Sunday, January 3, 2016

Pilkada Serentak, Peran PR Belum Menyentak

Majalah PR-Indonesia, Edisi 9 2015
Laporan Utama
Pilkada Serentak, Peran PR Belum Menyentak


Meski kue public relations (PR) yang beredar di ranah Pilkada Serentak cukup menggiurkan, namun belum banyak pelaku industri PR yang menikmatinya. Mengapa?

Bagi para praktisi public relations (PR), era Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak awalnya diproyeksikan bakal membawa berkah melimpah. Jauh sebelum bola Pilkada Serentak 2015 bergulir, banyak tokoh PR yang memroyeksikan besarnya kue PR yang beredar di perhelatan akbar pertama dalam sejarah Indonesia ini.

Direktur Socio Komunikasi Djaka Winarso, misalnya, memperkirakan kue yang beredar dalam gelaran Pilkada Serentak cukup fantastis. Jika diasumsikan masing-masing kandidat menghabiskan biaya kampanye Rp 20 miliar, maka untuk Pilkada serentak tahun 2015 di 269 daerah yang melibatkan lebih dari 700 pasangan calon akan mencapai Rp 14 triliun. “Jadi memang kuenya besar banget,” simpul Djaka dalam sebuah perbincangan dengan PR Indonesia, April 2015.


Meski realitanya di era Pilkada Serentak 2015 dana kampanye masing-masing kandidat dibatasi oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), sehingga angkanya bisa jadi tidak seperti yang diperkirakan, namun tetap saja jumlahnya masih fantastis bagi para pelaku industri PR.

Tak heran jika Pilkada Serentak dipandang sebagai peluang besar bagi industri PR. Apalagi di era pemilihan umum langsung beberapa tahun terakhir ini, pencitraan sudah menjadi kebutuhan setiap kandidat yang ingin memenangkan kontestasi. Untuk membangun popularitas, likeabilitas, dan elektabilitas, jasa para pakar PR pun amat dibutuhkan para kandidat.

“Mereka jelas membutuhkan konsultan PR sendiri, bagaimana menyampaikan visi misi dan merekrut calon voters untuk memilih dia sebagai kandidat yang baik, itu membutuhkan tangan emas dari konsultan PR,” kata Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) Agung Laksamana, di Bandung, April 2015.

Namun, legitnya kue Pilkada Serentak tahun ini belum banyak dinikmati para pelaku industri PR. Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI), Silih Agung Wasesa, mengungkapkan, di atas kertas Pilkada Serentak memang menawarkan banyak peluang bagi industri PR. Tapi, kenyataanya jauh panggang dari api.

"Hanya sedikit lembaga PR yang dikontak atau dimintai tolong untuk membantu calon kepala daerah,” kata penulis buku Political Branding & Public Relations kepada majalah PR Indonesia melalui sambungan telepon dari Swiss, Senin (19/10/2015).

Kalaupun ada yang terlibat dalam Pilkada Serentak, perannya tak lebih sebagai penghubung dengan media alias menangani publisitas semata. Padahal fungsi PR jelas lebih luas dari sekadar media relations.

Tren Konsultan Politik
Lain PR, lain pula konsultan politik. Di era Pilkada Serentak, peran perusahaan konsultan politik tampak lebih menonjol. Sejak era pemilihan kepala derah langsung dimulai pada 2005, berbagai perusahaan konsultan politik pun bermunculan mulai dari Lingkaran Survey Indonesia (LSI) yang dipimpin Deny JA, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Fox Indonesia, Cyrus Surveyor, PolMark Indonesia, Poltracking Indonesia, Charta Politica, dan sejumlah lembaga lainnya.

Menurut Direktur Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP), salah satu anak perusahaan LSI, Sunarto Ciptoharjono,  di era Pilkada Serentak, memang permintaan calon kepala daerah untuk didampingi konsultan politik meningkat. Tapi, karena waktu penyelenggaraan yang bersamaan, perusahaan tidak bisa menangani semua permintaan.

“LSKP sendiri hanya memegang empat pasangan calon. Itu pun sudah luar biasa karena serentak,” kata Sunarto ketika ditemui PR Indonesia di kantornya, bilangan Pemuda, Jakarta Timur, Selasa (20/10/2015). “Nah kalau holding LSI total untuk Pilkada bisa lebih dari 30 pasangan calon,” tambahnya.

Soal peran, lembaga konsultan politik bertindak layaknya mall atau supermarket yang menyediakan seluruh layanan yang dibutuhkan untuk memenangkan kandidat. Mulai dari survei, strategi, hingga eksekusi. Dalam prakteknya, tidak semua hal bisa dilakukan sendiri oleh konsultan politik. Pekerjaan spesifik yang bukan kompetensinya diserahkan kepada para profesional seperti produksi iklan, event organizer, fotografer, termasuk public relations.

