Friday, August 30, 2019

Pemilu Berkualitas dan Legitimasi Pemerintahan Hasil Pemilu(Jurnal Dialog Kebijakan Publik-Edisi 29)


Pemilu Berkualitas dan Legitimasi Pemerintahan Hasil Pemilu
Oleh : Arif Nurul Imam
(Analis Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting)

Meski ada riak-riak dan beragam kekurangan pemilu serentak, tapi satu hal yang patut kita syukuri dalam pesta demokrasi pada 17 April 2019 kemarin secara umum dalam pelaksanaan dapat berjalan lancar dan aman. Dengan kompleksitas pemilihan yang begitu rumit, menggelar pemilu dengan melibatkan 190 juta pemilih dan medan geografis yang begitu luas tentu bukan pekerjaan mudah.

Sebagai pengalaman pertama dalam melaksanakan pemilu serentak,  sudah pasti  memiliki beragam implikasi yang kadang diluar prediksi sebelumnya. Umpama saja, keterlambatan logistik karena medan geografis yang sulit dijangkau, bencana alam, hingga persoalan beragam celah regulasi yang potensi bisa sebagai pintu masuk melakukan praktik kecurangan.

Meski demikian, kita sebagai bangsa mesti bertekad mewujudkan pemilu berkualitas. Karena pemilu perkualitas merupakan prasyarat mutlak, agar menghasilkan pemerintahan yang memiliki bobot dan legitimasi politik yang kuat. Pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat pada gilirannnya akan memiliki  kepercayaan diri dalam mengambil kebijakan-kebijakan publik karena memeroleh kepercayaan yang kuat dari rakyat.


Kerumitan Pemilu Serentak

Pemilu serentak ini yang tak  bisa dihindari adalah perihal kerumitan teknis dalam pelaksanaan. Beragam kerumitan yang dihadapi penyelenggara pemilu disebabkan oleh beragam faktor. Setidaknya ada beberapa faktor mengapa di sebut pemilu paling rumit.

Pertama, kerumitan distribusi logistik surat suara dan kotak suara. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 dan kondisi geografis yang belum semua memiliki jalur transportasi memadai, maka distribusi logistik dan kotak suara di beberapa daerah mengalami keterlambatan. KPU mengumumkan hasil pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2019 tercatat sebanyak 2.249 TPS tidak dapat melaksanakan pemungutan suara pada 17 April 2019 karena keterlambatan logistik dan sebagian kecil karena bencana alam(Detik.com,18/4/2019).

Kedua, sumber daya manusia yang kurang memadai. Syarat pendidikan minimal SMA/SMK sesuai edaran KPU RI tentu bagi daerah terpencil menjadi persolaan dalam merekrut petugas Pemilu. Di daerah yang tingkat pendidikan masih rendah syarat pendidikan itu menjadi kendala. Karena itu, agar terpenuhi petugas pemilu, di beri kelonggaran dengan syarat boleh tidak berijazah SMA dengan membuat surat pernyataan minimal bisa keahlian baca tulis dan memiliki pengalaman sebelumnya (TribunKayongUtara.com, 13/11/2018).
Ketiga, kertas suara yang dicoblos terlalu banyak. Dengan lima kartu suara yang mesti dicoblos, praktis secara teknis pelaksanaannnya makin rumit. Pandangan demikian tentu masuk akal karena pesta demokrasi ini secara bersamaan mesti memilih calon presiden(capres) - calon wakil presiden(cawapres), calon anggota Dewan Perwakilan Daerah(DPD), dan calon anggota legislatif(caleg) di semua tingkatan: pusat, provinsi, dan kabupaten Pemilu/kota, kecuali DKI Jakarta minus caleg kabupaten/kota.

Di kalangan anak muda dan terpelajar; banyaknya jumlah kertas suara yang mesti dicoblos bukan menjadi masalah. Namun dikalangan manula hal ini menjadi masalah karena faktor usia. Ini menjadi salah satu kendala dalam gelaran pemilu serentak yang bisa jadi menyebabkan salah coblos atau suara gugur.

Evaluasi Pemilu Serentak

Sebagai pengalaman pertama dalam pelaksanaan pemilu serentak tentu menyisakan sejumlah persoalan. Setidaknya, ada beberapa catatan kritis atas pelaksanaan perhelatan demokrasi 17 April kemarin. Ada tiga permasalahan yang kedepan harus menjadi perhatian serius.

