Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Orang Boleh Pandai Setinggi Langit Tapi Selama ia Tidak Menulis Ia akan hilang didalam Masyarakat dan Sejarah. Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Saturday, December 7, 2019

Millennials in President Jokowi's inner circle


Tuesday, November 26, 2019, 14:55 GMT+7



Indonesian President Joko Widodo (fourth left) and seven millennial members of his inner circle at a meeting on November 21, 2019. Photo: Jakarta Globe

Editor’s note: Arif Nurul Imam, an Indonesian political analyst and director of IndoStrategy Research and Consulting, wrote this piece exclusively for Tuoi Tre News after learning that Indonesian President Joko Widodo had added seven "millennials" to his inner circle of consultants to assist him in his second presidential term. Millennials, also known as Generation Y (or simply Gen Y), is a term popularly referring to people born between the early 1980s to the mid-1990s and early 2000s.

President Joko Widodo (Jokowi) has just announced his special staff members, who are mostly millennials, to assist him in the 2019-2024 period. Among them, seven people come from the millennial age group who generally are entrepreneurs, sociopreneurs, and edupreneurs — business activities combined with social development, education, philanthropy, and the economy of young people.

This formation certainly makes a public surprise so it reaps the pros and cons. Moreover, the addition of special presidential staff is also blamed by some of the public as a paradoxical step. This is because President Jokowi also said that he would streamline the bureaucracy, but at the same time also increase the portion of the president's special staff.

All seven people have backgrounds in labeling the innovators. They are Ruangguru CEO and founder Adamas Belva Syah Devara, Amartha Fintech founder Andi Taufan Garuda Putra, Creativepreneur CEO Putri Tanjung, SabangMerauke co-founder Ayu Kartika Dewi, Kitong Bisa CEO Gracia Billy Mambrasar, social entrepreneur Angkie Yudistia, and former Indonesian Islamic Student Movement (PMII) Chairman Aminuddin Maruf.

Their ages range between 23 and 36 years, with the youngest being Putri born in 1996 - who is also the daughter of media entrepreneur Chairil Tanjung.

Those chosen are not only expected to assist in ceremonial and monotonous activities but are also expected to provide input in the form of breakthroughs and innovations in running the wheels of President Jokowi's government.

The involvement of millennial groups is expected to give a new color, while simultaneously being able to answer the challenges of an increasingly advanced and sophisticated era.

Saturday, November 2, 2019

Nasdem Bertemu PKS, Loyalitas Parpol Pendukung Pemerintah Mulai Diuji



Sabtu, 2 November 2019 - 18:37 WIB
views: 4.108




Pengamat Politik dan Direktur Indostrategi Arif Nurul Imam menilai pertemuan antara Nasdem dan PKS bisa diartikan sinyal politik bahwa Nasdem siap bekerja sama dengan parpol pendukung oposisi. Foto/Ilustrasi/SINDOphotoA+ A-

JAKARTA - Pertemuan antara Partai Nasdem dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terjadi belum lama ini cukup mengejutkan publik. Bahkan ada yang menganggap Nasdem telah siap masuk ke dalam koalisi oposisi.
Menanggapi itu, Pengamat Politik dan Direktur Indostrategi Arif Nurul Imam menilai pertemuan antara Nasdem dan PKS bisa diartikan sinyal politik bahwa Nasdem siap bekerja sama dengan parpol pendukung oposisi.

"Langkah Nasdem komunikasi dengan PKS saya kira selain silaturahmi politik juga sebagai upaya memberi sinyal politik bahwa Nasdem juga bisa kerja sama dengan parpol non pendukung pemerintah," ujar Arif saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (2/11/2019).

Menurut, sikap Nasdem yang tiba-tiba mendekati parpol non pemerintahan dalam hal ini PKS bisa menjadi gertakan bagi kubu pemerintahan. Sebab, jika diabaikan bukan tidak mungkin Nasdem bakal menjadi oposisi. 

"Ini tahap awal masih menguji parpol pendukung pemerintah, namun jika diabaikan bisa jadi Nasdem bisa serius menjadi kekuatan penyeimbang," jelasnya.
Saat disinggung mendekatnya Nasdem dengan PKS akibat kurang puas dengan jatah menteri yang didapatinya, Arif pun tak menyangkal hal itu. "Ya di antaranya karena faktor itu jatah menteri dan bergabungnya Gerindra ke pemerintah," tuturnya.
(kri)


Wednesday, October 16, 2019

Pos-pos Menteri yang Selayaknya Diisi Profesional


Pos-pos Menteri yang Selayaknya Diisi Profesional
Rabu, 16 Oktober 2019 | 05:36 WIB



VIVAnews/Agus Rahmat
VIVAnews – Kabinet Kerja jilid II yang segera ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharapkan diisi figur yang berkompeten, profesional, kemudian juga punya rekam jejak sukses, dan satu frekuensi.

