Legitimasi hasil
Pemilu 2019 setelah OTT komisioner KPU
Tertangkapnya Komisioner Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dalam
operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah pasti menjadi guncangan dahsyat
dalam dunia kepemiluan di Tanah Air. KPK akhirnya menetapkan Komisioner KPU
Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota
DPR terpilih periode 2019-2024.
Penyelenggara pemilu, termasuk KPU dituntut untuk bekerja independen dan
profesional. Hal ini karena fungsi dan peran mereka merupakan penyelenggara
sekaligus wasit, sehingga mesti menjunjung integritas untuk menciptakan pemilu
yang jujur dan adil.
Meski pemilu sudah usai dan telah melantik pemenang kontestasi, namun ada
persoalan lain dari peristiwa kasus ini. Peristiwa ini selain akan menurunkan
kepercayaan publik pada KPU, juga potensial menggerus bobot dan legitimasi
hasil Pemilu 2019.
Personal atau sistematik?
Sebagaimana diberitakan oleh media, kasus suap yang melibatkan mantan
komisioner KPU Wahyu Setiawan ini berawal adanya pengajuan proses pergantian
antarwaktu (PAW) calon legislatif yang dilayangkan PDIP kepada KPU sebanyak
tiga kali yang berisi permintaan calon yang telah meninggal dunia atas nama
Nazarudin Kiemas, nomor urut 1, dapil Sumatera Selatan I, suara sahnya
dialihkan kepada calon atas nama Harun Masiku.
Seperti disampaikan Ketua KPU Arief Budiman, kronologi permohonan PAW
anggota DPR terpilih Fraksi PDIP yang diajukan oleh tersangka suap, Harun
Masiku. KPU menjelaskan PDIP mengirimkan surat sebanyak tiga kali. KPU tidak
bisa mengabulkan permohonan PDIP yang dilayangkan PDIP karena Harun Masiku
tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi PAW anggota DPR.
Wahyu Setiawan sebenarnya juga setuju dengan keputusan KPU menolak
permintaan PDIP untuk melakukan PAW terhadap anggota DPR dari dapil
Sumatera Selatan I Riezky Aprilia. Dalam tiga kali rapat pleno terkait PAW
tersebut, tidak ada anggota KPU yang berbeda pendapat, semua menolak permohonan
PAW caleg PDIP.
Alasan penolakan KPU jelas dan tegas, karena sesuai dengan peraturan yang
berlaku, PAW anggota DPR digantikan oleh calon anggota legislatif dengan
perolehan suara terbanyak berikutnya di dapil tersebut, bukan sesuai
kewenangan partai.
Jika melihat kronologi ini, setidaknya dari rapat pleno KPU, kejadian ini
lebih condong bersifat personal, bukan sistematik. Asumsi ini paling tidak
lantaran dalam rapat pleno tidak ada upaya penggiringan opini dan perdebatan
untuk mengegolkan permintaan PDIP. Bahkan tak ada perpedaan pendapat, termasuk
dari Wahyu Setiawan. Tentu ini masih bersifat tentatif, seraya menunggu
penyelidikan lebih lanjut oleh penegak hukum, apakah kasus ini bersifat
personal atau sistematis?
Legitimasi hasil pemilu
Selain berdampak merosotnya kepercayaan publik, langsung atau tidak,
hampir dipastikan memengaruhi bobot dan legitimasi hasil Pemilu 2019. Dikatakan
demikian karena, salah satu prasyarat hasil pemilu memiliki legitimasi tentu
tak lepas dari independensi dan profesionalitas penyelenggara pemilu, termasuk
KPU.
Pengaruh kasus ini terhadap legitimasi hasil pemilu tentu amat bergantung
sejauh mana modus operandi skandal memalukan tersebut. Jika sistematik, tentu
akan menjadi preseden bagi demokrasi karena legitimasi hasil pemilu akan
menjadi sorotan publik yang pada gilirannya menggerus legitimasi hasil pemilu.
Sebaliknya, jika ini bersifat personal, tentu dampaknya tak begitu besar
bagi legitimasi hasil pemilu. Meski begitu, juga tak bisa disimpulkan kemudian
bahwa tak memiliki efek tehadap hasil pemilu. Pendek kata, dampaknya pasti ada,
hanya tidak signifikan dalam memengaruhi legitimasi hasil pemilu. Peristiwa
memalukan ini tentu mencederai demokrasi sekaligus mencoreng wajah seluruh
jajaran penyelenggara pemilu dari tingkat pusat hingga tingkat paling
bawah.
Filosof Frans Magnis Suseno dalam
bukunya Etika Politik, Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern membuat
semacam patokan soal legitimasi negara bahwa setidaknya negara harus memiliki
pengakuan masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap hukum dan untuk menjamin
keberlakuan hakikat negara. Negara berkuasa karena masyarakat mengakui
kewenangannya. Itu sebabnya, kestabilan negara tergantung dari pengakuan
wewenang oleh masyarakat. Pendek kata, minimnya pengakuan masyarakat, maka
berimplikasi atas legitimasi akan luntur atau sirna.
Padahal merujuk pendapat begawan filsafat tersebut, pemerintahan yang
legitimite mesti memiliki dukungan masyarakat secara luas. Pengakuan masyarakat
terhadap hasil pemilu, oleh sebab itu, menjadi penting dan menentukan terhadap
bobot dan legitimasi pemerintahan. Makin tinggi pengakuan masyarakat terhadap
hasil pemilu maka secara pararel legitimasi pemerintahan juga makin tinggi.
Begitu pula sebaliknya, makin rendah kepercayaan terhadap hasil pemilu juga
berimplikasi makin menurunnya legitimasi pemerintahan hasil pemilu.
Di tengah peristiwa ini, sebaiknya jadi
momentum untuk melakukan evaluasi, pembenahan dan menata sistem sehingga di
satu sisi akan terjadi perbaikan, dan di sisi lain akan berdampak pada
meningkatnya kepercayaan publik pada KPU sekaligus memiliki legitimasi politik
yang kuat sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen dan profesional.
Dengan demikian, legitimasi hasil pemilu kembali menguat dan dipercaya publik.
0 komentar:
Post a Comment