Pertama, proses pelaksanaan pemungutan suara membutuhkan durasi waktu terlalu panjang. Dengan lima kartu suara yang mesti dicoblos, sejak proses pendaftaran, pemungutan suara, penghitungan, hingga rekapitulasi membutuhkan waktu paling sedikit 24 jam, bahkan ada TPS yang baru selesai hingga 36 jam. Artinya, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara(KPPS), pengawas, dan aparat keamanan harus bekerja melebihi kemampuan tubuh manusia mengikuti proses pemungutan suara hingga usai.

Jam kerja panjang dan tanpa jeda ini pada gilirannya berdampak terhadap menurunnya daya tahan tubuh, selain hilangnya  konsentrasi para petugas pemungutan suara, pengawas, serta aparat keamanan. Akibatnya, karena faktor kelelahan sehingga ada banyak yang kemudian diduga memicu sakit, stres, bahkan meninggal dunia.

Hingga risalah ini ditulis,  setidaknya terdapat 469 petugas KPPS yang gugur serta sebanyak 4.602 menderita sakit. Sementara dari unsur Bawaslu, ada 33 anggota pengawas pemilu gugur saat bertugas. Di samping itu, sejumlah anggota panwas lain jatuh sakit dan mengalami kecelakaan. Sedang dari unsur aparat keamanan, sebanyak 18 anggota Polri gugur saat bertugas mengawal logistik dan menjaga keamanan Pemilu.
Kedua, pemilu serentak juga berdampak terhadap kesenjangan diskursus publik. Dikatakan demikian karena Pemilihan Presiden(Pilpres) lebih menjadi sorotan dan dominan jadi diskursus publik. Akibatnya, diskursus publik mengenai Pemilihan Legeslatif(Pileg) seolah-olah hilang dan tenggelam oleh diskursus atau isu-isu Pilpres.
Kondisi ini terjadi hampir di semua kalangan, tidak hanya di elit politik dan kelas menengah, melainkan hingga masyarakat kecil. Mayoritas publik lebih fokus dan tertarik membicarakan Pilpres, sementara Pileg hampir jarang di jadikan topik perbincangan politik. Fenomena ini sangat terlihat jika kita simak tema-tema perbincangan politik secara dominan lebih menyoroti Pilpres sehingga tanpa disadari menihilkan hajatan Pileg.

Padahal, secara faktual pemilu serentak merupakan pemilu yang tidak hanya memilih calon presiden dan wakil presiden, tapi juga memilih caleg DPR RI, caleg DPR Provinsi, caleg DPRD Kabupaten/Kota dan calon anggota DPD RI.

Memberikan dukungan kepada calon anggota legeslatif merupakan bentuk semacam menitipkan mandat, bukan sekadar memberi cek kosong. Itu sebabnya, sebelum menitipkan mandat, seharusnya pemilih harus paham profil sosok yang layak mewakili misalnya, perihal rekam jejak, visi-misi, dan tawaran program kerja.
Ketiga, kurang profesionalnya secara teknis dalam pelaksanaan sehingga menimbulkan kesan semrawut. Persoalan teknis seperti pelaksanan pemungutan suara ditunda karena kekurangan logistik akibat keterlambatan pengiriman, kartu suara sudah tercoblos seperti yang terjadi di Selangor Malaysia, dan salah input data berdampak menurunnya  kepercayaan publik dan para kontestan pemilu terhadap penyelenggara pemilu.
Di level kontestan parpol dan caleg, misalnya terjadi pembakaran kotak suara oleh caleg seperti di Jambi dan tuntutan digelar pemungutan suara ulang terjadi di beberapa daerah seperti di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara lantaran mereka menilai terjadi kecurangan(SindoNews 23/4/2019).
Meski hanya permasalahan teknis, namun persolaan demikian tak boleh diabaikan dan perlu menjadi perhatian secara serius. Hal ini karena, meski tidak ada niat atau itikad melakukan kecurangan, namun kesemrawutan dan permasalahan teknis demikian bisa menurunkan kepercayaan publik kepada penyelenggara Pemilu. Sebab, apabila kepercayaan publik terhadap integritas pemilu sudah pudar, kondisi yang terjadi tentu saja kegaduhan politik, baik di level vertikal maupun horizontal. (Arif Nurul Imam, Koran Sindo, 25/4/2019).
Keempat, maraknya praktik politik uang. Dugaan praktik politik uang masih marak terjadi pada pemilu 2019 juga sulit dibantah ketika beberapa temuan menyebutkan modus politik uang digunakan sebagai cara meraih dukungan.
Tertangkapnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) politisi Partai Golkar Bowo Sidik Pangarso yang menyiapkan uang miliaran dalam puluhan ribu amplop disinyalir digunakan untuk serangan fajar Pemilu 2019 juga menunjukkan praktik politik uang dianggap lazim digunakan sebagai cara meraih kekuasaan(Tempo.co, 28/03/2019).
Bawaslu menyebutkan bahwa selama masa tenang, pengawas pemilu (panwas) sudah menangkap tangan 25 kasus politik uang di 13 provinsi di Indonesia, dengan temuan uang terbanyak didapat di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, yakni sebesar Rp 190 juta(Kompas.com, 16/04/2019).
Mengingat ini merupakan pengalaman pemilu serentak pertama dan melibatkan pemilih yang begitu besar, tentu kita memaklumi kekurangan pelaksanaan secara teknis tersebut. Tentu memaklumi dalam arti sepanjang kekurangan pelaksanaan teknis tersebut tidak menjadi celah untuk menabrak prinsip terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.
Pemilu Berkualitas

