Thursday, May 24, 2018

Romantisme Orde Baru Selewat Dua Dekade Reformasi

ARIF NURUL IMAM Kompas.com - 22/05/2018, 19:12 WIB 

Analis Politik POINT Indonesia dan Direktur Program Sosmed Society. Selain itu, aktif di Sanggar MAOS TRADISI, dan Wasekjen Pergerakan Indonesia.










Logo 20 tahun reformasi(Dok KOMPAS)

Pada bulan Mei ini terjadi berbagai kegiatan untuk merayakan dua dekade tumbangnya Orde Baru. Berbagai eksponen menggelar aneka rupa perhelatan seperti seminar, diskusi, pameran foto atau kegiatan lainnya untuk mengenang peristiwa politik yang bersejarah  bagi perjalanan republik ini, dimana kita memasuki babak politik baru, yaitu era reformasi

Reformasi sebagai koreksi terhadap rezim Orde Baru telah melahirkan berbagai capain positif. Sebut saja, kebebasan pers, kebebasan berserikat, otonomi daerah dan liberalisasi politik. Tak heran jika kita dinobatkan sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun demikian, harus diakui pula reformasi juga masih memiliki beban sejarah, dimana masih banyak agenda yang belum terealisasikan, untuk tidak mengatakan terlupakan.

Persolaan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme(KKN), kesenjangan serta kepincangan social, kemiskinan dan tumpukan persoalan lain masih menjadi pekerjaan rumah hingga dua dekade reformasi .

Di wilayah politik misalnya, berbagai persoalan, seolah menjadi penyakit kronis yang sulit memeroleh resep mujarab. Persoalan buruknya pengelolaan parpol, maraknya money politik, mewabahnya dinasti politik dan permasalahan lain adalah potret buram wajah politik dewasa ini.


Romantise Orde Baru
Setelah reformasi berlangsung dua dekade, ada gejala negatif yakni terjadi ketidakpuasan atas capain reformasi. Ketidakpuasan demikian berdampak lahirnya kerinduan romantisme Orde Baru yang kerap di persepsikan dengan kehidupan yang murah sandang, pangan, papan, tersedianya lapangan kerja dan lainnya.

Kondisi ini, meski hanya sebagian kecil masyarakat, bisa kita lihat dari misalnya, dari gambar, poster atau meme “isih penak jamanku to?”  yang disampingnya bergambar Soeharto yang sempat populer dan beredar luas di tengah masyarakat.

Bahkan survey Indobarometer menempatkan Presiden kedua Soeharto dianggap sebagai presiden paling berhasil sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Hasil survei memperlihatkan Soeharto dipilih oleh 32,9% persen responden. Sosok proklamator Soekarno menempati posisi kedua sebagai presiden yang paling berhasil di Indonesia. Hasil survei memperlihatkan Soekarno dipilih oleh 21,3 persen responden. Adapun, posisi ketiga, keempat, dan kelima ditempati oleh Joko Widodo (17,8 persen), Susilo Bambang Yudhoyono (11,6 persen), dan BJ Habibie (3,5 persen). Sementara di posisi keenam dan ketujuh, yakni Abdurrahman Wahid (1,7 persen) dan Megawati Soekarnoputri pada posisi buncit.
Terlepas dari perdebatan soal hasil survey ini, tapi bisa menjadikan warning agar tuntutan agenda reformasi benar-benar segera diwujudkan sekaligus mencegah romantisme Orde Baru meluas.
Demokrasi politik yang tak pararel dengan demokrasi ekonomi nampaknya menjadi salah satu sumber mengapa sebagian masyarakat menilai Orde Baru masih lebih baik. Kita tahu, kesenjangan dan kepincangan sosial makin  lebar, bahkan indeks rasio gini hampir mendekati angka empat. Suatu angka yang masuk kategori dalam tataran mencemaskan yang sewaktu-waktu bisa memicu terjadinya ledakan social.

Persoalan lain, reformasi juga dinilai tak bisa mencegah mengguritanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme(KKN) sebagai salah satu tuntutan agenda reformasi. Indikatornya banyak pejabat public yang ditangkap KPK lantaran terlibat skandal korupsi.

Budiman Sujatmiko, misalnya, salah satu tokoh yang turut serta menumbangkan Orde Baru menilai reformasi hanya hasilkan kekuasan yang bertele-tele. Mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik(PRD) ini menilai reformasi memiliki kemajuan, tetapi terlalu lambat. 

Dalam situasi semacam ini, gejala munculnya romantisme Orde Baru sesungguhnya perlu dibaca sebagai otokritik agar reformasi bergerak cepat dalam mewujudkan agendanya. Sebab, jika berlarut-larut sudah pasti, tidak hanya menjadi bomerang, melainkan juga bakal jadi petaka jika kerinduan terhadap rezim otoriter makin meluas karena bakal menjadi ancaman serius bagi perkembangan demokrasi yang sedang berlangsung.

Karena itu, tantangan  hari ini memang tidak mudah, bahkan memanggul tugas sejarah yang tak remeh-temeh. Tugas sejarah bahwa reformasi harus mampu lebih baik dari Orde Baru merupakan keharusan, agar romantisme Orde Baru bisa lenyap dalam alam pikir yang menghinggapi sebagian masyarakat.


Kita tentu tidak ingin kembali hidup dalam suasana represif yang penuh tekanan. Karena itu, mewujudkan demokrasi subtansial merupakan agenda yang tak bisa ditunda-tunda lagi sebagaimana tuntutan agenda reformasi. Semoga.



Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Romantisme Orde Baru Selewat Dua Dekade Reformasi", https://nasional.kompas.com/read/2018/05/22/19123491/romantisme-orde-baru-selewat-dua-dekade-reformasi

Editor : Palupi Annisa Auliani

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment