Majalah PR-Indonesia, Edisi 9 2015
Laporan Utama
Laporan Utama
Pilkada Serentak, Peran PR
Belum Menyentak
Meski kue public relations
(PR) yang beredar di ranah Pilkada Serentak cukup menggiurkan, namun belum
banyak pelaku industri PR yang menikmatinya. Mengapa?
Bagi para praktisi public
relations (PR), era Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak awalnya
diproyeksikan bakal membawa berkah melimpah. Jauh sebelum bola Pilkada Serentak
2015 bergulir, banyak tokoh PR yang memroyeksikan besarnya kue PR yang beredar
di perhelatan akbar pertama dalam sejarah Indonesia ini.
Direktur Socio Komunikasi
Djaka Winarso, misalnya, memperkirakan kue yang beredar dalam gelaran Pilkada
Serentak cukup fantastis. Jika diasumsikan masing-masing kandidat menghabiskan
biaya kampanye Rp 20 miliar, maka untuk Pilkada serentak tahun 2015 di 269
daerah yang melibatkan lebih dari 700 pasangan calon akan mencapai Rp 14
triliun. “Jadi memang kuenya besar banget,” simpul Djaka dalam sebuah
perbincangan dengan PR Indonesia, April 2015.
Meski realitanya di era
Pilkada Serentak 2015 dana kampanye masing-masing kandidat dibatasi oleh Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD), sehingga angkanya bisa jadi tidak seperti yang
diperkirakan, namun tetap saja jumlahnya masih fantastis bagi para pelaku
industri PR.
Tak heran jika Pilkada
Serentak dipandang sebagai peluang besar bagi industri PR. Apalagi di era
pemilihan umum langsung beberapa tahun terakhir ini, pencitraan sudah menjadi
kebutuhan setiap kandidat yang ingin memenangkan kontestasi. Untuk membangun
popularitas, likeabilitas, dan elektabilitas, jasa para pakar PR pun amat
dibutuhkan para kandidat.
“Mereka jelas membutuhkan
konsultan PR sendiri, bagaimana menyampaikan visi misi dan merekrut calon voters untuk
memilih dia sebagai kandidat yang baik, itu membutuhkan tangan emas dari konsultan
PR,” kata Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) Agung
Laksamana, di Bandung, April 2015.
Namun, legitnya kue Pilkada
Serentak tahun ini belum banyak dinikmati para pelaku industri PR. Wakil Ketua
Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI), Silih Agung
Wasesa, mengungkapkan, di atas kertas Pilkada Serentak memang menawarkan banyak
peluang bagi industri PR. Tapi, kenyataanya jauh panggang dari api.
"Hanya sedikit lembaga
PR yang dikontak atau dimintai tolong untuk membantu calon kepala daerah,” kata
penulis buku Political Branding & Public Relations kepada
majalah PR Indonesia melalui sambungan telepon dari Swiss, Senin
(19/10/2015).
Kalaupun ada yang terlibat
dalam Pilkada Serentak, perannya tak lebih sebagai penghubung dengan media
alias menangani publisitas semata. Padahal fungsi PR jelas lebih luas dari
sekadar media relations.
Tren Konsultan Politik
Lain PR, lain pula
konsultan politik. Di era Pilkada Serentak, peran perusahaan konsultan politik
tampak lebih menonjol. Sejak era pemilihan kepala derah langsung dimulai pada
2005, berbagai perusahaan konsultan politik pun bermunculan mulai dari
Lingkaran Survey Indonesia (LSI) yang dipimpin Deny JA, Saiful Mujani Research
and Consulting (SMRC), Fox Indonesia, Cyrus Surveyor, PolMark Indonesia,
Poltracking Indonesia, Charta Politica, dan sejumlah lembaga lainnya.
Menurut Direktur Lingkaran
Survei Kebijakan Publik (LSKP), salah satu anak perusahaan LSI, Sunarto
Ciptoharjono, di era Pilkada Serentak, memang permintaan calon kepala
daerah untuk didampingi konsultan politik meningkat. Tapi, karena waktu
penyelenggaraan yang bersamaan, perusahaan tidak bisa menangani semua
permintaan.
“LSKP sendiri hanya
memegang empat pasangan calon. Itu pun sudah luar biasa karena serentak,” kata
Sunarto ketika ditemui PR Indonesia di kantornya, bilangan Pemuda,
Jakarta Timur, Selasa (20/10/2015). “Nah kalau holding LSI total
untuk Pilkada bisa lebih dari 30 pasangan calon,” tambahnya.
Soal peran, lembaga
konsultan politik bertindak layaknya mall atau supermarket yang
menyediakan seluruh layanan yang dibutuhkan untuk memenangkan kandidat. Mulai
dari survei, strategi, hingga eksekusi. Dalam prakteknya, tidak semua hal bisa
dilakukan sendiri oleh konsultan politik. Pekerjaan spesifik yang bukan
kompetensinya diserahkan kepada para profesional seperti produksi iklan, event
organizer, fotografer, termasuk public relations.
Menurut Sunarto, untuk
efisiensi perusahaannya biasanya merangkul profesional PR bukan agency.
Dalam bingkai konsultan politik, peran PR selain menjadi penghubung ke media
juga melakukan analisis konten media, analisis grassroot, serta memberikan
rekomendasi kepada kandidat. “Untuk melakukan pekerjaan itu ada kalanya
kandidat minta didampingin PR day to day. Tapi sebagian besar cukup
memantau dari jauh,” tambahnya.
Hal senada diakui Arif
Nurul Iman, konsultan politik yang terlibat dalam sejumlah Pilkada. Menurut
dia, kampanye Pilkada memang melibatkan banyak profesi. Ia sendiri selama ini
lebih banyak berperan dalam bidang komunikasi strategis mulai dari merumuskan
isu/narasi, distribusi pesan, hingga kontra narasi. “Peran orang yang memiliki
keahlian komunikasi dan media memang sangat dibutuhkan bagi calon,” katanya
kepada PR Indonesia, akhir Oktober lalu.
Sementara itu, Manajer PR
dari FastCom, Joko Hariyanto, mengatakan peran yang dimainkan lembaganya selama
ini lebih dari sekadar media relations tapi juga personal
branding, termasuk melalui produksi iklan. “Tapi di Pilkada Serentak kali ini
kami absen. Sekarang sumber daya lebih banyak diarahkan menangani klien
pemerintahan,” kata pria yang pernah membantu pemenangan Walikota Bogor Bima
Arya Sugiarto itu, kepada PR Indonesia, di Jakarta, Kamis (22/10/2015).
Hemat kata, Pilkada
Serentak 2015 memang belum menjadi berkah bagi industri PR. Menurut Silih,
problemnya karena pasar yang belum teredukasi dengan baik dari tingkat pusat
hingga daerah. Para kandidat kepala daerah maupun partai politik belum memahami
pentingnya PR untuk membangun pencitraan politik yang kuat dengan biaya yang
lebih efisien.
Padahal, sambung pria yang
kini memimpin perusahaan konsultan Asia PR, jika para kandidat memahami
efektifitas PR, mereka akan memilih dan memaksimalkan PR sebagai strategi
kampanye.
Di samping itu, masih
kentalnya budaya politik transaksional juga menjadi faktor penghalang masuknya
PR dalam ranah Pilkada Serentak. Dibanding menggunakan strategi kampanye PR
yang baik, para kandidat lebih memilih ‘membeli’ suara. “Taruhlah ada yang
ingin melakukan PR dengan baik. Tapi karena suara bisa dibeli, mereka takut
dicurangi oleh kandidat lainnya. Akhirnya mereka tidak yakin dengan cara-cara
profesional,” tambahnya.
Silih mengakui, dari sisi
perusahaan PR sendiri sejatinya tak semua mau menggarap Pilkada Serentak. Ada
sebagian perusahaan konsultan PR yang enggan dan membatasi diri atau bahkan
memutuskan untuk tidak masuk ke ranah politik. “Member kita (APPRI),
terutama yang global company, malah dilarang untuk masuk ke area
politik,” tutur Silih. Daripada masuk tapi tidak tahu kondisinya, mereka
memutuskan untuk tidak ikut di perhelatan Pilkada. Toh, sehari-hari pun mereka
memang tak mengandalkan klien politik, tapi korporasi, organisasi, maupun
pemerintahan. (Hanifudin Mahfuds)
0 komentar:
Post a Comment