Jumat, 09 Desember 2016, 17:33 WIB
Red: Heri Ruslan
dok pri

Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT
Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI
Jakarta tak ubahnya magnet yang menarik perhatian publik secara luas. Analis
Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Iman menilai, pesta demokrasi di Ibu Kota
seperti “Pilpres mini” karena menyita perhatian publik, bukan hanya warga
Jakarta yang memiliki hak pilih, melainkan pula warga di berbagai daerah di
Tanah Air.
"Meskipun otonomi daerah telah diterapkan lebih dari satu dasawarsa,
fenomena tersebut sesungguhnya dapat dipahami; lantaran Jakarta adalah Ibu kota
Negara yang pada akhirnya menjadi gambaran wajah Indonesia," ujar Arif
kepada Republika.co.id, Jumat (9/12).
Meski begitu, kata Arif, pada akhirnya yang menentukan siapa yang bakal menjadi
kepala daerah adalah pemilih Jakarta. Itulah sebabnya, papar Arif, melihat peta
pemilih Jakarta merupakan cara efektif untuk melihat sejauhmana peluang
masing-masing pasangan calon yang maju dalam bursa Pilkada DKI.
"Sebagai kota metropolitan, Jakarta tentu memiliki karakteristik pemilih
yang berbeda dengan daerah lain. Di lihat dari segi pendidikan, tingkat
pendapatan, ataupun komsumsi informasi, warga Ibukota bisa dipastikan lebih
unggul. Derajat komsumsi informasi yang tinggi, misalnya menjadikan Pilkada
paling “berisik” di republik ini," ungkap Arif.
Terlebih, kata dia, media sosial, perang opini para political buzzeruntuk
mempromosikan jagoannya menjadikan dunia maya tak henti sebagai media kampanye
tanpa mengenal waktu. "Dengan kondisi semacam ini, pemilih Jakarta
sesungguhnya merupakan lumbung suara jenis pemilih yang dalam literatur politik
disebut sebagai pemilih rasional," cetusnya.
Menurut dia, pemilih rasional, merupakan kantong pemilih terbesar yang mesti
menjadi titik perhatian para pasangan calon beserta tim sukses. "Meski
jumlahnya sedikit kita juga tak bisa menafikkan keberadaan jenis pemilih lain,
seperti jenis pemilih tradisional maupun skeptis," tuturnya. Ia
menjelaskan, pemilih rasional merupakan jenis pemilih yang memiliki orientasi
terhadap kebijakan dan sejauhmana kemampuan problem solving terhadap masalah
yang muncul di publik.
"Pemilih demikian lebih melihat kapasitas, integritas, rekam jejak, serta
program kerja kandidat sebagai basis pertimbangan dalam memberikan dukungan
politik, bukan mendasarkan pada sentimen-sentimen primordial yang usang dan
tidak relevan," kata Arif menjelaskan.
Pendek kata, lanjut dia, pemilih Jakarta adalah pemilih cerdas yang
mempergunakan pertimbangan-pertimbangan akal sehat dalam memberikan dukungan,
bukan dipengaruhi oleh isu dan informasi hoax yang tak bisa
dipertanggungjawabkan.
Ahok vs Kontra Ahok
Arif menuturkan, kendati terdapat tiga pasangan calon kepada daerah dan wakil
kepala daerah yang akan bertarung di Pilkada DKI Jakarta 2017, tapi sejatinya
di level grass-root, hanya terdapat dua kelompok pemilih yang berpunggungan.
Dua kelompok tersebut, kata dia, muncul atas penilaian kinerja dari pejawat
(incumbent) Basuki Tjahya Purnama atau akrap disapa Ahok yang kembali maju lagi
berpasangan dengan wakilnya Djarot Saiful Hidayat yang diusung oleh PDIP,
Nasdem, Hanura, dan Golkar.
"Bagi yang menilai kinerja pejawat positif tentu mendukung Ahok-Djarot,
sebaliknya yang memandang negatif bakal menyalurkan aspirasinya pada pasangan
lain, Agus-Silvi atau Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Dua kelompok ini sebagian
besar sejatinya sama-sama jenis pemilih rasional, tapi memiliki penilaian yang
berseberangan terhadap kinerja dari pejawat," tegasnya.
Bandul Kemenangan
Meski demikian, papar Arif, perlu diingat juga, meski jumlahnya kecil, pemilih
tradisional juga akan menjadi variabel kemenangan. Boleh jadi, lanjut dia, ini
akan menjadi selisih kemenangan. Pemilih semacam ini perlu pendekatan emosional
dengan intens menyapa dan memberi sentuhan psikologis. "Oleh sebab itu,
boleh jadi pemilih tradisional akan menjadi bandul penentu kemenangan,"
ungkapnya.
Melihat kondisi ini, kata dia, belum ada satupun pihak yang berani memastikan
pasangan calon yang bakal menang dalam Pilkada DKI 2017. Arif memprediksi,
sangat dimungkinkan akan terjadi dua putaran lantaran Pilkada DKI mempunyai
aturan berbeda, kemenangan yang diperoleh harus melampaui dukungan lima puluh
persen plus.
"Hal ini sejalan sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga survey
yang juga menyebutkan bahwa elektabilitas ketiga pasangan calon di bawah angka
lima puluh persen, termasuk calon pasangan pejawat," kata Arif.
0 komentar:
Post a Comment