Menurut Sunarto, untuk efisiensi perusahaannya biasanya merangkul profesional PR bukan agency. Dalam bingkai konsultan politik, peran PR selain menjadi penghubung ke media juga melakukan analisis konten media, analisis grassroot, serta memberikan rekomendasi kepada kandidat. “Untuk melakukan pekerjaan itu ada kalanya kandidat minta didampingin PR day to day. Tapi sebagian besar cukup memantau dari jauh,” tambahnya.

Hal senada diakui Arif Nurul Iman, konsultan politik yang terlibat dalam sejumlah Pilkada. Menurut dia, kampanye Pilkada memang melibatkan banyak profesi. Ia sendiri selama ini lebih banyak berperan dalam bidang komunikasi strategis mulai dari merumuskan isu/narasi, distribusi pesan, hingga kontra narasi. “Peran orang yang memiliki keahlian komunikasi dan media memang sangat dibutuhkan bagi calon,” katanya kepada PR Indonesia, akhir Oktober lalu.

Sementara itu, Manajer PR dari FastCom, Joko Hariyanto, mengatakan peran yang dimainkan lembaganya selama ini lebih dari sekadar media relations tapi juga personal branding, termasuk melalui produksi iklan. “Tapi di Pilkada Serentak kali ini kami absen. Sekarang sumber daya lebih banyak diarahkan menangani klien pemerintahan,” kata pria yang pernah membantu pemenangan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto itu, kepada PR Indonesia, di Jakarta, Kamis (22/10/2015).

Hemat kata, Pilkada Serentak 2015 memang belum menjadi berkah bagi industri PR. Menurut Silih, problemnya karena pasar yang belum teredukasi dengan baik dari tingkat pusat hingga daerah. Para kandidat kepala daerah maupun partai politik belum memahami pentingnya PR untuk membangun pencitraan politik yang kuat dengan biaya yang lebih efisien.

Padahal, sambung pria yang kini memimpin perusahaan konsultan Asia PR, jika para kandidat memahami efektifitas PR, mereka akan memilih dan memaksimalkan PR sebagai strategi kampanye.

Di samping itu, masih kentalnya budaya politik transaksional juga menjadi faktor penghalang masuknya PR dalam ranah Pilkada Serentak. Dibanding menggunakan strategi kampanye PR yang baik, para kandidat lebih memilih ‘membeli’ suara. “Taruhlah ada yang ingin melakukan PR dengan baik. Tapi karena suara bisa dibeli, mereka takut dicurangi oleh kandidat lainnya. Akhirnya mereka tidak yakin dengan cara-cara profesional,” tambahnya.

Silih mengakui, dari sisi perusahaan PR sendiri sejatinya tak semua mau menggarap Pilkada Serentak. Ada sebagian perusahaan konsultan PR yang enggan dan membatasi diri atau bahkan memutuskan untuk tidak masuk ke ranah politik.  “Member kita (APPRI), terutama yang global company, malah dilarang untuk masuk ke area politik,” tutur Silih. Daripada masuk tapi tidak tahu kondisinya, mereka memutuskan untuk tidak ikut di perhelatan Pilkada. Toh, sehari-hari pun mereka memang tak mengandalkan klien politik, tapi korporasi, organisasi, maupun pemerintahan. (Hanifudin Mahfuds)



Related Posts:

  • Mengapa PDIP Jakarta Bergejolak? TSKita Selasa, 30 Agu 2016 - 16:26:23 WIB  Arif Nurul Imam (Peneliti Politik POINT Indonesia dan aktif dalam gerakan pro-demokrasi), TEROPONGSENAYAN Sumber foto : Istimewa Arif Nurul Imam Suhu politik jel… Read More
  • Senjakala Ahok? Koran Harian Terbit, 14 Oktober 2016  Oleh: Arif Nurul ImamAnalis Politik POINT Indonesia Sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga survey, elektabilitas Basuki Tjahya Purnama atau akrap disapa Ahok terus meroso… Read More
  • Anti Mafia Migas, Apakah Faisal Basri Neolib? Aktual.co Senin, 08-12-2014 22:57 Ilusastri Bongkar Mafia Migas Tudingan sebagai agen neolib, ditanggapi enteng FB. Tudingan itu dinilai FB hanya digunakan sebagai alat kepentingan politik untuk… Read More
  • Tensi Politik Pasca Ahok Tersangka dok pri Wednesday, 16 November 2016, 19:55 WIB Red: Heri Ruslan Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia. REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Arif Nurul Imam* Calon gubernur pejawat… Read More
  • Pilkada Serentak, Peran PR Belum Menyentak Majalah PR-Indonesia, Edisi 9 2015 Laporan Utama Pilkada Serentak, Peran PR Belum Menyentak Meski kue public relations (PR) yang beredar di ranah Pilkada Serentak cukup menggiurkan, namun belum banyak pelaku industri P… Read More

0 komentar:

Post a Comment