Menurut Direktur Indostrategi, Arif Nurul Imam, kriteria tersebut penting agar kebijakan antarkementerian tidak tumpang-tindih dan saling bertolak belakang.

"Jika melihat perkembangan politik mutakhir, nampaknya Presiden Jokowi akan melakukan rekrutmen menteri berbasis kombinasi antara konsesi dan meritokrasi," ucap Arif dalam keterangan tertulisnya, Selasa 15 Oktober 2019.

Dengan demikian, menurut dia, kabinet lima tahun ke depan akan dibangun dengan perpaduan antara politik dagang sapi atau konsesi dan kompetensi alias meritokrasi. Menteri dari kalangan profesional menurutnya lebih kompeten.

"Kelebihan menteri dari profesional jelas mereka lebih kompeten dan bebas dari kepentingan politik parpol, sehingga akan bekerja maksimal untuk menjalankan visi Pak Jokowi," katanya.

Dia mengatakan, sejumlah kementerian harus dikomandani menteri dari kalangan profesional. Semisal, menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menteri Keuangan, menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, jaksa agung, menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menteri Kesehatan, serta menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus dipilih dari kalangan profesional.

"Menteri dari kalangan profesional, dia tidak punya loyalitas ganda antara parpol dan presiden. Ia akan loyal ke presiden saja. Jelas positif karena tidak menyelipkan kepentingan parpol dalam kebijakannya," ujar dia lagi.


Tuesday, October 15, 2019

Kabinet Jokowi Jilid II, Menteri dari Profesional Dinilai Loyal


Kabinet Jokowi Jilid II, Menteri dari Profesional Dinilai Loyal

Reporter: 

Antara

Editor: 

Dewi Rina Cahyani



TEMPO.COJakarta - Pengamat politik Arif Nurul Imam berpendapat menteri dari kalangan profesional pada Kabinet Jokowi Jilid II akan lebih loyal kepada Presiden Joko Widodo dibandingkan menteri dari kalangan partai politik.
"Menteri dari kalangan profesional tidak punya loyalitas ganda antara parpol dan presiden. Ia akan loyal ke presiden saja," kata Arif, di Jakarta, menanggapi penyusunan Kabinet Kerja Jilid II, Selasa, 15 Oktober 2019.
Menurut dia, hal itu sebagai sesuatu yang positif karena tidak menyelipkan kepentingan parpol dalam kebijakannya
Kabinet Jokowi Jilid II yang akan segera ditetapkan Presiden Jokowi diharapkan dapat diisi oleh figur-figur yang kompeten, profesional, memiliki rekam jejak sukses, dan satu frekuensi.
Direktur Indostrategi ini menilai, kriteria tersebut sangat penting dimiliki para menteri Kabinet Jokowi Jilid II agar kebijakan antar-kementerian tidak tumpang-tindih dan saling bertolak belakang.
"Jika melihat perkembangan politik mutakhir, nampaknya Presiden Jokowi akan melakukan rekrutmen menteri berbasis kombinasi antara konsesi dan meritokrasi," ujar Arif.
Artinya, tambah dia, kabinet lima tahun ke depan akan dibangun dengan perpaduan antara politik dagang sapi atau konsesi dan kompetensi alias meritoktasi.
"Kelebihan menteri dari profesional jelas mereka lebih kompeten dan bebas dari kepentingan politik parpol sehingga akan bekerja maksimal untuk menjalankan visi Pak Jokowi," katanya.
Menurut dia, ada sejumlah kementerian pada Kabinet Jokowi Jilid II yang harus dikomandani menteri dari kalangan profesional. Arif menyebut, Menteri ESDM, Menteri keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Mendikbud, Menteri Kesehatan, serta menteri BUMN harus dipilih dari kalangan profesional. "Menteri-menteri tersebut lebih baik dari kalangan profesional karena jauh dari kepentingan politik," ucapnya.

https://bisnis.tempo.co/read/1259934/kabinet-jokowi-jilid-ii-menteri-dari-profesional-dinilai-loyal/full&view=ok

Friday, August 30, 2019

Pemilu Berkualitas dan Legitimasi Pemerintahan Hasil Pemilu(Jurnal Dialog Kebijakan Publik-Edisi 29)


Pemilu Berkualitas dan Legitimasi Pemerintahan Hasil Pemilu
Oleh : Arif Nurul Imam
(Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting)

Meski ada riak-riak dan beragam kekurangan pemilu serentak, tapi satu hal yang patut kita syukuri dalam pesta demokrasi pada 17 April 2019 kemarin secara umum dalam pelaksanaan dapat berjalan lancar dan aman. Dengan kompleksitas pemilihan yang begitu rumit, menggelar pemilu dengan melibatkan 190 juta pemilih dan medan geografis yang begitu luas tentu bukan pekerjaan mudah.

Sebagai pengalaman pertama dalam melaksanakan pemilu serentak,  sudah pasti  memiliki beragam implikasi yang kadang diluar prediksi sebelumnya. Umpama saja, keterlambatan logistik karena medan geografis yang sulit dijangkau, bencana alam, hingga persoalan beragam celah regulasi yang potensi bisa sebagai pintu masuk melakukan praktik kecurangan.

Meski demikian, kita sebagai bangsa mesti bertekad mewujudkan pemilu berkualitas. Karena pemilu perkualitas merupakan prasyarat mutlak, agar menghasilkan pemerintahan yang memiliki bobot dan legitimasi politik yang kuat. Pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat pada gilirannnya akan memiliki  kepercayaan diri dalam mengambil kebijakan-kebijakan publik karena memeroleh kepercayaan yang kuat dari rakyat.

Monday, May 13, 2019

Mewujudkan Pemilu Jurdil


Mewujudkan Pemilu Jurdil

Oleh : Arif Nurul Imam

(Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting)


Pemilihan umum (Pemilu) merupakan mekanisme demokrasi untuk melakukan sirkulasi dan rotasi kepemimpinan. Karena itu, salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem Pemiluyang jujur dan adil (free and fair elections).Oleh sebab itu, dalam setiap proses Pemiluhal yang harus dipastikan adalah prinsip jujur dan adil (jurdil). Sebab jika prinsip jurdil lenyap, maka hampir  dipastikan Pemilu hanya akan menciptakan kegaduhan politik dan menguras uang APBN.

Pemilu sebagai pertarungan politik antarpara kontestan acapkali menimbulkan tensi politik memanas. Kondisi ini sejatinya bisa dipahami, karena dalam kontestasi untuk merebut dukungan dan simpati pemilih acapkali terseret dalam kubangan pragmatisme politik dengan menghalalkan segala cara, seperti money politics, bahkan dengan melakukan praktik kecurangan.

Dalam kondisi semacam ini, maka mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil mutlak diperlukan. Bukan saja untuk memastikan kualitas demokrasi agar on the track, melainkan juga untuk memastikan asas fairnessehingga pada gilirannya dapat terselenggara Pemilu berkualitas. Sebab,selain harus menegakkan electoral integrity, Pemilu juga diharapkan dapat menghasilkan pejabat publik, baik di legislatif maupun eksekutif, yang memiliki integritas tidak tergoyahkan.

Saturday, April 27, 2019

Catatan Pelaksanaan Pemilu Serentak


Catatan Pelaksanaan Pemilu Serentak
Kamis, 25 April 2019 - 08:15 WIB



Arif Nurul Imam
Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting

PEMILU serentak yang digelar pada 17 April 2019 ternyata menyisakan sejumlah peristiwa yang layak menjadi catatan kritis sebagai bahan evaluasi ke depan. Perhelatan demokrasi yang melibatkan 190 juta pemilih, 805.000 tempat pemungutan suara (TPS), dan melibatkan 6 juta petugas pemungutan suara ini merupakan pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia.

Karena itu, tidak mengherankan jika banyak pihak menilai merupakan pemilu paling rumit di dunia. Pada awalnya, pemilu serentak bertujuan, antara lain, untuk melakukan efisiensi anggaran namun ternyata sejumlah peristiwa gugurnya para “pejuang demokrasi” dalam menjalankan tugas menjadikan pemilu kali ini sebagai pemilu yang paling banyak merenggut korban jiwa sepanjang sejarah.

Wednesday, April 17, 2019

The dynamics of simultaneous elections in Indonesia


INTERNATIONAL

The dynamics of simultaneous elections in Indonesia

Tuesday, April 16, 2019, 16:54 GMT+7

A worker carries election materials as he prepares ballot boxes before their distribution to polling stations in a warehouse in Jakarta, Indonesia, April 15, 2019. Photo: Reuters
Editor’s note: Arif Nurul Imam, an Indonesian political analyst and director of IndoStrategy Research and Consulting, wrote this piece exclusively for Tuoi Tre News ahead of the April 17 General Election in Indonesia.

