Pemilu Berkualitas dan Legitimasi
Pemerintahan Hasil Pemilu
Oleh
: Arif Nurul Imam
Meski ada riak-riak dan beragam kekurangan pemilu serentak, tapi satu
hal yang patut kita syukuri dalam pesta demokrasi pada 17 April 2019 kemarin secara
umum dalam pelaksanaan dapat berjalan lancar dan aman. Dengan kompleksitas
pemilihan yang begitu rumit, menggelar pemilu dengan melibatkan 190 juta
pemilih dan medan geografis yang begitu luas tentu bukan pekerjaan mudah.
Sebagai pengalaman pertama dalam melaksanakan pemilu serentak, sudah pasti
memiliki beragam implikasi yang kadang diluar prediksi sebelumnya.
Umpama saja, keterlambatan logistik karena medan geografis yang sulit
dijangkau, bencana alam, hingga persoalan beragam celah regulasi yang potensi bisa
sebagai pintu masuk melakukan praktik kecurangan.
Meski demikian, kita sebagai bangsa mesti bertekad mewujudkan pemilu
berkualitas. Karena pemilu perkualitas merupakan prasyarat mutlak, agar
menghasilkan pemerintahan yang memiliki bobot dan legitimasi politik yang kuat.
Pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat pada gilirannnya akan memiliki kepercayaan diri dalam mengambil
kebijakan-kebijakan publik karena memeroleh kepercayaan yang kuat dari rakyat.
Kerumitan Pemilu
Serentak
Pemilu serentak ini yang tak bisa
dihindari adalah perihal kerumitan teknis dalam pelaksanaan. Beragam kerumitan
yang dihadapi penyelenggara pemilu disebabkan oleh beragam faktor. Setidaknya
ada beberapa faktor mengapa di sebut pemilu paling rumit.
Pertama, kerumitan distribusi logistik surat suara dan kotak suara.
Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 dan kondisi geografis yang belum semua
memiliki jalur transportasi memadai, maka distribusi logistik dan kotak suara
di beberapa daerah mengalami keterlambatan. KPU mengumumkan hasil pelaksanaan pemungutan dan penghitungan
suara Pemilu 2019 tercatat sebanyak 2.249 TPS tidak dapat melaksanakan
pemungutan suara pada 17 April 2019 karena keterlambatan logistik dan sebagian kecil
karena bencana alam(Detik.com,18/4/2019).
Kedua, sumber daya manusia yang kurang memadai. Syarat
pendidikan minimal SMA/SMK sesuai edaran KPU RI tentu bagi daerah terpencil
menjadi persolaan dalam merekrut petugas Pemilu. Di daerah yang tingkat
pendidikan masih rendah syarat pendidikan itu menjadi kendala. Karena itu, agar
terpenuhi petugas pemilu, di beri kelonggaran dengan syarat boleh tidak
berijazah SMA dengan membuat surat pernyataan minimal bisa keahlian baca tulis
dan memiliki pengalaman sebelumnya (TribunKayongUtara.com,
13/11/2018).
Ketiga, kertas suara yang dicoblos terlalu banyak. Dengan lima kartu
suara yang mesti dicoblos, praktis secara teknis pelaksanaannnya makin rumit. Pandangan
demikian tentu masuk akal karena pesta demokrasi ini secara bersamaan mesti
memilih calon presiden(capres) - calon wakil presiden(cawapres), calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah(DPD), dan calon anggota legislatif(caleg) di semua
tingkatan: pusat, provinsi, dan kabupaten Pemilu/kota, kecuali DKI Jakarta
minus caleg kabupaten/kota.
Di kalangan anak muda dan terpelajar; banyaknya jumlah kertas suara yang
mesti dicoblos bukan menjadi masalah. Namun dikalangan manula hal ini menjadi
masalah karena faktor usia. Ini menjadi salah satu kendala dalam gelaran pemilu
serentak yang bisa jadi menyebabkan salah coblos atau suara gugur.
Evaluasi Pemilu
Serentak
Sebagai
pengalaman pertama dalam pelaksanaan pemilu serentak tentu menyisakan sejumlah
persoalan. Setidaknya, ada beberapa catatan kritis atas pelaksanaan perhelatan
demokrasi 17 April kemarin. Ada tiga permasalahan yang kedepan harus menjadi
perhatian serius.
Pertama,
proses pelaksanaan pemungutan suara membutuhkan durasi waktu terlalu panjang.
Dengan lima kartu suara yang mesti dicoblos, sejak proses pendaftaran,
pemungutan suara, penghitungan, hingga rekapitulasi membutuhkan waktu paling
sedikit 24 jam, bahkan ada TPS yang baru selesai hingga 36 jam. Artinya,
petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara(KPPS),
pengawas, dan aparat keamanan harus
bekerja melebihi kemampuan tubuh manusia mengikuti proses pemungutan suara
hingga usai.
Jam
kerja panjang dan tanpa jeda ini pada gilirannya berdampak terhadap menurunnya
daya tahan tubuh, selain hilangnya
konsentrasi para petugas pemungutan suara, pengawas, serta aparat
keamanan. Akibatnya, karena faktor kelelahan sehingga ada banyak yang kemudian
diduga memicu sakit, stres, bahkan meninggal dunia.
Hingga
risalah ini ditulis, setidaknya terdapat 469 petugas KPPS yang gugur serta sebanyak 4.602 menderita
sakit. Sementara dari
unsur Bawaslu, ada 33 anggota
pengawas pemilu gugur saat bertugas. Di samping itu, sejumlah anggota panwas
lain jatuh sakit dan mengalami kecelakaan. Sedang dari unsur aparat keamanan,
sebanyak 18 anggota Polri gugur saat bertugas mengawal logistik dan menjaga keamanan
Pemilu.
Kedua,
pemilu serentak juga berdampak terhadap kesenjangan diskursus publik. Dikatakan
demikian karena Pemilihan Presiden(Pilpres) lebih menjadi sorotan dan dominan
jadi diskursus publik. Akibatnya, diskursus publik mengenai Pemilihan
Legeslatif(Pileg) seolah-olah hilang dan tenggelam oleh diskursus atau isu-isu
Pilpres.
Kondisi
ini terjadi hampir di semua kalangan, tidak hanya di elit politik dan kelas
menengah, melainkan hingga masyarakat kecil. Mayoritas publik lebih fokus dan
tertarik membicarakan Pilpres, sementara Pileg hampir jarang di jadikan topik
perbincangan politik. Fenomena ini sangat terlihat jika kita simak tema-tema
perbincangan politik secara dominan lebih menyoroti Pilpres sehingga tanpa
disadari menihilkan hajatan Pileg.
Padahal,
secara faktual pemilu serentak merupakan pemilu yang tidak hanya memilih calon
presiden dan wakil presiden, tapi juga memilih caleg DPR RI, caleg DPR
Provinsi, caleg DPRD Kabupaten/Kota dan calon anggota DPD RI.
Memberikan dukungan
kepada calon anggota legeslatif merupakan bentuk semacam menitipkan mandat,
bukan sekadar memberi cek kosong. Itu sebabnya, sebelum menitipkan mandat,
seharusnya pemilih harus paham profil sosok yang layak mewakili misalnya,
perihal rekam jejak, visi-misi, dan tawaran program kerja.
Ketiga, kurang
profesionalnya secara teknis dalam pelaksanaan sehingga menimbulkan kesan
semrawut. Persoalan teknis seperti pelaksanan pemungutan suara ditunda karena
kekurangan logistik akibat keterlambatan pengiriman, kartu suara sudah
tercoblos seperti yang terjadi di Selangor Malaysia, dan salah input data
berdampak menurunnya kepercayaan publik
dan para kontestan pemilu terhadap penyelenggara pemilu.
Di level kontestan
parpol dan caleg, misalnya terjadi pembakaran kotak suara oleh caleg seperti di
Jambi dan tuntutan digelar pemungutan suara ulang terjadi di beberapa daerah
seperti di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara lantaran mereka menilai terjadi
kecurangan(SindoNews 23/4/2019).
Meski hanya
permasalahan teknis, namun persolaan demikian tak boleh diabaikan dan perlu
menjadi perhatian secara serius. Hal ini karena, meski tidak ada niat atau
itikad melakukan kecurangan, namun kesemrawutan dan permasalahan teknis
demikian bisa menurunkan kepercayaan publik kepada penyelenggara Pemilu.
Sebab, apabila
kepercayaan publik terhadap integritas pemilu sudah pudar, kondisi yang terjadi
tentu saja kegaduhan politik, baik di level vertikal maupun horizontal. (Arif Nurul
Imam, Koran Sindo, 25/4/2019).
Keempat, maraknya praktik politik
uang. Dugaan praktik politik uang masih marak
terjadi pada pemilu 2019 juga sulit dibantah ketika beberapa temuan menyebutkan
modus politik uang digunakan sebagai cara meraih dukungan.
Tertangkapnya oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi(KPK) politisi Partai Golkar Bowo
Sidik Pangarso yang menyiapkan uang miliaran dalam puluhan ribu amplop
disinyalir digunakan untuk serangan fajar Pemilu 2019 juga menunjukkan praktik
politik uang dianggap lazim digunakan sebagai cara meraih kekuasaan(Tempo.co, 28/03/2019).
Bawaslu menyebutkan
bahwa selama masa tenang, pengawas pemilu (panwas) sudah menangkap tangan 25
kasus politik uang di 13 provinsi di Indonesia, dengan temuan uang terbanyak
didapat di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, yakni sebesar
Rp 190 juta(Kompas.com, 16/04/2019).
Mengingat ini merupakan pengalaman
pemilu serentak pertama dan melibatkan pemilih yang begitu besar, tentu kita
memaklumi kekurangan pelaksanaan secara teknis tersebut. Tentu memaklumi dalam
arti sepanjang kekurangan pelaksanaan teknis tersebut tidak menjadi celah untuk
menabrak prinsip terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.
Pemilu Berkualitas
Pemilu
merupakan mekanisme demokrasi untuk melakukan sirkulasi dan rotasi
kepemimpinan. Karena itu, salah satu syarat
pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilu yang jujur dan adil (free and fair elections).
Menurut
Ramlan Surbakti, Pemilu demokratis yang diadopsi Indonesia pada dasarnya
jabaran Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang kemudian diuraikan
dalam berbagai HAM, seperti Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik. Inter Parliament Union (IPU) pada September 1994
merinci pengertian pemilu yang bebas dan adil itu dalam Deklarasi tentang
Kriteria Pemilu Bebas dan Adil(Kompas,14/02/2014).
Terdapat banyak kriteria yang bisa digunakan untuk mengukur pemilu
berkualitas. Misalnya, pasal
22E Ayat (1) UUD 1945 menentukan enam ukuran pemilu demokratis:langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Berbagai UU Pemilu kemudian menambah dua kriteria lagi: transparan dan akuntabel. Merujuk pasal UUD 1945 tersebut, paling tidak bisa menjadi
pedoman dalam menilai sejauhmana kualitas pelaksanaan pemilu serentak 17 April
2019.
Integritas
merupakan komitmen untuk melaksanakan kompetisi politik secara fair dalam
mematuhi aturan pemilu. Penyelenggara dan pengawas pemilu dapat dikategorikan
bertindak independen jika menyelenggarakan pemilu semata-mata berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kode etik penyelenggara pemilu. Karena itu,
misalnya mereka dilarang keras memberikan privilise serta
kemudahan kepada salah satu kontestan sehingga mencederai independensinya.
