Oleh : Arif Nurul Imam
Jakarta adalah kota besar yang tak boleh dikelola dengan sembarangan atau asal-asalan. Sebagai pusat pemerintahan, seharusnya Jakarta dapat menjadi inspirator daerah lain bagaimana menjalankan pemerintahan yang dapat menjadikan warga adil, makmur, nyaman dan bahagia. Sebagai ibukota Negara, Jakarta bisa dikatakan memiliki segalanya, bukan hanya soal potensi yang beragam serta sumber pendanaan yang memadai , tapi juga menyimpan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang melimpah, selain akses yang mudah.
Good and clean governance merupakan gagasan global yang sedapat mungkin mesti menjadi acuan dalam menyelenggarakan tata pemerintahan yang bersih, efisien, transparan, profesional dan akuntabel. Prinsip dan nilai demikian akan mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta serta masyarakat. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator selain regulator yang berfungsi memfasilitasi sekaligus mengatur bagaimana dunia usaha swasta dan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan.
Revitalisasi birokrasi menjadi keharusan yang tak bisa ditawar-tawar ditengah kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan. Sebagai pelayan publik, birokrasi tak bisa sembrono dalam menjalankan tanggung jawabnya. Ia adalah instrument pemerintah yang menjadi ujung tombak, karena itu, dituntut bekerja profesional. Paradigma birokrat yang gemar “memungut” harus dirubah menjadi “melayani”. Agenda ini dapat di mulai dengan melakukan penguatan kapasitas, efesiensi anggaran, serta penataan kelembagaan disertai bekerjanya mekanisme check and balance.
Partisipasi publik yang melibatkan dunia usaha swasta serta masyarakat merupakan elan vital dalam menjalankan pembangunan. Tanpa keterlibatan dua kelompok tersebut hanya akan menjadikan kepincangan pembangunan. Masyarakat dan dunia usaha swasta tak bisa dipandang sebagai pelengkap saja, melainkan harus ditempatkan sebagai mitra strategis sekaligus aktor yang bersinergi dengan pemerintah. Mereka tak bisa dipandang lagi sebagai objek pembangunan, melainkan harus ditempatkan sebagai subjek pembangunan yang turut serta merumuskan kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah. Tentu saja, peran yang dilakukan sesuai dengan kapasitas serta kemampuan masing-masing.
Identifikasi sosial dan budaya menjadi sangat penting untuk mengetahui bagaimana karakteristik warga Jakarta. Selain itu menyusul peta ekonomi sebagai acuan potensi apa saja yang perlu dikembangkan disektor ekonomi. Tata ruang harus mengikuti peta sosial budaya dan ekonomi, sehingga tata ruang mengikuti kebutuhan manusianya. Bukan seperti sekarang ini, manusia dipaksa mengikuti tata ruang.
Pembangunan berbasis komunitas (community development) mustahil dihindari sebagai pilihan model pembangunan yang paling relevan. Karakteristik serta potensi yang beragam adalah kenyataan yang tak bisa memaksakan pembangunan yang seragam. Potensi serta karakteristik yang terdapat disetiap wilayah harus difasilitasi oleh pemerintah agar tumbuh berkembang menjadi bagian kekuatan ekonomi yang pada giliranya memakmurkan warga di satu pihak, dan dipihak lain memberikan peluang usaha bagi sektor usaha swasta.
Pembangunan semacam ini, tidak saja akan mengangkat derajat kesejahteraan warga dan sektor usaha swasta, melainkan pula akan melahirkan icon bagi Jakarta sebagai kota yang memiliki keunikan yang beranekaragam menjadi “kampungku, kotaku”. Paradigma pembangunan semacam inilah yang selama ini absen dari desain pembangunan, toh, kalau ada hanya sekadar lipstik semata. Kita harus memulai saat ini juga dengan bersama untuk Berdaya Bareng2. (Arif Nurul Imam)
sumber: www.faisal-biem.com 2012
0 komentar:
Post a Comment