Indonesia is the third largest democracy in the world after India and the United States. As a democratic country, general elections are democratic rituals and obligatory procedures that are routinely held every five years.
The General Election scheduled for April 17 is the first time the legislative election and presidential election will be held on the same day in Indonesia’s history.
Approximately 193 million voters will exercise their rights to vote on up to 805,000 voting booths. There are tens of millions of people involved, both as organizers and supervisors from the central level to polling stations.
This simultaneous election has been a colossal political party since Indonesia stood. At the same time, voters flocked to the polling stations to channel their political aspirations in the voting booth.
On the level of procedural democracy, Indonesia can be referred to as a successful example of the implementation of democratic procedures, especially in carrying out electoral rituals.
Most complicated election
This event is the first time in the history of Indonesian democracy when citizens have the right to vote the president and vice president, as well as select members of local and national legislative and senatorial members simultaneously on the same day.
Therefore, there are five ballots that must be punched by each voter at the polling station. Yellow ballot papers for the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR RI), blue for the Provincial House of Representatives (DPRD), green for the District/Municipality House of Representatives, red for the Regional Representative Council (DPD) as an element of regional representatives is often called a senator. The last gray color ballot paper is for the President and Vice President.
As the election is held simultaneously, the number of voters is quite large; it is not strange that there will be a lot of technical difficulties from election socialization, implementation, to its monitoring.
That is why it is not wrong to say that the 2019 elections in Indonesia are the most complicated in the world. This simultaneous election will certainly become the attention of all citizens of Indonesia, and will even be seen by the international community.
However, this complexity does not necessarily become a serious threat that will disrupt the election.
This is because technically, these problems have been anticipated by conducting socialization and simulation of voting procedures carried out by election organizers and civil society organizations that are concerned with issues of democracy.
Presidential election outshines legislative election
Even though the legislative election and presidential election are to be held at the same time, there is an inequality on the political stage: the focus of both political elites and general society are on the presidential election, making political issues around the legislative election sink.
Political discourse that has emerged on the surface or in public discussions highlights more the contestation of the presidential election, where there are two pairs of presidential and vice-presidential candidates: Joko Widodo-Makruf Amin and Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.           
The candidate pair of Joko Widodo-Makruf Amin, carrying the tagline Indonesia Maju, is being promoted by an “elephant” coalition that includes Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP), Golongan Karya Party (Golkar), National Awakening Party (PKB), United Development Party (PPP),Nasdem Party, Hanura Party, Indonesian Justice and Unity Party (PKPI), Crescent Star Party (PBB), and two newcomers: Perindo Party and Indonesian Solidarity Party (PSI).
In the meantime, the other candidate pair, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, carrying the tagline Indonesia Adil Makmur, is being promoted by Gerindra Party, Democratic Party, National Mandate Party (PAN), Prosperous Justice Party (PKS), and Working Party.
Such political polarization is unavoidable so the political dynamics of the presidential election has become heated and fierce. Moreover this is a "repeat duel" of the 2014 presidential election so, inevitably, the public has highlighted this contest between the pairs.
The presidential election drew people's attention so that it became public discussion of both the elite and lower classes. However, it must be admitted that the enthusiasm of the people towards the presidential election was not directly proportional to the enthusiasm highlighting the implementation of legislative elections.
Now let’s talk about the legislative election to elect candidates for members of the Republic of Indonesia Parliament, Provincial DPRD, Municipal DPR and candidates for the Regional Representative Council (DPD).
Twenty political parties, including 16 national political parties and four local political parties in Aceh Province, will contest to win voter support. Also, there are tens of thousands of prospective legislative members at all levels, as well as potential members of the DPD.
The legislative election seems to be drowned indeed by the more exciting, fiercer, and more uproarious presidential contest. Themes that should appear on the surface, such as debate about the vision and mission of political parties and legislative candidates regarding how Indonesia should be projected, almost disappear from the stage of public discussion.
Since the reform era, Indonesia has had plenty of experience in holding direct elections. It's just that, for simultaneous elections this is the first experience. However, we are optimistic that this simultaneous election will take place safely and smoothly.
Although procedural democracy has been noted as successful and great, it does not mean democracy in Indonesia is perfect. There is some homework that still needs to be refined, both procedurally and substantially.
Moreover, based on The Economist Intelligence (EIU) data, Indonesia's 2018 democracy ranks 68th or a 20-rank free fall from the 48th place in 2016. Data Freedom House also mentions the emergence of the threat to civil liberties, pushing Indonesia down from the status of “free state" to become “partially free” in 2018.
This issue is still a challenge in the future. Democracy in Indonesia is not only successful in procedural terms but it can be a substantial one, namely the realization of justice and prosperity. Hopefully.


