
Faisal Basri adalah sosok tokoh publik
yang sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat. Ia dikenal sebagai
ekonom yang kritis, politisi dan aktifis. Gagasan-gagasannya banyak
dicurahkan dalam bentuk tulisan yang banyak bertebaran di media massa
selain beberapa buku. Itu sebabnya, lelaki kelahiran 6 November 1959,
oleh sejumlah kalangan, misalnya Wakil Presiden Bodiono menyebut dia
sebagai sosok intelektual aktifis yang tak puas hanya berkutat pada
tataran teori dan konsep, namun berusaha keras untuk mewujudkannya.
Secara pribadi saya mengenal karena
membaca tulisan-tulisannya yang rutin di kolom analisis ekonomi politik
disebuah harian nasional. Mulai saat itu, perlahan-lahan saya mulai
mengagumi kapasitas intelektualnya, selain integritasnya. Karena
mengagumi, oleh karena itu, tidak aneh jika kemudian saya mulai
mengkliping tulisan-tulisan tersebut yang kadang saya baca
berulang-ulang. Kebetulan pula, saya memiliki minat untuk bisa menulis
sehingga menjadi salah satu referensi bagaimana menulis dengan runtut
dan sistematis. Perjumpaan pertama dengan pendiri dan mantan Sekjend DPP
PAN ini, pada acara deklarasi Komite Persiapan Pergerakan
Indonesia(KPPI), di Yogyakarta sekitar tahun 2004. Dia datang bersama
Nurcholis Madjid untuk memberikan ceramah yang dihadiri oleh para
aktifis di kota gudeg tersebut. Waktu itu, saya hanya sekadar bisa
salaman saja. Saya duduk sekitar 10 meter di sebelahnya. Anehnya, meski
belum mengenal, matanya lama menatap saya dan berulang-ulang.
Selanjutnya, setiap datang ke Jogja, saya diajak teman-teman untuk ikut
diskusi dengannya.
Sejak saya hijrah ke Jakarta, intensitas
pertemuan dan kesempatan mengikuti diskusi makin sering sehingga
sejumlah keheranan muncul dalam benak saya. Keheranan itu terutama soal
gaya hidup yang sangat bertolak belakang dengan gaya hidup para elit
politik atau sebagian besar tokoh. Gaya hidupnya sederhana, egaliter,
tidak elitis dan memandang semua orang setara, tanpa melihat status
sosial atau jabatannya. Jiwa egaliternya, misalnya, yang saya lihat
dengan mata kepala sendiri, ia menolak diberikan kopi dengan gelas yang
privilise. Dalam Pilgub DKI Jakarta 2012, Faisal Basri yang maju dari
jalur independen yang berpasangan dengan Biem Benjamin, saya mendapat
kesempatan istimewa untuk setiap saat bersamanya. Di team kampanye, saya
di tugasi dibidang konten dan media yang bertanggung jawab menuliskan
gagasan-gagasan kandidat. Secara pribadi, memang dia pernah mengajak
saya untuk mendampingi dalam aktivitas kampanyenya. Menurut sejumlah
teman di team, sebut saja Mas Fachry(Fotografer) dan Mas Ririn, saya
diajak karena bisa nyambung ketika diskusi. Dugaan saya, kenyambungan
diskusi itu dikarenakan saya selalu mengikuti tulisan-tulisannya maupun
komentar-komentarnya di media televisi maupun media massa, sejak delapan
tahun silam.

Awal-awal mengikutinya, saya seperti
orang mimpi karena mengikuti sosok yang selama ini saya kagumi. Ketika
jadwal kampanye belum begitu padat, setiap pagi saya datang dirumahnya.
Keheran-heranan saya makin bertambah, sebab, kadang ia menyeduhkan kopi
untuk saya. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh seorang tokoh. Kesempatan
mengikuti setiap waktu, tentu saja, menjadi kesempatan emas untuk
menimba ilmu dan pengalaman. Jika ada waktu longgar, hampir pasti saya
mencuri waktu untuk mengajak diskusi. Setiap ada kesempatan, saya hampir
pasti melempar pertanyaan sebagai bahan diskusi. Kendati secara
intelektual, saya bukan levelnya tidak pernah muncul arogansi
intelektual, sebab ia selalu menghargai pendapat saya. Meminjam
bahasanya Mas Fahry, saya asyik jika berdiskusi sehingga ada semacam
kenikmatan intelektual.
Topik diskusinya pun beragam, bukan hanya
soal ekonomi dan politik, namun aneka persoalan kehidupan dalam beragam
perspektif atau sudut pandang. Salah satu kelebihannya, antara lain,
kecermatan dalam menganalisis sebuah permasalahan dengan menggunakan
beragam perspektif. Secara intelektual, itulah salah satu ilmu yang saya
dapatkan. Jika memperkenalkan team pada pihak lain, ia tak pernah
mengatakan ini anak buah saya. Yang sering ia katakan ini teman saya,
ini adik-adik saya. Tidak bergaya ngeboss. Ia juga sangat jarang sekali
memerintah, selagi bisa mengerjakan sendiri. Setahun saya mengikuti,
hampir tak pernah memerintah. Jika pernah, tidak lebih dari hitungan
jari sebelah. Jika terpaksa harus memerintah, pasti diawali dengan minta
tolong.
Tentu ia bukanlah manusia sempurna, namun
sepengetahuan saya mendekati sempurna. Namun penilaian saya itu makin
yakin mendekati kebenarannya, sebab koleganya yang juga seorang tokoh
antikorupsi Teten Masduki, pernah menyebut bahwa Faisal Basri adalah
manusia yang seperti malaikat.”Bang Faisal adalah orang terbersih dari
kalangan kami(antikorupsi)” kata Teten Masduki di suatu kesempatan.
Meski dalam Pilgub DKI Jakarta tidak lolos pada putaran kedua, Faisal
Basri telah memberikan kontribusi positif bagi keberlanjutan proses
demokratisasi di Tanah Air. Ia beserta teamnya telah mampu
memperkenalkan politik yang bermartabat, murah dan menempatkan warga
sebagai subjek politik.
0 komentar:
Post a Comment