan secara optimal guna menyusun sekaligus
mengkomunikasikan program kerja dengan Gubernur yang menjabat saat ini
untuk melakukan berbagai sinkronisasi guna memudahkan mewujudkan janji
kampanye.
Janji kampanye yang kontroversial seperti menolak reklamasi, DP (down payment)
rumah nol persen, menciptakan pengusaha muda baru dengan program OK-OCE
dan lainnya perlu mendapat perhatian serius dan sungguh-sungguh. Kita
berharap janji kampanye dapat secara nyata menjadi program kerja yang
benar-benar dirasakan manfaatnya oleh warga sebagaimana jargon kampanye
“Maju Kotanya, Bahagia Warganya”. Wallahu a'lam.
REPUBLIKA, 30 Mei 2017
0 komentar:
Post a Comment