Pemilu merupakan mekanisme demokrasi untuk melakukan sirkulasi dan rotasi kepemimpinan. Karena itu, salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilu yang jujur dan adil (free and fair elections).
Menurut Ramlan Surbakti, Pemilu demokratis yang diadopsi Indonesia pada dasarnya jabaran Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang kemudian diuraikan dalam berbagai HAM, seperti Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Inter Parliament Union (IPU) pada September 1994 merinci pengertian pemilu yang bebas dan adil itu dalam Deklarasi tentang Kriteria Pemilu Bebas dan Adil(Kompas,14/02/2014).

Terdapat banyak kriteria yang bisa digunakan untuk mengukur pemilu berkualitas. Misalnya, pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menentukan enam ukuran pemilu demokratis:langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Berbagai UU Pemilu kemudian menambah dua kriteria lagi: transparan dan akuntabel.  Merujuk pasal UUD 1945 tersebut, paling tidak bisa menjadi pedoman dalam menilai sejauhmana kualitas pelaksanaan pemilu serentak 17 April 2019.

Integritas merupakan komitmen untuk melaksanakan kompetisi politik secara fair dalam mematuhi aturan pemilu. Penyelenggara dan pengawas pemilu dapat dikategorikan bertindak independen jika menyelenggarakan pemilu semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kode etik penyelenggara pemilu. Karena itu, misalnya mereka dilarang keras memberikan privilise serta kemudahan kepada salah satu kontestan sehingga mencederai independensinya.
Sementara, kontestan harus memiliki komitmen untuk tidak menggunakan celah atau kelemahan dari sistem untuk mendapatkan kemenangan dengan curang. Absennya integritas, khususnya penyelenggara, pengawas dan kontestan niscaya mereka akan menjadi pintu masuk untuk memeroleh kemenangan dengan cara-cara yang menabrak prinsip pemilu berintegritas.
Nah, kelemahan sistem inilah yang kemudian yang menjadi domain dan tanggung jawab masyarakat sipil untuk melakukan kontrol publik, agar kelemahan sistem yang bisa menjadi celah melakukan kecurangan dapat ditutup rapat. Peran masyarakat sipil seperti, media, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan intelektual aktivis adalah menjaga iklim kompetisi tetap kondusif sehingga menutup secara rapat kelemahan yang ada dalam sistem pemilu agar potensi kecurangan bisa diminimalisir.
Peran-peran dalam memberikan pendidikan politik agar masyarakat kritis dan terlibat aktif dalam mengontrol pemilu berjalan jurdil misalnya, adalah salah satu agenda yang dapat dilakukan. Dengan demikian, penyelenggara pemilu, pengawas dan kontestan akan bertindak dengan kehati-hatian, tidak ceroboh dan tak sembrono sehingga pada gilirannya akan taat pada perangkat hukum karena mereka merasa diawasi oleh publik(Arif Nurul Imam, KawalDemokrasi.com, 10/05/2019).
Pemilu berkualitas selain menjalankan mandat Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, juga diharapkan dapat membangun budaya politik demokratis. Hanya dengan pemilu berintegritas, demokrasi dapat kian dipercaya warga sebagai sistem dan proses politik yang lebih baik dibandingkan dengan sistem politik lain. Pemilu berkualitas menyandarkan pada integritas dan kontrol publik yang kuat.
Legitimasi Pemerintahan Hasil Pemilu
Pemerintahan yang efektif mensyaratkan memiliki legitimasi politik yang kuat. Legitimasi kuat di peroleh dari pelaksanaan Pemilu berkualitas. Karena itu, sejauhmana kualitas Pemilu akan menentukan derajat legitimasi politik pemerintahan hasil pemilu.

Dugaan atau tuduhan penyelenggara Pemilu melakukan kecurangan menyeruak belakangan, terutama dari pendukung capres-cawapres yang dinyatakan kalah. Hal ini tentu langsung atau tidak, berdampak terhadap legitimasi hasil pemilu. Meski demikian, tuduhan atau dugaan demikian tidak bisa menjadi parameter sejauhmana kualitas pemilu sebelum ada bukti-bukti yang meyakinkan dan di uji oleh Mahkamah Konstitusi.

Era post-truth yang menjadi fenomena global nampaknya juga berpengaruh di jagat politik elektoral Indonesia. Post-truth didefinisikan sebagai kondisi ketika fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Era post-truth dikarakterisasi oleh situasi saat objektivitas dan rasionalitas beralih pada emosi. Publik cenderung mengikuti dorongan emosinya dan preferensi keyakinannya sendiri bahkan saat fakta menunjukkan sebaliknya(Lilorente 2017).
Post-truth juga marak mewarnai dalam dinamika politik Pemilu 2019. Pada masa kampanye, dan pasca Pemilu, propaganda destruktif: saling nyinyir, saling memfitnah, dan saling fitnah yang bertujuan untuk mendekonstruksi lawan demi meraih keuntungan politik. Propaganda destruktif ini makin tereskalasi lantaran terfasilitasi kecanggihan teknologi yang disebar melalui berbagai aplikasi sosial media secara massif.
Apalagi menurut Filsuf empiris asal Inggris, John Stuart Mill (1806-1973), mengatakan, orang mudah percaya pada informasi yang belum tentu benar, bahkan terkadang tidak bisa membedakan mana yang benar mana yang salah. Agar tidak terjebak, perlunya bersikap rasional, bukan emosi semata.
Kondisi semacam ini pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kepercayaan publik atas hasil pemilu.  Meski pemilu bisa dikatakan lancar dan berjalan demokratis, tapi boleh jadi akan berdampak terhadap ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu yang berujung terhadap ketidakpercayaan atas hasil pemenang pemilu. Akibat dari itu, pemerintahan hasil pemilu dianggap tidak kredibel dan legitimete.
Filosof Frans Magnis Suseno  membuat semacam patokan soal legitimasi  negara bahwa, setidaknya negara harus memiliki pengakuan masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap hukum dan untuk menjamin keberlakuan hakikat negara. Negara berkuasa karena masyarakat mengakui kewenangannya. Itu sebabnya, kestabilan negara tergantung dari pengakuan wewenang oleh masyarakat. Pendek kata, minimnya pengakuan masyarakat, maka berimplikasi atas legitimasi akan luntur atau sirna(Frans Magnis Suseno, 1987).

Padahal merujuk pendapat empu filsafat tersebut, pemerintahan yang legitimite mesti memiliki dukungan masyarakat secara luas. Pengakuan masyarakat terhadap hasil Pemilu, oleh sebab itu, menjadi penting dan menentukan terhadap bobot dan legitimasi pemerintahan. Makin tinggi pengakuan masyarakat terhadap hasil pemilu maka secara pararel legitimasi pemerintahan juga makin tinggi. Begitu pula sebaliknya, makin rendah kepercayaan terhadap hasil Pemilu juga berimplikasi makin menurunnya legitimasi pemerintahan hasil Pemilu.

Rekonsiliasi Pasca Pemilu

Dengan tingkat partisipasi pemilih yang mencapai 80 persen dalam Pemilu serentak 2019, sesungguhnya capain  yang bisa dikatakan berhasil. Antusiasme tersebut menunjukkan partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi makin  tinggi. Karena itu, polarisasi politik perlu dicegah, bukan saja untuk kembali merekatkan persatuan, melainkan juga untuk memperkuat bobot dan legitimasi pemerintahan hasil pemilu.

Polarisasi politik akibat Pemilu serentak bukan isapan jempol. Secara faktual, polarisasi politik yang tajam merupakan realitas empiris yang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ambang batas suara pencalonan capres-cawapres 20 persen  sehingga menyulitkan figur alternatif muncul.

Kedua, polarisasi tajam dalam pemilu serentak 2019 juga karena merupakan “duel ulang” sebagaimana Pilpres 2014. Itu sebabnya, untuk mencegah polarisasi tajam dalam pilpres yang akan datang, perlu didorong perubahan UU Pemilu, dengan menurunkan ambang batas suara pencalonan capres-cawapres, misalnya dikisaran 5-15 persen sehingga memungkinkan muncul banyak pasangan capres-cawapres.

Publik tahu, pembilahan blok politik antara pendukung petahana Joko Widodo-Makruf Amin versus Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak hanya terjadi di level elit politik, melainkan merembet hingga masyarakat grassroot. Bahkan yang lebih menyedihkan, polarisasi politik tersebut berdampak pada merenggangnya kohesi sosial yang merongrong persatuan.

Kondisi semacam ini, pada gilirannnya bukan hanya mengancam disintegrasi bangsa dan potensi konflik horizontal, melainkan juga legitimasi pemerintahan hasil pemilu. Situasi demikian, tentu menjadi keprihatinan bersama. Pertarungan politik yang sesungguhnya telah usai namun menyisakan bibit perpecahan dan menurunkan legitimasi pemerintahan terpilih. Bahkan segaimana kita ketahui, pasca pengumuman hasil Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum(KPU) terjadi unjuk rasa yang berujung kerusuhan dan menelan delapan korban jiwa tewas dan rusaknya fasilitas publik(Suara.com, 23/05/2019).

Karena itu mesti ada langkah-langkah konkret, antara lain, dengan melakukan rekonsiliasi pasca pemilu. Rekonsiliasi ini penting mengingat kemenangan Jokowi-Makruf Amin bisa dikatakan tidak mutlak, selain lantaran sengitnya kontestasi dalam Pemilu serentak kemarin yang berujung demontrasi memprotes hasil Pemilu dan menimbulkan kerusuhan.

Lantas bagaimana dan siapa yang bisa memulai?. Setidaknya ada cara yang bisa dilakukan. Pertama, power sharing yang dilontarkan oleh beberapa tokoh bisa menjadi alternatif untuk mendorong rekonsiliasi. Dengan adanya power sharing parpol non pendukung yang menang dalam Pemilihan Presiden maka, semua ikut berkontribusi dalam membangun bangsa. Meski demikian, mesti ada parpol yang berada diluar pemerintah sebagai kekuatan koreksi di parlemen agar mekanisme check and balance tetap bekerja.

Kedua, kekuatan masyarakat sipil untuk mendorong rekonsiliasi. Masyarakat sipil terutama yang memiliki basis massa mempunyai potensi untuk mendorong rekonsiliasi. Perannya tentu tidak sekadar menjadi mediator dikalangan elit yang sedang “bersitegang” dalam kontestasi politik, melainkan juga melakukan rekonsiliasi di akar rumput.

Masyarakat sipil, terutama organisasi kemasyarakatan(ormas) berbasis massa seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama bisa mendorong percepatan proses rekonsiliasi. Selain memiliki perangkatnya, kedua ormas tersebut juga memiliki basis massa yang jelas di akar rumput. Sebagai ormas yang ikut mendirikan bangsa, kedua ormas tersebut tentu memiliki tanggung jawab moral di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi persoalan.

Paling tidak dengan dua cara tersebut bisa meredam polarisasi politik yang makin menganga. Meski demikian, perlu diingat kesadaran dan kedewasaan elit politik juga tidak kalah penting dalam agenda rekonsiliasi. Politisi mesti berpikir tidak hanya kepentingan pribadi atau golongan melainkan harus berpikir bagaimana persatuan menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika ini terlaksana maka besar harapan legitimasi pemerintahan pasca pemilu tetap kuat karena didukung masyarakat luas. Pemilu serentak kali ini memang merupakan pengalaman pertama sehingga memberikan banyak pelajaran.

Terlepas berbagai kekurangan dalam pelaksanaan, namun pemerintahan hasil pemilu serentak mesti memiliki legitimasi politik yang kuat. Karena dengan legitimasi politik yang kuat, pemerintahan akan bekerja lebih efektif, convident, terarah dan diharapkan hanya berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Mari kita lihat dan uji dalam prosesnya.

Tulisan ini dimuat di Jurnal Dialog Kebijakan Publik. Penerbit Kementerian Informasi dan Komunikasi, Edisi 29 Tahun 2019

Link https://www.academia.edu/40213018/Junal_Dialog_Kebijakan_Publik

Referensi
Magnis Suseno, Frans, “Etika Politik, Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern”, Gramedia, Jakarta, 1987.

Pahlevi, Indra “Sistem Pemilu di Indonesia Antara Proporsional dan Mayoritarian” , Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI dan Azza Grafika, Jakarta, 2015.

Henry J.Schmandt, Filsafat Politik-Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.

Schulte, Nordholt, H, Decentralization and Democracy in Indonesia, Strengthening citizenship or regional elites? In R.Robinson(Ed.), Political handbook of Southeast Asia, London: Routledge 2011.



Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment