Wednesday, October 25, 2017

Buku: Pergerakan Indonesia Menggugat


KATA PENGANTAR
Proses politik yang mengitari rotasi kekuasaan melalui Pemilu, cenderung ditandai oleh pertarungan dan manuver politik yang dilakukan para politisi, parpol dan kelompok kepentingan yang makin memanas. Begitu pula Pemilu 2014. Kisah cerita kesemrawutan urusan teknis dan substansi, selalu membayangi berbarengan dengan munculnya kecemasan publik.
Sebutlah babak awal konflik, sekalipun tiap lima tahun terulang, adalah soal daftar pemilih tetap (DPT). Kontroversi DPT berkisar validitas dan akurasinya, yang konon datanya diragukan karena terbukti banyak kesalahan. Kekacauan data base, dimana tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan melahirkan ragam spekulasi. Perselihan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kemendagri, serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) belum menghasilkan konsensus dan keputusan final sampai dengan mendekati Pemilu, kecuali berhenti karena soal keterbatasan waktu. Tetapi tentu tidak memuaskan, dan kemungkinan saling curiga yang melibatkan spirit dugaan konspirasi dan ketidakpercayaan.
Modus ketidakberesan data semacam itu, sebelumnya juga terjadi menyangkut verifikasi Parpol peserta Pemilu dimana banyak ditemukan kasus “data palsu”.
Berdasarkan sejumlah cerita anggota KPU di daerah, ditemukan para pengurus parpol sebagian besar dinilai manipulative, menyangkut keanggotaan dan kepengurusan. Jika di satu sisi DPT yang ditetapkan KPU tidak kredibel dan digugat parpol, sementara Parpol sendiri sebelumnya tidak kredibel saat diverifikasi, itu artinya antara penyelenggara pemilu dan peserta pemilu saling berkontribusi dalam ketidakberesan.
Ini tentu menjadi tantangan serius untuk segera dibenahi, untuk menjamin agar pemilu tidak mengalami masalah berantai termasuk soal legitimasi kekuasaan yang terbentuk.
Pendangkalan Politik
Pemilu tidak sekadar menyangkut keabsahan prosedural. Jauh lebih penting dari itu, apakah prinsip demokrasi tercermin dalam proses pergantingan kekuasaan itu. Misal, persaingan yang sehat, jujur dan adil, bersih dari kecurangan, partisipasi yang tinggi, sebagai ukuran-ukuran dasar substansial berdemokrasi.
Perjalanan Pemilu di Indonesia, mengindikasi pencapaian derajat yang rendah substansi. Hampir menjadi “rahasia umum”, pemilu (termasuk pemilukada) masih ditandai oleh money politics, manipulasi suara, konflik dan beberapa peristiwa kekerasan, serta model-model kontestasi formal dengan mobilisasi pemilih melalui cara-cara yang tidak mendidik.
Ada beberapa kisah positif yang juga diperagakan para politisi. Seperti model kampanye cerdas dan mendidik, pendekatan persuasi serta mencari jalan alternatif yang berorientasi membangun tradisi berdemokrasi dengan mempertimbangkan etika. Tetapi hal semacam itu masih dalam ukuran minimal.
Secara umum corak politik yang mewarnai pemilu, atau mainstream masih berupa perang “emosi, materi, dan manipulasi” yang dihiasi gaya pencitraan yang makin menjadi trend. Pola semacam ini masih diawetkan, belum ada tanda-tanda baru perubahan mendasar. Dalam berbagai diskusi, misalnya; politisi caleg menghadapi dilematik, dan harap-harap cemas. Di satu sisi, tujuan meraih kursi kekuasaan harus berjuang habis-habisan bahkan sampai mengeluarkan uang begitu banyak, merogoh kantong dan menguras tabungannya, untuk “obral, royal” yang begitu banal (dangkal).
Sementara di sisi lain, apa yang dilakukan itu jelas memanipulasi landasan normatif (peraturan), menciderai demokrasi yang fair. Tetapi apa mau dikata, antara hasrat meraih posisi atau audisi status politik, bertarik tegang dengan urusan nilai dan etika.
Di seberang lain, rakyat juga sudah telanjur disergap dalam situasi yang pragmatis. Karena Pemilu cenderung dikonstruksi sebagai bentuk “transaksi meraih kuasa”, maka ada kecenderungan di masyarakat yang justru memanfaatkan pemilu untuk menghasilkan keuntungan instan. “Wani piro, oleh opo, ono rego ono suoro”, adalah kata-kata yang makin menjadi perbincangan umum. Situasi semacam ini, bagi masyarakat juga merupakan bentuk reaksi ketiadaan harapan perubahan, karena sikap pragmatis itu merupakan cara mensiasati keadaan politik pemilu yang makin jauh dari cita-cita mulia berdemokrasi.
Jika proses pembentukan kekuasaan problematik, maka kekuasaan yang dihasilkan tidak akan memiliki legitimasi memadai dalam menjalankan mandat konstitusi. Tidak heran jika produk kebijakan dari kekuasaan akan mengandung masalah pula. Itu problem berantai pendangkalan politik. Hal semacam ini akan terus berulang jika tidak segera ada pembenahan mendasar, lompatan besar “revolusi politik” pemilu berorientasi persaingan yang legitimet.
Mencari Pemimpin Bangsa
Di situlah titik krusial untuk membicarakan soal kepemimpinan nasional. Jika pemimpin dimaksud adalah kekuasaan formal seperti di DPR dan Presiden, maka kita perlu memastikan agar pemilu juga harus dijalankan dengan benar sesuai prinsip demokrasi, sehingga mampu memilih wakil rakyat yang kredibel dan Presiden sebagai pemimpin atau nakhkoda perubahan, mampu memperbaiki bangsa.
Tidak dipungkiri, dalam model demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, kurang memberikan kesempatan atau tidak tersedia ruang proses seleksi yang cukup memadai. Pembicaraan karakter pemimpin bangsa yang berproses melalui debat ideologi, sebagaimana dieksperimentasikan dalam sejarah awal republik Indonesia berdiri, kini tidak ditemukan lagi.
Proses penyusutan diskursus ideologi terus berlangsung. Debat dan diskursus ideologi yang bermula melibatkan publik, kemudian tersederhanakan ke dalam persaingan antar partai, dan kemudian justru kini hanya persaingan antar figur.
Membicarakan pemilu Presiden misalnya sebagai proses seleksi calon pemimpin nasional, cenderung disimplikasi sebagai representasi manuver antar figur. Hal semacam ini membuat politik seleksi pemimpin tidak diwarnai debat publik yang meluas dan menyedot energi berbagai komponen. Paling-paling hanya antar parpol dan tim sukses, langkah-langkah akrobatik menguasai dan memanfaatkan instrumen berkampanye dalam membangun image di publik.
“Politik figur” tidak sepenuhnya salah, tetapi penyederhanaan politik kepemimpinan nasional hanya sekadar “tarung antar figur” dengan dalil dan polesan pencitraan, tentu menyesatkan. Dengan sekadar mempopulerkan orang tanpa mendalami gagasan, ideologi, rekam-jejak, serta tidak melibatkan debat publik berkenaan dengan substansi, maka kita belum tentu berhasil memilih pemimpin. Tetapi hanya memilih pengurus kekuasaan negara semata.
Kita tentu mempertanyakan, bagaimana persoalan sistemik yang menimpa negeri ini diselesaikan melalui pintu kepemimpinan nasional. Kuncinya, kita krisis pemimpin yang mampu menjadi teladan, pemandu arah dan rujukan, serta pelindung, bahkan yang berani mengambil risiko dalam tujuan perbaikan bangsa.
Transformasi Demokrasi
Problem, tantangan, dan cita-cita pembaruan Indonesia itu adalah agenda besar yang harus diwujudkan dengan mensyaratkan panggilan berbagai komponen bangsa untuk terlibat menjadi bagian gerbong “menjawab kebutuhan bangsa”. Demokrasi sebagai fakta sejarah politik Indonesia, harus dimanfaatkan sebagai kesempatan pembaruan dan perbaikan.
Jika demokratisasi yang selama ini dihambat oleh politik oligarkhi, feodalisme, korupsi, dimana prosesnya dikuasi elit-elit politik dan kelompok parpol yang belum berhasil memperbaiki diri, maka orientasi dan paradigma berdemokrasi harus diubah.

Demokrasi harus bisa dinikmati rakyat yang mampu meyakinkan mengubah kehidupannya.
Dalam rangka menuju transformasi demokrasi tersebut, syarat paling penting adalah rakyat harus menjadi subjek dalam politik, termasuk dalam menentukan kepemimpinan nasional. Kini bukan saatnya politik dimonopoli kelompok elit parpol; tetapi harus diubah dimana rakyat, konstituen, dan pemilih sebagai pemegang kendali, penentu perubahan dan orientasi. Jika rakyat pemegang kendali, itu berarti menjadi basis terwujudnya kedaulatan.
Saya mengapresi gagasan para aktivis Pergerakan Indonesia (PI) untuk menerbitkan buku yang sekarang ditangan sidang pembaca. Buku ini merupakan bagian dari kepedulian para aktivis PI atas situasi dinamika dan perubahan Indonesia. Dengan pemikiran reflektif dan kritis, tulisan yang tertuang dalam buku ini memiliki pesan penting dengan daya jangkau yang visioner. Sumbangan berharga yang diberikan mereka dalam karya ini semoga menjadi bagian dari kontribusi untuk meningkatkan kualitas perubahan yang berlangsung sejauh ini, paling tidak agar harapan baru terus tumbuh untuk Indonesia ke arah yang lebih baik. 


Arie Sujito
Ketua Umum Pergerakan Indonesia

Untuk mendapatkan bukunya, silahkan buka link berikut
https://www.academia.edu/34958201/Kumpulan_Catatan_Untuk_Negeri_-PERGERAKAN_INDONESIA_MENGGUGAT

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment