Thursday, September 1, 2016

Mengapa PDIP Jakarta Bergejolak?


TSKita

Selasa, 30 Agu 2016 - 16:26:23 WIB
 Arif Nurul Imam (Peneliti Politik POINT Indonesia dan aktif dalam gerakan pro-demokrasi), TEROPONGSENAYAN
Sumber foto : Istimewa27nurul.jpg
Arif Nurul Imam
Suhu politik jelang Pilkada DKI Jakarta kian panas. Hal ini setidaknya dapat kita lihat, kemarin, 29 Agustus, sebagaimana diwartakan oleh media terjadi peristiwa gejolak politik menarik di tubuh internal PDIP.
Bambang Dwi Hartono(DH) selaku Plt Ketua DPD PDIP Jakarta mendadak dicopot. Posisi sebagai Plt Ketua DPD PDIP Jakarta diganti oleh Adi Wijaya yang sebelumnya menjabat sebagai bendahara DPD Jakarta.
Tentu pergantian ini tidak bisa dibaca sekadar rotasi alamiah organisasi, melainkan erat kaitannya dengan situasi jelang Pilkada Jakarta yang kian dekat dan makin memanas. Mantan walikota Surabaya tersebut memang selama ini gencar menyatakan secara terbuka menolak pencalonan Bambang T Purnama atau akrab disapa Ahok maju lewat PDIP. Fungsionaris DPP PDIP ini bahkan mendukung kader-kader PDIP ditingkat ranting atau kecamatan untuk secara terang-terangan menolak Ahok.

Penolakan Ahok
Terlepas dari faksionalisasi dan rivalitas politik di internal PDIP, penolakan ini sesungguhnya memiliki bobot argumentasi yang kokoh dan ideologis. Paling kurang terdapat tiga alasan mengapa Bambang DH dan kader-kader PDIP yang lain menolak keras Ahok maju lewat partai besutan Megawati Soekarnoputri.
Pertama, sebagaimana diketahui, Ahok sebagai gubernur membuat sejumlah kebijakan kontroversial yang kerapkali bertolak belakang dengan basis atau konstituen PDIP yang mayoritas “wong cilik”. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah fakta seperti penggusuran yang dilakukan dengan cara-cara koersif yang mayoritas wong cilik, selain proyek raksasa reklamasi di teluk Jakarta yang mengorbankan nelayan kecil dan disinyalir kuat merupakan kepentingan pengembang.
Padahal, selama ini PDIP mengklaim sebagai partai pembela wong cilik sebagai basis perjuangan politiknya. Artinya, jika PDIP mengusung Ahok bisa saja publik akan menilai bahwa partai berlambang moncong putih ini tidak memiliki komitmen kuat dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan wong cilik. Jika demikian, lagi-lagi wong cilik sekadar digunakan sebagai alat ‘jualan’ untuk mendulang simpati dan dukungan elektoral.
Kedua, sebagai parpol pemenang yang memiliki 28 kursi di Jakarta, PDIP merupakan bandul politik yang bisa dikatakan menentukan dalam pentas pertarungan elektoral Pilkada 2017. Dengan jumlah kursi sebesar itu, PDIP sesungguhnya bisa mengajukan pasangan secara mandiri untuk mengusung calon kepala daerah dalam perhelatan Pilkada.

Ini artinya, kader PDIP yang potensial dan memiliki rekam jejak berprestasi bisa diusung dalam Pilkada tanpa harus mengambil politisi non-kader yang tak memiliki loyalitas kepada partai. Jika PDIP mengutamakan kaderisasi, idealnya akan mengusung kader PDIP yang layak dan mampu menyelesaikan kompleksitas aneka persoalan Jakarta. Apalagi tidak sedikit kader PDIP memiliki tokoh yang yang memiliki reputasi.
Ketiga, karakter dan personalitas Ahok yang kontroversial dan kutu loncat. Sebagai gubernur, Ahok kerapkali kasar dalam gaya berkomunikasi. Ia tak segan menghardik anak buah atau rakyat kecil dikhalayak umum sehingga menimbulkan kesan arogan. Gaya berkomunikasi semacam ini tentu bukan saja tak elok dilakukan oleh pejabat publik, melainkan juga tak menguntungkan citra parpol pengusung.
Sementara itu, dari sisi rekam jejak berpartai, Ahok merupakan politisi kutu loncat yang cukup canggih dan lihai dalam mencari kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Karakter serta personalitas politisi semacam ini, tentu hanya memandang partai sekadar kendaraan, bukan sebuah institusi yang memiliki sistem, ideologi dan garis perjuangan yang harus dibangun melewati kader-kader yang militan dan ideologis.
Meski demikian, mengapa Bambang DH dicopot sebagai Plt Ketua PDIP Jakarta? Menjawab pertanyaan ini sudah tentu tidak gampang sebab terdapat berbagai faktor yang melatarbelakangi. Kendati ia menepis bahwa pencopotannya karena gencar menolak Ahok namun publik hampir dipastikan tak begitu saja percaya.
Jika melihat perkembangan internal PDIP dan situasi politik eksternal yang berkembang, sekurang-kurangnya pencopotan ini merupakan warning bagi Bambang DH agar tak lagi keras menolak Ahok. Atau, lebih dari itu merupakan sinyal untuk “diam” agar tak membikin situasi kian memanas serta bergejolak. Apalagi, tidak menutup kemungkinan Ahok telah memiliki konsensus politik dengan petinggi PDIP, terutama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Namun demikian, ditengah sistem kepartaian yang sentralistik, seperti diketahui, Ketua Umum PDIP acapkali mengeluarkan mandat untuk mengusung calon pada last minute. Bisa saja, mantan Presiden ini masih terus menimang dan menimbang, siapa sosok yang tepat yang akan diusung PDIP dalam bursa Pilkada Jakarta. Bisa jadi akan mengusung Ahok, namun tidak menutup kemungkinan mengusung calon selain Ahok. Mari kita lihat dan uji dalam prosesnya. 

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment