Tanggapan Ketua DPP PDIP
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Orang Boleh Pandai Setinggi Langit Tapi Selama ia Tidak Menulis Ia akan hilang didalam Masyarakat dan Sejarah. Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Monday, December 26, 2016
Tanggapan Ketua DPP PDIP Terkait Komentar saya tentang Penambahan Kursi Pimpinan DPR/MPR
DPR Akan Tetap Stagnan, Revisi UU MD3 Hanya
Bagi-Bagi Kekuasaan
Minggu, 25 Desember 2016 | 20:03
INDOPOS.CO.ID - Relevansi
dalam meningkatkan fungsi dan kinerja parlemen tidak memiliki pengaruh
apapun yang signifikan. Merevisi UU 17/2014 atau UU MD3 pun, apalagi hanya
menambah wakil ketua DPR untuk PDIP, tidak akan berpangaruh apa-apa tehadap
kinerja parlemen.
Analis Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Imam menilai,
langkah revisi UU MD3 ini sekadar bagi-bagi kekuasaan, menjalankan politik
akomodasi untuk memberi jatah kursi PDIP.
"Di tengah buruknya citra parlemen dan kinerja yang tak
maksimal, tentu penambahan kursi pimpinan DPR/MPR ini layak dipertanyakan.
Karena, penambahan kursi ini bukan berdasar kebutuhan untuk meningkatkan
kapasitas kinerja yang hanya akan menambah beban negara, tapi tak bakal
menaikkan kinerjanya.
Sebagai contoh pada tahun 2016, lanjutnya, dari 50 RUU yang
ditargetkan, hanya 16 yang tercapai. Bahkan, hanya empat RUU yang murni produk
DPR,” paparnya, Minggu (25/12/2016).
PDIP sebagai pemenang Pemilu 2014 lalu, kata Arief, merasa
berhak atas jatah kursi pimpinan DPR dan MPR. Tetapi akibat terjadi perubahan
UU MD3 yang mengubah metode pemilihan pimpinan menjadi sistem paket sehingga
PDIP sebagai partai pemenang pemilu tidak otomatis mendapat posisi Ketua DPR.
"Tantangan DPR saat ini adalah bagaimana meningkatkan
kepercayaan publik dengan menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal,
bukan justru sekadar bagi-bagi kekuasaan. DPR mesti menerapkan politik kinerja,
bukan politik akomodasi," ujarnya.
Tanggapan Ketua DPP PDIP
Tanggapan Ketua DPP PDIP
Terpisah, Ketua DPP PDIP, Andreas Hugo Pareira mengatakan,
partainya membantah mengejar kursi pimpinan DPR/MPR terkait Revisi UU MD3.
Justru, revisi itu untuk mengembalikan jatah yang seharusnya dimiliki
PDIP.
"Untuk menciptakan keseimbangan representasi proporsional.
Karena PDIP kan partai pemenang pileg 2014 dan teman-teman fraksi lain pun bisa
memahami," kata Andreas ketika dikonfirmasi, Minggu (25/12).
Andreas menuturkan, perubahan konstelasi komposisi politik
terjadi di DPR serta berakhirnya KIH dan KMP sehingga UU MD3 direvisi. Revisi
tersebut untuk menciptakan keseimbangan representasi proporsional di pimpinan
MPR/DPR dan alat kelengkapan dewan.
"Sehingga ini akan memperlancar proses pengambilan
keputusan di MPR/DPR dan alat kelengkapan dewan serta memciptakan hubungan yang
lebih sinergis dengan pemerintah dalam mekanisme pengawasan dan pengambilan
keputusan," imbuhnya.
Sebelumnya, DPD RI kian gencar melakukan manuver menjegal niatan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meraih kursi pimpinan DPR/MPR RI.
Lembaga senator itu menyebut Revisi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) sekedar bagi-bagi kekuasaan partai politik tertentu.
Namun, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tak pedulikan hal tersebut.