Wednesday, April 3, 2019

Membidik Dukungan Warga Muhammadiyah dalam Pilpres


Membidik Dukungan Warga Muhammadiyah dalam Pilpres

views: 475

Arif Nurul Imam, Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting. Foto/Istimewa

Arif Nurul Imam 
Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting 

Perhelatan pemilihan presiden tinggal menghitung hari. Perebutan ceruk suara untuk menggandakan dukungan terus dilakukan oleh kedua pasangan capres-cawapres melalui berbagai perangkat politiknya. Tak terkecuali ceruk suara ormas Muhammadiyah yang disebut-sebut memiliki anggota dan simpatisan puluhan juta.

Penetrasi kedua pasangan calon untuk merebut simpati dan dukungan warga Muhammadiyah memang tidak bisa dilakukan secara institusi. Hal ini karena sebagaimana disampaikan Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir, sikap organisasi secara tegas menyatakan tidak akan terlibat dalam politik praktis. Muhammadiyah memilih jalur high politik melalui jalur politik kebangsaan sekaligus menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik.

Tanwir pada 2002 di Denpasar yang menghasilkan "Khitah Muhammadiyah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" memutuskan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi mana pun.

Akan tetapi Muhammadiyah tetap menganggap penting perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar di ranah politik praktis seperti di partai politik dan lembaga legislatif (low politic). Oleh sebab itu kader dan warga Muhammadiyah diberi kebebasan serta keleluasaan untuk mengekspresikan sikap dan pilihan politik serta terjun ke dalam politik praktis dengan syarat tidak memanfaatkan embel-embel dan simbol Muhammadiyah. Karena itu dalam menyalurkan aspirasi politik kader-kader Muhammadiyah nonparpol yang memiliki interes politik biasanya membentuk relawan guna menghimpun simpati dan dukungan warga Muhammadiyah.

Muhammadiyah sebagai ormas raksasa tentu tidak akan lepas dari bidikan para capres-cawapres untuk mendapatkan dukungan jamaah dari ormas yang berdiri di Yogyakarta tersebut. Karena itu merebut dukungan warga Muhammadiyah bukan saja sebagai "keharusan", melainkan prasyarat wajib untuk meraih kemenangan. 



Relawan 
Relawan sebagai instrumen pemenangan, khususnya relawan yang menyasar ceruk suara warga Muhammadiyah, memang tidak bisa leluasa dan serampangan dalam mencari simpati dan dukungan warga Muhammadiyah. Hal ini karena selain dilarang organisasi, bisa jadi malah kontraproduktif karena akan muncul kesan "menunggangi" Muhammadiyah.

Relawan kubu Jokowi-Amin mengatasnamakan sebagai Relawan Indonesia Berkemajuan (RIB) yang digawangi tokoh-tokoh muda seperti Khairul Mutaqien, Ali Mutahirin, dan Mukhamad Khairul Huda. Sementara untuk relawan di kubu Prabowo-Sandi, kader-kader Muhammadiyah menghimpun diri dalam Aliansi Pencerah Indonesia (API) yang dimotori tokoh-tokoh muda seperti Izzul Muslimin, Pedri Kasman, Fikri Yasin, dan Makmun Murod Al Barbazy.

Kebetulan penulis pernah diundang menjadi narasumber di dua kubu relawan, baik relawan yang mendukung pasangan Jokowi-Amin maupun relawan yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Kedua kelompok relawan yang sama-sama diinisiasi oleh kader-kader Muhammadiyah itu tujuannya sama: mencari simpati dan dukungan warga Muhammadiyah agar mendukung pasangan calon capres-cawapresnya.

Membaca Arus Bawah 
Untuk bisa mendapatkan dukungan warga Muhammadiyah, tentu relawan harus memahami karakter arus bawah atau jamaah Muhammadiyah. Pemahaman ini penting dan mutlak diperlukan, sebab ketiadaan pemahaman jenis pemilih Muhammadiyah akan berdampak kekeliruan dalam "tebar pesona" merebut hati dan simpati warga grass-root.

Menurut penelitian Malik (2018), pemilih Indonesia terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, pemilih emosional. Pemilih jenis ini merupakan pemilih yang memiliki ikatan emosional sangat kuat dengan identitas seperti paham ideologis, agama, dan budaya yang membentuk dirinya dari sejak kecil.

