Kompas.com - 07/04/2018
ARIF NURUL IMAM (Analis Politik POINT Indonesia dan Direktur Program Sosmed Society. Selain itu, aktif di Sanggar MAOS TRADISI, dan Wasekjen Pergerakan Indonesia)
Ilustrasi kandidat cawapres(KOMPAS/DIDIE SW)
Joko
Widodo ( Jokowi) hampir dipastikan bakal maju lagi dalam laga kontestasi
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kepastian ini bisa dilihat setidaknya dari
soal dukungan partai politik (parpol) di parlemen seperti PDI Perjuangan,
Golkar, Nasdem, dan Hanura, serta bonus dukungan dari parpol baru yaitu Partai
Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Selain itu, dibentuknya tim internal untuk
mencari dan menyeleksi calon wakil presiden ( cawapres) yang dikomandani
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno juga makin menguatkan sinyalemen
politik tersebut.
Cawapres Jokowi menjadi tema perbincangan
menarik bukan saja karena dia akan menjadi orang kedua yang akan
mendampingi presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Lebih dari itu,
secara politis, menjadi cawapres Jokowi juga bisa dimaknai sebagai investasi
politik sekaligus bisa menjadi karpet merah untuk mengorbit sebagai capres
dalam Pilpres 2024. Tentu, bila kemenangan diraih pada 2019.
Hal ini
bisa dipahami, karena Jokowi sebagai petahana memiliki sumber daya politik yang
besar sehingga menjadi magnet bagi para tokoh politik untuk bisa dipinang
sebagai cawapres. Kondisi politik semacam ini hampir dipastikan dipahami semua
parpol dan tokoh politik sehingga perebutan menjadi cawapres Jokowi tidak saja
penuh kasak-kusuk tetapi juga bakal muncul beragam manuver.
Kriteria ideal
Memilih
cawapres tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, pemilihan bukan
hanya mengkalkulasi persoalan sejauh mana misalnya pengalaman, kompetensi, dan
integritas, melainkan juga mesti memperhitungkan dukungan parpol selain daya
ungkit elektabilitas. Oleh karenanya, sudah pasti akan ada kerumitan serta
berbagai konflik kepentingan yang bakal mengitari.
Penunjukan Mensesneg Pratikno sebagai ketua tim
internal untuk mencari cawapres tentu telah dengan perhitungan matang.
Penunjukan ini kemungkinan karena didasari oleh dua hal. Pertama, lantaran
Pratikno bukan orang parpol yang diharapkan dapat bekerja bebas dari
kepentingan serta independen dalam memilih cawapres. Kedua, karena Pratikno
merupakan orang dekat Jokowi sehingga lebih memahami keinginan dan harapannya.
Dengan demikian, ia diharapkan bisa memberikan
pertimbangan-pertimbangan dan seleksi yang tidak sekadar menyodorkan sosok
tokoh cawapres yang tidak hanya menarik secara politis tetapi juga menimbang
perihal integritas, rekam-jejak, serta persoalan komitmen kebangsaan.
Karena itu, paling tidak ada tiga
kriteria yang layak di pertimbangkan sebagai dasar memilih cawapres bagi
Jokowi.
Pertama, memahami tantangan zaman.
Tokoh yang dipilih tentu harus memiliki wawasan
ke depan, khususnya untuk periode 2019-2024 adalah bagaimana Indonesia
diproyeksikan. Misalnya, soal ledakan informasi, tren ekonomi-politik
global, fenomena milenial, dan lainnya. Ini karena tantangan ke depan
bukan makin mudah, melainkan kian pelik dan rumit, sehingga membutuhkan cawapres
yang peka terhadap tantangan zaman. Sosok cawapres demikian tentu akan menjadi
nilai plus serta menambal kekurangan dalam menjalankan roda kepemimpinan jika
nanti terpilih.
Kedua, kepemimpinan.
Kebutuhan ideal mengenai sosok cawapres dilihat
dari pengalaman, integritas, dan chemistry, merupakan kriteria yang tak bisa
dinafikan. Ini karena kepemimpinan efektif tidak akan lahir dari pasangan yang
dipaksakan, tetapi karena memahami pengalaman, integritas, dan memiliki
persamaan pandangan.
Dengan demikian, harapannya akan terjadi duet
kepemimpinan yang saling mengisi dan bisa bersinergi dalam mewujudkan cita-cita
founding father. Betapa gaduhnya, jika misalnya presiden dan wakil presiden
kerap tidak sejalan sehingga menciptakan pemerintah yang tidak efektif.
Karena itu, soal pengalaman, integritas, dan
chemistry mesti menjadi pertimbangan sehingga bisa melahirkan kepemimpinan yang
efektif bekerja melayani masyarakat.
Ketiga, kebutuhan politis.
Dengan tingkat elektabilitas di kisaran 50
persen sebagaimana dirilis oleh berbagai lembaga survei, Jokowi tentu belum
bisa dikatakan aman. Namun, cawapres yang dipilih tetap tidak boleh hanya
dilihat dari kebutuhan ideal tetapi juga punya daya ungkit elektabilitas
sebagai vote getter mendulang dukungan pemilih.
Sosok cawapres yang dipilih harus dipastikan
dapat menambah dukungan suara dan memperbesar ceruk suara. Ia bisa dari tokoh
parpol atau tokoh non-parpol tetapi mesti sosok yang marketable sehingga
menambah nilai jual dalam menggandakan dukungan.
Ketiga kebutuhan tersebut hendaknya menjadi
paket yang tak bisa dipisahkan sehingga tidak saja menguntungkan secara politis
bagi Jokowi tetapi juga bermanfaat bagi publik. Dengan demikian, sosok cawapres
Jokowi tak sekadar relevan secara politis, tetapi juga menjawab tantangan
bangsa-negara ke depan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menakar Kriteria Ideal Cawapres Jokowi", https://nasional.kompas.com/read/2018/04/07/18545101/menakar-kriteria-ideal-cawapres-jokowi.
Editor : Palupi Annisa Auliani
0 komentar:
Post a Comment