Sekretaris Kelompok DPD di MPR RI, Muh Asri Anas mengatakan,
jika pemerintah mendukung Revisi UU MD3 berarti tidak ada bedanya dengan DPR
yang kerap hanya berpikir UU bisa diubah untuk 'syahwat' kekuasaan.
"Sekali lagi ditegaskan DPD RI menolak jika Revisi UU MD3
hanya untuk bagi-bagi kekuasaan, untuk kepentingan elite politik atau pihak
tertentu," ungkapnya kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Rabu
(21/12). (aen)
Sumber Indopos http://politik.indopos.co.id/read/2016/12/25/80178/DPR-Akan-Tetap-Stagnan-Revisi-UU-MD3-Hanya-Bagi-Bagi-Kekuasaan
Analis: Penambahan Kursi Pimpinan DPR/MPR Cuma Politik Akomodasi
Sunday, 25 December 2016, 19:58 WIB
Red: Heri Ruslan
dok pri

Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah DPR merevisi Undang-Undang Nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dengan agenda penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR menuai kritik.
Analis Politik POINT Indonesia Arif Nurul Imam menilai, langkah DPR merevisi UU MD3 tak memiliki relevansi dalam meningkatkan fungsi dan kinerja parlemen. Menurut dia, upaya revisi UU MD3 ini sekadar bagi-bagi kekuasaan dan menjalankan politik akomodasi untuk memberi jatah kursi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"“Di tengah buruknya citra parlemen dan kinerja yang tak maksimal, tentu penambahan kursi pimpinan DPR/MPR ini layak dipertanyakan," ujar Arif kepada Republika.co.id, Ahad (25/12).
Arif menegaskan, penambahan kursi pimpinan DPR tak berdasar kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas kinerja. Yang ada, kata dia, justru akan menambah beban negara. "Sebagai contoh pada tahun 2016, dari 50 RUU yang ditargetkan, hanya 16 yang tercapai. Bahkan, hanya empat RUU yang murni produk DPR,” cetus Arif.
Penambahan Kursi Pimpinan DPR/MPR Hanya Jadi Beban Negara
Ilustrasi/Net
RMOL. Langkah DPR merevisi UU 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dengan agenda penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR sesungguhnya tak memiliki relevansi dalam meningkatkan fungsi dan kinerja parlemen.
Meski demikian, revisi terbatas UU MD3 itu telah disepakati Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.Analis Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Imam menilai, langkah revisi UU MD3 ini sekadar bagi-bagi kekuasaan, menjalankan politik akomodasi untuk memberi jatah kursi PDI Perjuangan.
"Di tengah buruknya citra parlemen dan kinerja yang tak maksimal, tentu penambahan kursi pimpinan DPR/MPR ini layak dipertanyakan. Karena, penambahan kursi ini bukan berdasar kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas kinerja yang hanya akan menambah beban negara, tapi tak bakal menaikkan kinerjanya. Sebagai contoh pada tahun 2016, lanjutnya, dari 50 RUU yang ditargetkan, hanya 16 yang tercapai. Bahkan, hanya empat RUU yang murni produk DPR,” ujar Arif.
Friday, December 9, 2016
Analis: Pemilih Tradisional Berpotensi Jadi Bandul Kemenangan di Pilkada DKI
Jumat, 09 Desember 2016, 17:33 WIB
Red: Heri Ruslan
dok pri

Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT
Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI
Jakarta tak ubahnya magnet yang menarik perhatian publik secara luas. Analis
Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Iman menilai, pesta demokrasi di Ibu Kota
seperti “Pilpres mini” karena menyita perhatian publik, bukan hanya warga
Jakarta yang memiliki hak pilih, melainkan pula warga di berbagai daerah di
Tanah Air.
"Meskipun otonomi daerah telah diterapkan lebih dari satu dasawarsa,
fenomena tersebut sesungguhnya dapat dipahami; lantaran Jakarta adalah Ibu kota
Negara yang pada akhirnya menjadi gambaran wajah Indonesia," ujar Arif
kepada Republika.co.id, Jumat (9/12).