Sementara,
kontestan harus memiliki komitmen untuk tidak menggunakan celah atau kelemahan
dari sistem untuk mendapatkan kemenangan dengan curang. Absennya integritas,
khususnya penyelenggara, pengawas dan kontestan niscaya mereka akan menjadi
pintu masuk untuk memeroleh kemenangan dengan cara-cara yang menabrak prinsip
pemilu berintegritas.
Nah,
kelemahan sistem inilah yang kemudian yang menjadi domain dan tanggung jawab
masyarakat sipil untuk melakukan kontrol publik, agar kelemahan sistem yang
bisa menjadi celah melakukan kecurangan dapat ditutup rapat. Peran masyarakat
sipil seperti, media, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan intelektual aktivis
adalah menjaga iklim kompetisi tetap kondusif sehingga menutup secara rapat
kelemahan yang ada dalam sistem pemilu agar potensi kecurangan bisa
diminimalisir.
Peran-peran
dalam memberikan pendidikan politik agar masyarakat kritis dan terlibat aktif
dalam mengontrol pemilu berjalan jurdil misalnya, adalah salah satu agenda yang
dapat dilakukan. Dengan demikian, penyelenggara pemilu, pengawas dan kontestan
akan bertindak dengan kehati-hatian, tidak ceroboh dan tak sembrono sehingga pada gilirannya akan taat pada perangkat hukum
karena mereka merasa diawasi oleh publik(Arif
Nurul Imam, KawalDemokrasi.com, 10/05/2019).
Pemilu berkualitas selain menjalankan mandat Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, juga diharapkan dapat membangun budaya
politik demokratis. Hanya dengan pemilu berintegritas, demokrasi dapat kian
dipercaya warga sebagai sistem dan proses politik yang lebih baik dibandingkan
dengan sistem politik lain. Pemilu berkualitas menyandarkan pada integritas dan
kontrol publik yang kuat.
Legitimasi
Pemerintahan Hasil Pemilu
Pemerintahan yang efektif mensyaratkan memiliki legitimasi politik yang
kuat. Legitimasi kuat di peroleh dari pelaksanaan Pemilu berkualitas. Karena
itu, sejauhmana kualitas Pemilu akan menentukan derajat legitimasi politik
pemerintahan hasil pemilu.
Dugaan atau tuduhan penyelenggara Pemilu melakukan kecurangan menyeruak
belakangan, terutama dari pendukung capres-cawapres yang dinyatakan kalah. Hal
ini tentu langsung atau tidak, berdampak terhadap legitimasi hasil pemilu.
Meski demikian, tuduhan atau dugaan demikian tidak bisa menjadi parameter
sejauhmana kualitas pemilu sebelum ada bukti-bukti yang meyakinkan dan di uji
oleh Mahkamah Konstitusi.
Era
post-truth yang menjadi fenomena global nampaknya juga berpengaruh di jagat
politik elektoral Indonesia. Post-truth didefinisikan sebagai kondisi ketika
fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan
keyakinan personal. Era post-truth dikarakterisasi oleh situasi saat
objektivitas dan rasionalitas beralih pada emosi. Publik cenderung mengikuti
dorongan emosinya dan preferensi keyakinannya sendiri bahkan saat fakta
menunjukkan sebaliknya(Lilorente 2017).
Post-truth
juga marak mewarnai dalam dinamika politik Pemilu 2019. Pada masa kampanye, dan
pasca Pemilu, propaganda destruktif: saling nyinyir,
saling memfitnah, dan saling fitnah yang bertujuan untuk mendekonstruksi lawan
demi meraih keuntungan politik.
Propaganda destruktif ini makin tereskalasi lantaran terfasilitasi kecanggihan
teknologi yang disebar melalui berbagai aplikasi sosial media secara massif.
Apalagi
menurut Filsuf empiris asal Inggris, John Stuart Mill (1806-1973), mengatakan, orang
mudah percaya pada informasi yang belum tentu benar, bahkan terkadang tidak
bisa membedakan mana yang benar mana yang salah. Agar tidak terjebak, perlunya bersikap
rasional, bukan emosi semata.
Kondisi semacam ini pada gilirannya akan berpengaruh terhadap
kepercayaan publik atas hasil pemilu.
Meski pemilu bisa dikatakan lancar dan berjalan demokratis, tapi boleh
jadi akan berdampak terhadap ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu
yang berujung terhadap ketidakpercayaan atas hasil pemenang pemilu. Akibat dari
itu, pemerintahan hasil pemilu dianggap tidak kredibel dan legitimete.
Filosof Frans Magnis Suseno membuat
semacam patokan soal legitimasi negara
bahwa, setidaknya negara harus memiliki pengakuan masyarakat. Pengakuan
masyarakat terhadap hukum dan untuk menjamin keberlakuan hakikat negara. Negara
berkuasa karena masyarakat mengakui kewenangannya. Itu sebabnya, kestabilan negara
tergantung dari pengakuan wewenang oleh masyarakat. Pendek kata, minimnya
pengakuan masyarakat, maka berimplikasi atas legitimasi akan luntur atau sirna(Frans Magnis Suseno, 1987).
Padahal
merujuk pendapat empu filsafat tersebut, pemerintahan yang legitimite mesti memiliki dukungan masyarakat secara luas. Pengakuan masyarakat terhadap hasil Pemilu,
oleh sebab itu, menjadi penting dan menentukan terhadap bobot dan legitimasi
pemerintahan. Makin tinggi pengakuan masyarakat terhadap hasil pemilu maka
secara pararel legitimasi pemerintahan juga makin tinggi. Begitu pula sebaliknya,
makin rendah kepercayaan terhadap hasil Pemilu juga berimplikasi makin
menurunnya legitimasi pemerintahan hasil Pemilu.
Rekonsiliasi Pasca Pemilu
Dengan tingkat partisipasi pemilih yang mencapai 80 persen dalam Pemilu
serentak 2019, sesungguhnya capain yang
bisa dikatakan berhasil. Antusiasme tersebut menunjukkan partisipasi masyarakat
dalam berdemokrasi makin tinggi. Karena
itu, polarisasi politik perlu dicegah, bukan saja untuk kembali merekatkan
persatuan, melainkan juga untuk memperkuat bobot dan legitimasi pemerintahan
hasil pemilu.
Polarisasi
politik akibat Pemilu serentak bukan isapan jempol. Secara faktual, polarisasi politik yang tajam merupakan
realitas empiris yang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ambang batas suara
pencalonan capres-cawapres 20 persen
sehingga menyulitkan figur alternatif muncul.
Kedua,
polarisasi tajam dalam pemilu serentak 2019 juga karena merupakan “duel ulang”
sebagaimana Pilpres 2014. Itu sebabnya, untuk mencegah polarisasi tajam dalam pilpres yang
akan datang, perlu didorong perubahan UU Pemilu, dengan menurunkan ambang batas
suara pencalonan capres-cawapres, misalnya dikisaran 5-15 persen sehingga
memungkinkan muncul banyak pasangan capres-cawapres.
Publik
tahu, pembilahan blok politik antara pendukung petahana Joko Widodo-Makruf Amin
versus Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak hanya terjadi di level elit politik,
melainkan merembet hingga masyarakat grassroot. Bahkan yang lebih menyedihkan, polarisasi
politik tersebut berdampak pada merenggangnya kohesi sosial yang merongrong
persatuan.
Kondisi
semacam ini, pada gilirannnya bukan hanya mengancam disintegrasi bangsa dan
potensi konflik horizontal, melainkan juga legitimasi pemerintahan hasil
pemilu. Situasi demikian, tentu menjadi keprihatinan bersama. Pertarungan
politik yang sesungguhnya telah usai namun menyisakan bibit perpecahan dan
menurunkan legitimasi pemerintahan terpilih. Bahkan segaimana kita ketahui,
pasca pengumuman hasil Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum(KPU) terjadi unjuk
rasa yang berujung kerusuhan dan menelan delapan korban jiwa tewas dan rusaknya
fasilitas publik(Suara.com, 23/05/2019).