Kedua, pemilih rasional-emosional. Pemilih jenis ini memiliki kecenderungan akan diam ketika melihat isu yang bersifat agama, identitas, dan simbolik karena mereka membutuhkan waktu untuk melakukan verifikasi isu tersebut. Pemilih seperti ini mampu merasionalkan pilihan mereka, tetapi ketika menyangkut permasalahan ideologis, agama, dan etnik, mereka tidak sanggup memberikan argumentasi yang meyakinkan.

Ketiga, pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam membaca situasi politik. Pemilih jenis ini lebih condong mengukur rekam jejak, kinerja, dan komitmen politik sebagai preferensi politik dalam menyalurkan aspirasi politik. 

Merujuk hasil penelitian di atas, jika melihat tipologi warga Muhammadiyah yang kerap disebut kelompok urban, terdidik, dan kelas menengah, kemungkinan besar mayoritas pemilih merupakan jenis pemilih rasional-emosional dan pemilih rasional.

Warga Muhammadiyah secara umum adalah pemilih yang menggunakan pertimbangan rasional sehingga kalkulasi rekam jejak kandidat serta visi-misi menjadi variabel penting sebagai pertimbangan memilih. Warga Muhammadiyah tidak mengenal taklid buta sehingga instruksi atau imbauan politik dari elite Muhammadiyah sangat kecil mereka gubris.

Karakter pemilih yang demikianlah yang harus dimengerti oleh relawan di dua kubu pasangan capres agar pola dan gaya pendekatan melalui kampanye yang digelar bisa efektif dalam meraup dukungan elektoral. Gaya-gaya kampanye yang mengedepankan simbol hampir dipastikan sekadar sebagai unjuk kekuatan belaka, tapi minus efek elektoral.

Karena itu, seberapa besar warga Muhammadiyah memberikan dukungan kepada pasangan capres-cawapres, di samping persolan branding dan karakter kandidat, tak kalah penting dan menentukan pula pendekatan kampanye dan kemampuan merasionalisasi para relawan pendukung capres dan cawapres yang menyasar ceruk massa organisasi yang didirikan oleh KH Akhmad Dahlan tersebut. Wallahu a’lam bisshawab
(rhs)



Sumber Koran Sindo 1 April 2019

Monday, January 28, 2019

Pengamat: Dukungan PBB Menambah Citra Positif Jokowi-Maruf Senin 28 Jan 2019 22:52 WIB


Pengamat: Dukungan PBB Menambah Citra Positif Jokowi-Maruf
Senin 28 Jan 2019 22:52 WIB


Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bayu Hermawan
Pengamat menilai kemungkinan dukungan PBB tidak bulat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis politik dari IndoStrategi, Arif Nurul Iman menilai dukungan Partai Bulan Bintang (PBB) terhadap pasangan capres dan cawapres Jokowi-Maruf Amin tidak akan bulat. Namun, menurutnya dukungan itu mampu mendongkrak citra pasangan capres-cawapres nomor urut 01 itu.
Menurutnya, untuk tingkat dewan pengurus pusat dan calon anggota legislatif, kemungkinan besar akan patuh pada keputusan mendukung Jokowi-Maruf. Namun, untuk simpatisan belum tentu tunduk pada putusan DPP PBB.
"Meski tidak solid, tapi dukungan Ini akan memberi makna positif bagi Jokowi karena akan mengurangi stigma anti-Islam," ujarnya, Senin (28/1).

Di level branding, lanjut Arif, Jokowi diuntungkan karena bisa menjadi benteng sekaligus penepis tuduhan anti Islam. "Secara elektoral tak begitu signifikan nambah dukungan, hanya secara branding bisa mengikis stigma Jokowi anti-Islam," katanya.
Sebelumnya, keputusan PBB untuk mendukung Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019 diambil dari rapat pleno yang  dilakukan pada 19 Januari 2019 lalu. Ketum PBB Yusril Izha Mahendra mengatakan keputusan tersebut sudah sah dan demokratis.


Tuesday, January 22, 2019

Pengamat: Survei Median Harus Jadi Peringatan


Selasa 22 Jan 2019
Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani



Paslon capres-cawapres Jokowi-Ma'ruf melaksanakan shalat maghrib berjamaah di Kompleks Istana Merdeka sebelum menuju lokasi debat.
Foto: Republika/Sapto Andika Candra

Hasil survei Median menunjukkan selisih elektabilitas dua paslon menipis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei lembaga riset Median menunjukkan perbedaan elektabilitas antara Joko Widodo-Mak'uf Amin dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uni makin menipis sekitar 9 persen. Analis politik IndoStrategi Arif Nurul Imam menilai hal ini tak bisa dipandang sebelah mata.