Meski begitu, kata Arif, pada akhirnya yang menentukan siapa yang bakal menjadi
kepala daerah adalah pemilih Jakarta. Itulah sebabnya, papar Arif, melihat peta
pemilih Jakarta merupakan cara efektif untuk melihat sejauhmana peluang
masing-masing pasangan calon yang maju dalam bursa Pilkada DKI.
"Sebagai kota metropolitan, Jakarta tentu memiliki karakteristik pemilih
yang berbeda dengan daerah lain. Di lihat dari segi pendidikan, tingkat
pendapatan, ataupun komsumsi informasi, warga Ibukota bisa dipastikan lebih
unggul. Derajat komsumsi informasi yang tinggi, misalnya menjadikan Pilkada
paling “berisik” di republik ini," ungkap Arif.
Friday, November 25, 2016
Tensi Politik Pasca Ahok Tersangka
dok pri

Wednesday, 16 November 2016, 19:55 WIB
Red: Heri Ruslan
Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Nurul Imam*
Calon gubernur pejawat Basuki Tjahaja Purnama atau akrap disapa Ahok akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Cagub DKI Jakarta nomor urut dua ini, selain ditetapkan sebagai tersangka juga dicegah bepergian ke luar negeri lantaran kasus dugaan penistaan agama terkait surah al-Maidah ayat 51.
Pernyataan Ahok yang dilakukan pada 27 September 2016 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu tersebut, dinilai melanggar Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 Ayat (1) UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meski demikian, Ahok tidak serta merta digugurkan sebagai kontestan dalam Pilkada sebagaimana aturan yang berlaku.
Sosok kontroversial Ahok menjadi sorotan publik bukan hanya karena tutur katanya yang kerap kasar dan arogan, melainkan juga lantaran kebijakannya seringkali bertentangan dengan aspirasi publik, seperti kebijakan proyek reklamasi dan penggusuran perkampungan warga. Apalagi pasca-pernyataannya di Kepulauan Seribu yang menyinggung sebagian besar umat Islam.
Aksi unjuk rasa 4 November lalu yang diikuti ratusan ribu peserta dari berbagai daerah di Indonesia, secara terang menuntut Ahok untuk segera diproses di meja hijau. Aksi unjuk rasa terbesar sejak Orde Baru tumbang ini didasari oleh dugaan bahwa Ahok dilindungi oleh Presiden Joko Widodo sehingga proses hukum dianggap berjalan lamban.
Dugaan tersebut muncul lantaran Ahok dipandang memiliki “kedekatan khusus” dengan mantan Walikota Solo tersebut, bahkan ada pihak yang menduga Presiden tersandera oleh Ahok sehingga harus melindungi kasus tersebut.
Monday, November 7, 2016
Tiga Simpul Massa Aksi 411
By arif nurul imam 8:13 PM
Catatan Politik, Catatan Pribadi, Gagasan Pembangunan, Kisah berdemokrasi No comments
Ada sejumlah dugaan mengapa aksi demontrasi 4 November 2016
kemarin mampu menggerakkan massa yang cukup besar. Kita paham memobilisasi
massa, apalagi di Jakarta bukan perkara mudah. Dari pengamatan dan hasil
wawancara saya setidaknya terdapat tiga motif mengapa mereka bergerak.
Saturday, November 5, 2016
Kesaksian Chusnul Mar’iyah Mengenai Aksi 411
Kesaksian Chusnul Mar’iyah
terkait Aksi 411
Di tengah berbagai informasi yang simpang-siur dan pemlintiran
terkait demo 4 November kemarin, saya ketika membuka facebook membaca postingan
Ibu Chusnul Mar’iyah melaporkan pandangan mata dari lapangan. Seorang ilmuwan politik Universitas Indonesia
yang sepanjang saya tahu masih memegang objektivitas dan independensinya, sehingga
catatan beliau tidak mengandung unsur kepentingan politik, misalnya untuk
mendiskrediktan aksi tersebut. Karena menarik, kemudian saya inbox beliau untuk
meminta ijin menerbitkan dalam blog pribadi saya. Aksi terbesar sejak Orde Baru tumbang.
Catatan yang tercecer
persiapan Demo 411 (1)
Beberapa minggu
terakhir ini saya disibukkan membantu mempersiapkan World Peace Forum yang ke
6, Forum yang digagas oleh Muhammadiyah, Cheng Ho Educational Trust dan CDCC.
180 an delegasi dari 43 negara hadir di acara itu 1-4 November. Alhasil saya
tidak dapat secara aktif terlibat dalam mempersiapkan aksi secara penuh,
seperti biasanya kalau kita mempersiapkan turun ke jalan.
Aktivis Iluni UI dengan
SK Kemenkumham tanggal 21 Juli 2016, mempersiapkan diri ikut berpartisipasi dalam aksi
membela kebenaran Al Qur'an. Mempersiapkan peserta, logistik, ambulance dan
berbagai kemungkinan berada di lautan manusia. Luar biasa dalam waktu yang
sangat singkat mereka dapat mempersiapkan diri.
Alhamdulillah kami bisa ikut berpartisipasi dalam gerakan 411
tersebut. Dengan Bismillah Semoga Allah memberi RidloNya.
Catatan (2)
Tiga perempuan Iluni UI yang telat berangkat
Tiga perempuan Iluni UI yang telat berangkat
Saya memutuskan balik
pulang tanggal 3 November dari acara WPF ke 6. Sebab tanggal 4 mau ikut
demonstrasi tapi tidak sempat membawa perlengkapan demonstrasi untuk jaga-jaga.
Selain dalam WAG keluarga besar saya mengatakan bahwa Ibu Saya bilang apakah
tidak lebih baik berdo'a dari rumah dan ikut partisipasi dana untuk kegiatan 4
November itu? saya baru merasa sudah beberapa hari ini tidak sempat menelpon
ibu saya untuk memberikan info seputar gerakan 411
tersebut. Saya menyempatkan menelpon Ibu saya yang di kampung, menjelaskan
pentingnya berangkat ke depan istana, dan mohon do'a restu. Ternyata Ibu saya
sangtat gembira saya bisa ikut gerakan 411 tersebut. Alhamdulilah.
Di pagi hari setelah berkoordinasi dengan teman-teman dari
berbagai elemen yang ingin berpartisipasi hadir di sekitar depan istana, saya
baru menyadari waktu sudah menunjukkan pukul 9. Saat para aktivis Iluni UI
mengirimkan gambarnya sudah siap di depan MK di medan merdeka Barat.
Mempersiapkan Backpack dengan makanan kurma, karena hari kemaren itu jadwal
puasa saya, sebotol kecil air zam-zam, dan berbagai kebutuhan untuk turun ke
jalan berdemonstrasi.
Setelah urusan domestik selesai dan berjanji dengan beberapa
teman, hanya tiga ibu-ibu yang belum berangkat Dhanie, Dhana dan saya. Kita
janjian. atas kebaikan Dhanie, dia menjemput saya dan Dhana di rumah. Kami baru
berangkat dari rumah setelah sholat dhuhur terlebih dahulu.
Ternyata jalanan kosong dari Depok ke daerah menteng hanya
sekitar 30 menit, melewati lenteng Agung, Pasar Minggu, Saharjo dan berhenti di
Hotel Mercure, Sabang. tempat yang paling dekat dengan posisi Medan Merdeka.
Saturday, October 15, 2016
Senjakala Ahok?
Koran Harian Terbit, 14 Oktober 2016
Oleh:
Arif Nurul ImamAnalis
Politik POINT Indonesia
Sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga
survey, elektabilitas Basuki Tjahya Purnama atau akrap disapa Ahok terus
merosot. Padahal, rentang waktu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada)
masih sekitar empat bulan lagi. Ibarat perjalanan, masih harus menempuh jalan
panjang dan tidak menutup kemungkinan banyak lubang jarum yang bisa membuat
jatuh terperosok. Pertanyaannya, apakah Pilkada kali ini bakal menjadi senjakala Ahok?
Sebagai petahana, sesungguhnya memiliki ruang
lebar untuk melakukan aksi nyata melalui kebijakan dan program yang bukan saja
memberi faedah bagi masyarakat Jakarta, tapi juga akan memberi sentimen positif
yang bakal menambah kepercayaan publik sekaligus mendongkrak elektabilitas.
Namun kenyataannya, Ahok justru melakukan tindakan yang acap kali melawan arus
publik sebagaimana kita saksikan.
Saturday, September 3, 2016
Destinasi “Ngehits” Wisata Selfie Kalibiru Kulonprogo
Salah
satu destinasi wisata alam di Yogyakarta yang sekarang lagi ngehits adalah
Kalibiru. Tempat wisata ini terletak di Jogja Barat, tepatnya di Kecamatan
Kokap, Kabupaten Kulonprogo. Menyuguhkan panorama alam yang natural, sekaligus
menyediakan tempat selfie yang banyak diburu wisatawan untuk “narsis”.
Meski
sudah tenar belakangan, namun saya baru bisa menyempatkan berkunjung lagi, pada
bulan puasa kemarin untuk mengantarkan teman dari Jakarta. Sebelumnya saya
pernah datang ketempat ini secara intensif, sekitar tahun 2006 sekitar satu bulan
untuk melakukan observasi.
Saat
itu, membantu teman Panggih Widodo yang sekarang menjadi komisioner KPUD
Kulonprogo, menjadi konsultan sosial ekonomi Waduk Sermo yang dibiayai oleh salah
satu Kementerian. Tugasnya melakukan observasi kemudian menyusun rekomendasi terkait
pengembangan waduk sermo, terutama dari segi sosial masyarakat agar dapat
mencegah laju sedimentasi. Dalam observasi itu, Kalibiru memang telah dilihat
sebagai potensi wisata yang bisa dikembangkan berbasis kemasyarakatan.
Thursday, September 1, 2016
Mengapa PDIP Jakarta Bergejolak?
TSKita
Selasa, 30 Agu 2016 - 16:26:23 WIB
Arif Nurul Imam (Peneliti Politik POINT Indonesia dan aktif dalam gerakan pro-demokrasi), TEROPONGSENAYAN
Sumber foto : Istimewa

Arif Nurul Imam
Suhu politik jelang Pilkada DKI Jakarta kian panas. Hal ini setidaknya dapat kita lihat, kemarin, 29 Agustus, sebagaimana diwartakan oleh media terjadi peristiwa gejolak politik menarik di tubuh internal PDIP.
Bambang Dwi Hartono(DH) selaku Plt Ketua DPD PDIP Jakarta mendadak dicopot. Posisi sebagai Plt Ketua DPD PDIP Jakarta diganti oleh Adi Wijaya yang sebelumnya menjabat sebagai bendahara DPD Jakarta.
Tentu pergantian ini tidak bisa dibaca sekadar rotasi alamiah organisasi, melainkan erat kaitannya dengan situasi jelang Pilkada Jakarta yang kian dekat dan makin memanas. Mantan walikota Surabaya tersebut memang selama ini gencar menyatakan secara terbuka menolak pencalonan Bambang T Purnama atau akrab disapa Ahok maju lewat PDIP. Fungsionaris DPP PDIP ini bahkan mendukung kader-kader PDIP ditingkat ranting atau kecamatan untuk secara terang-terangan menolak Ahok.
Wednesday, August 24, 2016
Relevankah Kota Satelit Samigaluh?
Oleh: Arif Nurul Imam
Beberapa
waktu yang lalu, saya sempat ngobrol dengan Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo
yang sekarang telah demisioner dari jabatannya sejak 24 Agustus 2016. Dalam
percakapan tersebut, politisi PDIP yang siap maju lagi dalam Pilkada 2017 ini sempat
melontarkan mengenai gagasan atau proyeksi membangun Kota Satelit Samigaluh.
Namun
karena pertemuan yang relatif singkat sudah tentu tak bisa diskusi panjang dan
mendalam. Dokter spesialis kandungan tersebut kemudian mengajak saya diskusi di
kemudian hari, namun hingga kini belum kesampain. Sebagai warga Samigaluh dan intens terhadap isu-isu kebijakan publik, melewati
tulisan ringkas ini, saya ingin menyampaikan pandangan terkait rencana tersebut.
Tuesday, June 21, 2016
Menakar Peluang Partai Perindo dalam Pemilu 2019
Sejak
reformasi, di setiap jelang Pemilu hampir dipastikan muncul berbagai partai
politik baru yang mengusung kepentingan, platform, serta ideologi yang beragam.
Pada Pemilu pertama pasca Orde Baru; bahkan mencatatkan rekor dengan jumlah peserta
sebanyak 48 partai politik. Meski tidak semua lolos verifikasi serta gagal
mendudukkan kader di kursi legislatif, namun kehadiran partai politik baru bisa dibaca bahwa praktek kehidupan demokrasi
kita tumbuh subur sejalan dengan semangat dan cita-cita dalam membangun
kehidupan demokrasi di Tanah Air.
Meski
rentang pelaksanaan Pemilu masih relatif lama, namun hari ini publik sudah
tidak asing lagi dengan parpol baru; Partai Perindo besutan pengusaha ‘raja
media’ Harry Tanoesodibyo. Dengan segala kekuatan politiknya, sebagai pendatang
baru dalam percaturan politik Indonesia, nampaknya tak bisa dianggap dengan sebelah
mata.
Dengan
topangan media, terutama serangan udara melewati televisi, laju popularitas
partai yang dideklarasikan pada 7 Februari 2015 tesebut terus meroket. Hal ini
tentu menjadi salah satu modal politik
yang akan menjadi jalan mulus untuk lolos verifikasi dan sukses di Pemilu.
Artinya, partai yang mengusung tagline
“Indonesia Sejahtera” ini, mempunyai peluang besar, bukan saja lolos mengikuti
Pemilu, namun juga potensial memperoleh dukungan suara besar.
Catatan Dinamika Politik Jelang Pilkada Kulonprogo
Perhelatan
Pemilihan Kepala Daerah(Pilkada) secara serentak akan kembali lagi digelar pada
tahun 2017. Demikian pula, kabupaten tanah kelahiran saya, kabupaten
Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tak ada perbedaan yang mencolok dengan
dinamika politik di daerah lain. Makin dekat rentang waktu pelaksanaan Pilkada
praktis tensi dan eskalasi politik dipastikan akan meningkat yang akan diwarnai
aneka rupa manuver para elit politik.
Meski
kerap diluar Kulonprogo, namun sebagai orang yang lahir dan besar serta ber-KTP
Kulonprogo, sudah pasti, memiliki perhatian khusus mengenai perkembangan politik
lokal. Apalagi beberapa kawan yang bergiat di politik lokal, kerap mengajak
diskusi melewati sosial media maupun melalui sambungan telepon seluler membicarakan mengenai perkembangan politik kekinian.
Tuesday, May 17, 2016
Menjaga Idealisme, Jangan Pamrih
KERELAWANAN POLITIK
ANTHONY LEE/A PONCO ANGGORO/ANDY RIZA HIDAYAT
Kerelawanan politik dianggap memberi harapan karena seolah mengembalikan demokrasi pada sub- tansinya, yakni pemerintahan "dari, oleh, dan untuk" rakyat. Kerelawanan juga menandakan ada kesadar- an, rasa berdaya, dan ketulusan berbuat sesuatu. Namun, bagaimana jika relawan politik diganjar jabatan seusai menuntaskan tugas kerelawanannya?
Seorang kenalan, warga negara Amerika Serikat yang mengamati fenomena kerelawanan politik di Indonesia, pernah bercerita, di negaranya, menjadi hal wajar jika relawan politik yang berjuang sejak awal diajak bergabung dalam pemerintahan oleh kandidat yang menang. Sebab, selama masa pemilihan, kandidat dan relawan menjadi saling kenal dan terbangun rasa percaya.
Los Angeles Times pada 24 Februari 2013 menurunkan artikel "Changing of the Young Guard at the Obama White House", soal relawan Obama yang memutuskan mundur dari posisinya di Gedung Putih. Hal yang menarik dari artikel itu, sang relawan, Tommy Vietor (35), mengawali kariernya sebagai relawan sejak lulus perguruan tinggi, saat Obama masih mencalonkan diri sebagai senator. Ia sempat menjadi sopir mobil pers tim kampanye Obama, lalu kemudian menduduki posisi sebagai Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih 2011-2013.
Apakah hal itu juga terjadi di Indonesia? Boni Hargens, akademisi yang juga mantan relawan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sempat menerima berbagai kritik di media sosial saat ia ditunjuk sebagai Dewan Pengawas Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara awal tahun 2016. Penunjukan itu, oleh sebagian orang, dianggap sebagai balas jasa atas peran Boni dalam mendukung Jokowi-Kalla pada Pemilihan Presiden 2014.
"Saya kira di media sosial ada (kritik), tetapi tidak banyak karena mereka melihat peran institusi media itu bukan perusa- haan profit. Kalau saya di Pertamina, baru orientasi orang berbeda," kata Boni.
Boni mengaku menerima penunjukan itu karena posisi Antara strategis sebagai wadah komunikasi negara. Menurut dia, tidak ada persoalan jika ada relawan bergabung dalam pemerintahan atau duduk dalam posisi-posisi di perusahaan negara sepanjang tidak didasari ambisi untuk mendapat posisi tertentu.
Arif Nurul Imam, Wakil Sekretaris Jenderal Pergerakan Indonesia yang terlibat sebagai relawan Faisal Basri-Biem Benjamin pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, menuturkan, dalam gerakan kerelawanan selalu bisa ditemui orang-orang yang memang tulus membantu karena punya idealisme, tetapi juga ada yang berharap pamrih.
Dia menilai penempatan relawan-relawan politik dalam sebuah posisi tertentu jika calon yang didorong itu menang harus didasarkan pada kemampuan. "Tidak boleh relawan itu sejak awal punya target ingin jadi ini atau itu," tutur Arif.
Sunday, January 3, 2016
Pilkada Serentak, Peran PR Belum Menyentak
Majalah PR-Indonesia, Edisi 9 2015
Laporan Utama
Laporan Utama
Pilkada Serentak, Peran PR
Belum Menyentak
Meski kue public relations
(PR) yang beredar di ranah Pilkada Serentak cukup menggiurkan, namun belum
banyak pelaku industri PR yang menikmatinya. Mengapa?
Bagi para praktisi public
relations (PR), era Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak awalnya
diproyeksikan bakal membawa berkah melimpah. Jauh sebelum bola Pilkada Serentak
2015 bergulir, banyak tokoh PR yang memroyeksikan besarnya kue PR yang beredar
di perhelatan akbar pertama dalam sejarah Indonesia ini.
Direktur Socio Komunikasi
Djaka Winarso, misalnya, memperkirakan kue yang beredar dalam gelaran Pilkada
Serentak cukup fantastis. Jika diasumsikan masing-masing kandidat menghabiskan
biaya kampanye Rp 20 miliar, maka untuk Pilkada serentak tahun 2015 di 269
daerah yang melibatkan lebih dari 700 pasangan calon akan mencapai Rp 14
triliun. “Jadi memang kuenya besar banget,” simpul Djaka dalam sebuah
perbincangan dengan PR Indonesia, April 2015.