KATA PENGANTAR
Proses politik yang mengitari rotasi
kekuasaan melalui Pemilu, cenderung ditandai oleh pertarungan dan manuver
politik yang dilakukan para politisi, parpol dan kelompok kepentingan yang
makin memanas. Begitu pula Pemilu 2014. Kisah cerita kesemrawutan urusan teknis
dan substansi, selalu membayangi berbarengan dengan munculnya kecemasan publik.
Sebutlah babak awal konflik,
sekalipun tiap lima tahun terulang, adalah soal daftar pemilih tetap (DPT).
Kontroversi DPT berkisar validitas dan akurasinya, yang konon datanya diragukan
karena terbukti banyak kesalahan. Kekacauan data base, dimana tidak sesuai
dengan kondisi nyata di lapangan melahirkan ragam spekulasi. Perselihan antara
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kemendagri, serta
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) belum menghasilkan konsensus dan keputusan
final sampai dengan mendekati Pemilu, kecuali berhenti karena soal keterbatasan
waktu. Tetapi tentu tidak memuaskan, dan kemungkinan saling curiga yang
melibatkan spirit dugaan konspirasi dan ketidakpercayaan.
Modus ketidakberesan data semacam
itu, sebelumnya juga terjadi menyangkut verifikasi Parpol peserta Pemilu dimana
banyak ditemukan kasus “data palsu”.
Berdasarkan sejumlah cerita anggota
KPU di daerah, ditemukan para pengurus parpol sebagian besar dinilai
manipulative, menyangkut keanggotaan dan kepengurusan. Jika di satu sisi DPT
yang ditetapkan KPU tidak kredibel dan digugat parpol, sementara Parpol sendiri
sebelumnya tidak kredibel saat diverifikasi, itu artinya antara penyelenggara
pemilu dan peserta pemilu saling berkontribusi dalam ketidakberesan.
Ini tentu menjadi tantangan serius
untuk segera dibenahi, untuk menjamin agar pemilu tidak mengalami masalah
berantai termasuk soal legitimasi kekuasaan yang terbentuk.
Pendangkalan Politik
Pemilu tidak sekadar menyangkut
keabsahan prosedural. Jauh lebih penting dari itu, apakah prinsip demokrasi
tercermin dalam proses pergantingan kekuasaan itu. Misal, persaingan yang
sehat, jujur dan adil, bersih dari kecurangan, partisipasi yang tinggi, sebagai
ukuran-ukuran dasar substansial berdemokrasi.
Perjalanan Pemilu di Indonesia,
mengindikasi pencapaian derajat yang rendah substansi. Hampir menjadi “rahasia
umum”, pemilu (termasuk pemilukada) masih ditandai oleh money politics,
manipulasi suara, konflik dan beberapa peristiwa kekerasan, serta model-model
kontestasi formal dengan mobilisasi pemilih melalui cara-cara yang tidak
mendidik.
Ada beberapa kisah positif yang juga
diperagakan para politisi. Seperti model kampanye cerdas dan mendidik,
pendekatan persuasi serta mencari jalan alternatif yang berorientasi membangun
tradisi berdemokrasi dengan mempertimbangkan etika. Tetapi hal semacam itu
masih dalam ukuran minimal.
Secara umum corak politik yang
mewarnai pemilu, atau mainstream masih berupa perang “emosi, materi, dan
manipulasi” yang dihiasi gaya pencitraan yang makin menjadi trend. Pola semacam
ini masih diawetkan, belum ada tanda-tanda baru perubahan mendasar. Dalam
berbagai diskusi, misalnya; politisi caleg menghadapi dilematik, dan
harap-harap cemas. Di satu sisi, tujuan meraih kursi kekuasaan harus berjuang
habis-habisan bahkan sampai mengeluarkan uang begitu banyak, merogoh kantong
dan menguras tabungannya, untuk “obral, royal” yang begitu banal (dangkal).
Sementara di sisi lain, apa yang
dilakukan itu jelas memanipulasi landasan normatif (peraturan), menciderai
demokrasi yang fair. Tetapi apa mau dikata, antara hasrat meraih posisi atau
audisi status politik, bertarik tegang dengan urusan nilai dan etika.
Di seberang lain, rakyat juga sudah
telanjur disergap dalam situasi yang pragmatis. Karena Pemilu cenderung
dikonstruksi sebagai bentuk “transaksi meraih kuasa”, maka ada kecenderungan di
masyarakat yang justru memanfaatkan pemilu untuk menghasilkan keuntungan
instan. “Wani piro, oleh opo, ono rego ono suoro”, adalah kata-kata yang makin
menjadi perbincangan umum. Situasi semacam ini, bagi masyarakat juga merupakan
bentuk reaksi ketiadaan harapan perubahan, karena sikap pragmatis itu merupakan
cara mensiasati keadaan politik pemilu yang makin jauh dari cita-cita mulia
berdemokrasi.
Jika proses pembentukan kekuasaan
problematik, maka kekuasaan yang dihasilkan tidak akan memiliki legitimasi
memadai dalam menjalankan mandat konstitusi. Tidak heran jika produk kebijakan
dari kekuasaan akan mengandung masalah pula. Itu problem berantai pendangkalan
politik. Hal semacam ini akan terus berulang jika tidak segera ada pembenahan
mendasar, lompatan besar “revolusi politik” pemilu berorientasi persaingan yang
legitimet.
Mencari Pemimpin
Bangsa
Di situlah titik krusial untuk
membicarakan soal kepemimpinan nasional. Jika pemimpin dimaksud adalah kekuasaan
formal seperti di DPR dan Presiden, maka kita perlu memastikan agar pemilu juga
harus dijalankan dengan benar sesuai prinsip demokrasi, sehingga mampu memilih
wakil rakyat yang kredibel dan Presiden sebagai pemimpin atau nakhkoda
perubahan, mampu memperbaiki bangsa.
Tidak dipungkiri, dalam model
demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, kurang memberikan kesempatan
atau tidak tersedia ruang proses seleksi yang cukup memadai. Pembicaraan
karakter pemimpin bangsa yang berproses melalui debat ideologi, sebagaimana
dieksperimentasikan dalam sejarah awal republik Indonesia berdiri, kini tidak
ditemukan lagi.
Proses penyusutan diskursus ideologi
terus berlangsung. Debat dan diskursus ideologi yang bermula melibatkan publik,
kemudian tersederhanakan ke dalam persaingan antar partai, dan kemudian justru
kini hanya persaingan antar figur.
Membicarakan pemilu Presiden misalnya
sebagai proses seleksi calon pemimpin nasional, cenderung disimplikasi sebagai
representasi manuver antar figur. Hal semacam ini membuat politik seleksi
pemimpin tidak diwarnai debat publik yang meluas dan menyedot energi berbagai
komponen. Paling-paling hanya antar parpol dan tim sukses, langkah-langkah
akrobatik menguasai dan memanfaatkan instrumen berkampanye dalam membangun
image di publik.
“Politik figur” tidak sepenuhnya
salah, tetapi penyederhanaan politik kepemimpinan nasional hanya sekadar
“tarung antar figur” dengan dalil dan polesan pencitraan, tentu menyesatkan.
Dengan sekadar mempopulerkan orang tanpa mendalami gagasan, ideologi,
rekam-jejak, serta tidak melibatkan debat publik berkenaan dengan substansi,
maka kita belum tentu berhasil memilih pemimpin. Tetapi hanya memilih pengurus
kekuasaan negara semata.
Kita tentu mempertanyakan, bagaimana
persoalan sistemik yang menimpa negeri ini diselesaikan melalui pintu
kepemimpinan nasional. Kuncinya, kita krisis pemimpin yang mampu menjadi
teladan, pemandu arah dan rujukan, serta pelindung, bahkan yang berani
mengambil risiko dalam tujuan perbaikan bangsa.
Transformasi
Demokrasi
Problem, tantangan, dan cita-cita
pembaruan Indonesia itu adalah agenda besar yang harus diwujudkan dengan
mensyaratkan panggilan berbagai komponen bangsa untuk terlibat menjadi bagian
gerbong “menjawab kebutuhan bangsa”. Demokrasi sebagai fakta sejarah politik
Indonesia, harus dimanfaatkan sebagai kesempatan pembaruan dan perbaikan.
Jika demokratisasi yang selama ini
dihambat oleh politik oligarkhi, feodalisme, korupsi, dimana prosesnya dikuasi
elit-elit politik dan kelompok parpol yang belum berhasil memperbaiki diri,
maka orientasi dan paradigma berdemokrasi harus diubah.
Demokrasi harus bisa dinikmati rakyat
yang mampu meyakinkan mengubah kehidupannya.
Dalam rangka menuju transformasi
demokrasi tersebut, syarat paling penting adalah rakyat harus menjadi subjek
dalam politik, termasuk dalam menentukan kepemimpinan nasional. Kini bukan
saatnya politik dimonopoli kelompok elit parpol; tetapi harus diubah dimana
rakyat, konstituen, dan pemilih sebagai pemegang kendali, penentu perubahan dan
orientasi. Jika rakyat pemegang kendali, itu berarti menjadi basis terwujudnya
kedaulatan.
Saya mengapresi gagasan para aktivis
Pergerakan Indonesia (PI) untuk menerbitkan buku yang sekarang ditangan sidang
pembaca. Buku ini merupakan bagian dari kepedulian para aktivis PI atas situasi
dinamika dan perubahan Indonesia. Dengan pemikiran reflektif dan kritis,
tulisan yang tertuang dalam buku ini memiliki pesan penting dengan daya jangkau
yang visioner. Sumbangan berharga yang diberikan mereka dalam karya ini semoga
menjadi bagian dari kontribusi untuk meningkatkan kualitas perubahan yang
berlangsung sejauh ini, paling tidak agar harapan baru terus tumbuh untuk
Indonesia ke arah yang lebih baik.
Ketua Umum Pergerakan
Indonesia
Untuk mendapatkan bukunya, silahkan buka link berikut
https://www.academia.edu/34958201/Kumpulan_Catatan_Untuk_Negeri_-PERGERAKAN_INDONESIA_MENGGUGAT
0 komentar:
Post a Comment