“Hasil survei ini tak bisa dipandang remeh, setidaknya sebagai data pembanding dari hasil survei lembaga lain yang gap perolehan suaranya masih berkisar belasan persen,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (21/1).

Arif memandang, hasil survei tersebut setidaknya memberi potret lain yang bisa menjadi bahan evaluasi kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bagi pasangan pejawat Jokowi-Ma'ruf, menurut Arif, hasil survei ini menjadi peringatan dini supaya lebih giat dan mesti membuat strategi politik yang lebih jitu lagi.

"Bagi kubu Prabowo-Sandi hasil survei ini merupakan kemajuan yang mesti ditingkatkan dalam melakukan kerja-kerja politik," ujarnya.

Sampai dengan saat ini, menurut Arif, dinamika elektabilitas kedua paslon akan terus bergerak dengan berbagai variabel politik. "Massa mengambang dan pemilih yang belum menentukan pilihan merupakan salah satu penentu variabel politik siapa yang akan menang dalam kontestasi pilpres,” ucapnya.

Dari survei terbaru Median diketahui, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf kini sebesar 47,9 persen dan Prabowo-Sandiaga 38,7 persen. Sehingga, menurut Rico, perbedaan elektabilitas keduanya menjadi 9,2 persen."Selisih elektabilitas kian menipis. Suara pasangan Jokowi-Ma'ruf relatif terlihat stagnan, sedangan Prabowo-Sandiaga tumbuh namun relatif lambat," kata Direktur Eksekutif Median Rico Marbun di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (21/1).
Su
mber republikaonnline https://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/19/01/21/plor31409-pengamat-survei-median-harus-jadi-peringatan-jokowimaruf

Saturday, January 19, 2019

Catatan bagi Jokowi dan Prabowo untuk Debat Pertama Pilpres 2019

Catatan bagi Jokowi dan Prabowo untuk Debat Pertama Pilpres 2019

 ARIF NURUL IMAM Kompas.com - 17/01/2019, 17:11 WIB Dua pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menghadiri deklarasi kampanye damai di Lapangan Silang Monas,

 (KOMPAS.com/ABBA GABRILIN) 

DEBAT pertama Pemilihan Presiden (Pilrpres) 2019 akan segera digelar petang ini, Kamis (17/1/2019). Tema yang diangkat adalah penegakan hukum, terorisme, dan HAM. Sejumlah televisi nasional akan menyiarkannya secara langsung.