Karena
itu mesti ada langkah-langkah konkret, antara lain, dengan melakukan
rekonsiliasi pasca pemilu. Rekonsiliasi ini penting mengingat kemenangan
Jokowi-Makruf Amin bisa dikatakan tidak mutlak, selain lantaran sengitnya
kontestasi dalam Pemilu serentak kemarin yang berujung demontrasi memprotes
hasil Pemilu dan menimbulkan kerusuhan.
Lantas
bagaimana dan siapa yang bisa memulai?. Setidaknya ada cara yang bisa
dilakukan. Pertama, power sharing yang dilontarkan oleh beberapa tokoh bisa
menjadi alternatif untuk mendorong rekonsiliasi. Dengan adanya power
sharing parpol
non pendukung yang menang dalam Pemilihan Presiden maka, semua ikut
berkontribusi dalam membangun bangsa. Meski demikian, mesti ada parpol yang
berada diluar pemerintah sebagai kekuatan koreksi di parlemen agar mekanisme check and
balance tetap
bekerja.
Kedua,
kekuatan masyarakat sipil untuk mendorong rekonsiliasi. Masyarakat sipil
terutama yang memiliki basis massa mempunyai potensi untuk mendorong
rekonsiliasi. Perannya tentu tidak sekadar menjadi mediator dikalangan elit
yang sedang “bersitegang” dalam kontestasi politik, melainkan juga melakukan
rekonsiliasi di akar rumput.
Masyarakat
sipil, terutama organisasi kemasyarakatan(ormas) berbasis massa seperti
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama bisa mendorong percepatan proses rekonsiliasi.
Selain memiliki perangkatnya, kedua ormas tersebut juga memiliki basis massa
yang jelas di akar rumput. Sebagai ormas yang ikut mendirikan bangsa, kedua
ormas tersebut tentu memiliki tanggung jawab moral di tengah situasi bangsa
yang sedang menghadapi persoalan.
Paling
tidak dengan dua cara tersebut bisa meredam polarisasi politik yang makin
menganga. Meski demikian, perlu diingat kesadaran dan kedewasaan elit politik
juga tidak kalah penting dalam agenda rekonsiliasi. Politisi mesti berpikir
tidak hanya kepentingan pribadi atau golongan melainkan harus berpikir
bagaimana persatuan menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Jika
ini terlaksana maka besar harapan legitimasi pemerintahan pasca pemilu tetap
kuat karena didukung masyarakat luas. Pemilu serentak kali ini memang merupakan
pengalaman pertama sehingga memberikan banyak pelajaran.
Terlepas
berbagai kekurangan dalam pelaksanaan, namun pemerintahan hasil pemilu serentak
mesti memiliki legitimasi politik yang kuat. Karena dengan legitimasi politik
yang kuat, pemerintahan akan bekerja lebih efektif, convident,
terarah dan diharapkan hanya
berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Mari kita lihat dan uji
dalam prosesnya.
Referensi
Magnis Suseno, Frans, “Etika Politik,
Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern”, Gramedia, Jakarta, 1987.
Pahlevi,
Indra “Sistem Pemilu di Indonesia Antara
Proporsional dan Mayoritarian” , Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan
Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika, Jakarta, 2015.
Henry
J.Schmandt, Filsafat Politik-Kajian
Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2009.
Schulte,
Nordholt, H, Decentralization and
Democracy in Indonesia, Strengthening citizenship or regional elites? In
R.Robinson(Ed.), Political handbook of Southeast Asia, London: Routledge 2011.
https://www.suara.com/news/2019/05/23/173001/daftar-nama-8-korban-meninggal-kerusuhan-22-mei-jakarta

0 komentar:
Post a Comment