 Ada sejumlah catatan untuk para kandidat di luar substansi materi, bila debat diharapkan memberi manfaat optimal. Lagi pula, debat tak cuma terkait kepentingan elektoral.  Debat merupakan rangkaian kegiatan pilpres yang bukan hanya bersifat ritual untuk memenuhi aturan prosedural UU Pemilu, melainkan juga sangat penting untuk menguji kapasitas dan ketajaman visi-misi masing-masing kandidat dalam memroyeksikan Indonesia ke depan. 
Lebih dari itu, debat merupakan ajang pendidikan politik agar pemilih memahami apa saja visi-misi, program kerja, dan strategi yang akan digunakan untuk mencapai semua cita-cita mulianya. Di lain pihak, kegiatan ini juga memiliki fungsi elektoral bagi masing-masing kandidat, untuk meyakinkan pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters). Baca juga: JEO-Menuju Debat Perdana Pilpres 2019: HAM-Korupsi-Terorisme Artinya, debat pilpres merupakan acara yang ditunggu-tunggu oleh publik, terutama para pemilih rasional yang sebagian hingga kini masih belum menentukan sikap politiknya atau masih ragu-ragu. Bukan cuma panggung di depan pendukung Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi setiap pasangan capres dan cawapres menyiapkan debat ini secara sungguh-sungguh agar dapat memaparkan apa yang menjadi komitmen dan visi-misinya secara gamblang, terukur, mudah dicerna, dan tidak sekadar memberi harapan kosong. Panggung debat yang disaksikan oleh semua kalangan—baik pendukung, pendukung lawan, maupun pemilih yang belum menentukan pilihan—sudah pasti berbeda dengan panggung yang hanya disaksikan oleh para pendukung atau simpatisan yang cenderung akan memberi tepuk-tangan pada capres-cawapres yang didukung meski belum tentu benar atau valid. Di panggung yang khusus diperuntukkan bagi pendukung atau simpatisan, wajar bila reaksinya begitu. Karena, ya mereka adalah pendukung, loyalis, atau simpatisan yang dalam bahasa gaul kerap disebut “tim hore”. Pemahaman mengenai panggung debat kali ini merupakan syarat mutlak bagi pasangan nomor urut 01 Joko Widodo ( Jokowi)- Ma'ruf Amin dan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno. Tujuannya, debat yang diperagakan bisa menjadi “alat ungkit elektoral” di satu sisi sekaligus menjadi pelajaran dalam pendidikan politik bagi publik. Baca juga: Ini Rute Khusus yang Dilalui Capres dan Cawapres Menuju Lokasi Debat Pertama Pasangan calon Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai capres dan cawapres petahana sesungguhnya memiliki bahan debat yang jauh lebih memadai. Mereka tinggal menyampaikan kerja yang telah dilakukan. Meski begitu, ada juga janji kampanye yang belum bisa dituntaskan sehingga itu berpotensi menjadi kartu mati dalam debat. Misalnya, perihal penuntasan kasus HAM yang hingga saat ini belum jelas jluntrungan-nya. Selain itu, di sisi lain lagi, yang harus dibenahi oleh Jokowi adalah pilihan kosa kata yang mesti mudah dipahami publik dan kenyambungan antara tema dengan apa yang disampaikan. Jika melihat retorika Jokowi selama ini, soal penyampain ke publik cenderung patah-patah dan kurang nyambung. Kendati bagi pendukungnya tidak penting, janji kampanye yang belum dipenuhi ini berpotensi jadi bahan "menyerang" oleh Prabowo-Sandi. Tidak ada pilihan bagi Jokowi-Ma'ruf Amin selain memberikan penjelasan mengapa ada janji belum terealisasi, berikut hambatan yang dihadapi dan sejauh mana prosesnya. Baca juga: Massa Pendukung Diminta Tak Saling Ejek Saat Debat Pilpres Hindari jawaban berkelit karena akan menimbulkan persepsi publik—terutama swing voters—sebagai lari dari tanggung jawab. Jika bisa menjelaskan persoalan, selagi logis dan masuk akal, kemungkinan pemilih yang belum menentukan pilihan akan bisa memaklumi dan boleh jadi akan mengapresiasi dengan memberi dukungan di kotak suara pada 17 April 2019. Sementara itu, pasangan calon Prabowo-Sandi sebagai penantang petahana memang hanya bisa menjual harapan sekaligus melakukan koreksi terhadap kinerja Jokowi selama menjabat. Gaya bicara Prabowo yang kerap berapi-api di satu sisi positif jika berdiri di panggung satu arah. Namun, gaya semacam itu tidak cocok untuk panggung debat. Karenanya, gaya bicara Prabowo perlu disesuaikan dengan format debat, yaitu berupa pemaparan dan bukan orasi. Pemaparan cenderung menjelaskan dengan runtut, logis, dan masuk akal, sementara orasi kadang lebih banyak sekadar membangunkan semangat sehingga tak jarang bombastis. Baca juga: Ini Prediksi Gagasan 2 Kandidat soal Isu Terorisme dalam Debat Pertama Persoalan subtansi, Prabowo-Sandi tentu sebagai penantang hanya bisa menawarkan alternatif kebijakan dan langkah-langkah strategis yang harus ditempuh. Di luar itu, kinerja Jokowi yang dari beberapa sisi masih belum optimal bisa menjadi amunisi untuk meyakinkan pemilih bahwa Prabowo-Sandi patut menjadi harapan baru kepemimpinan nasional kedepan. Bisa jadi panduan Peta kasar masing-masing pasangan calon dalam debat nanti setidaknya bisa menjadi panduan kita dalam menyaksikan debat. Debat yang secara demokratis memberi kontribusi bagi penguatan kualitas demokrasi sekaligus menjadi medium bagi setiap capres-cawapres mengeruk dukungan elektoral. Tak ada tokoh politik yang memiliki kesempurnaan. Karena itu, debat merupakan "ajang menguliti" setiap pasangan calon kandidat agar publik mengetahui kelebihan dan kelemahan masing-masing paslon. Baca juga: Mengintip Panggung Debat Pertama Pilpres Sebagai ajang kampanye dan pendidikan politik, forum semacam ini tentu dalam rangka usaha bersama mendapatkan pemimpin terbaik, yang mampu membawa kapal besar Indonesia mewujudkan mimpi dan cita-cita founding father. 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Catatan bagi Jokowi dan Prabowo untuk Debat Pertama Pilpres 2019", https://nasional.kompas.com/read/2019/01/17/17111221/catatan-bagi-jokowi-dan-prabowo-untuk-debat-pertama-pilpres-2019?page=all

Editor : Palupi Annisa Auliani