Selasa, 15 Agustus 2017 16:13 WIB
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Orang Boleh Pandai Setinggi Langit Tapi Selama ia Tidak Menulis Ia akan hilang didalam Masyarakat dan Sejarah. Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Ini adalah Blog Arif Nurul Imam
"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".
Tuesday, August 15, 2017
Pengamat: Sekjen PBNU Sebaiknya Minta Maaf Bukan Malah Terus Berkelit
Selasa, 15 Agustus 2017 16:13 WIB
Sekjen
PBNU Helmy Faisal Zaini (kiri) dan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Sekjen PBNU A. Helmy
Faishal Zaini bahwa video unjuk rasa santri yang berteriak "bunuh
menteri" hoax disesalkan.
Apalagi dia menyebut ada yang berusaha menyudutkan
NU lewat video tersebut.
Menurut pengamat politik dari Point Indonesia, Arif
Nurul Imam, mengungkapkan respons Sekjen PBNU tak akan meredam kontroversi aksi
unjuk rasa santri tersebut. Malah akan semakin berkepanjangan.
"Kalau video itu benar, lebih baik mengakui
dan minta maaf saja. Kalau berkelit terus justru tak menyelesaikan
persoalan," katanya saat dihubungi, Selasa (15/8/2017).
Apalagi kata dia, Ketua Umum PBNU sudah membenarkan
bahwa yang demo itu adalah santri NU.
Said Aqil mengakui tidak mungkin mengontrol setiap
santri. Sebelumnya, Helmy Faishal mengungkapkan video unjuk
rasa santri yang berteriak "bunuh menteri" tersebut hoax alias
sebagai berita palsu.
Video tersebut disebar untuk menyudutkan NU.
"Berita tersebut memiliki agenda ingin
menyudutkan NU. Kami telah melakukan klarifikasi dan menerima laporan bahwa
kejadian yang dikira terjadi di Purbalingga, padahal terjadi di Lumajang
tersebut, murni merupakan perbuatan oknum yang sengaja memprovokasi massa
aksi," tandasnya
Sementara itu, Said Aqil membenarkan para santri
tersebut adalah santri NU. "Ya itu kan anak-anak masa iya mau dikontrol
satu-satu ya enggak bisa. Tapi kita sudah berikan pengarahan," katanya.
Dia menambahkan para santri demo sambil membawa
bendera NU lantaran merasa tergusur dengan adanya full day school. "Karena yang akan tergusur itu kebanyakan
madrasah yang dikelola oleh NU jumlahnya itu 76 ribu di Indonesia ini,"
pungkasnya.
Saturday, August 12, 2017
The Yudhoyono Institute dan Prospek AHY di Panggung Politik Nasional
Arif Nurul Imam
Kompas.com - 12/08/2017, 17:25 WIB
Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute Agus Harimurti Yudhoyono
berpidato saat peluncuran The Yudhoyono Institute di Jakarta, Kamis
(10/8/2017). The Yudhoyono Institute diluncurkan untuk melahirkan
generasi masa depan dan calon pemimpin bangsa yang berjiwa patriotik,
berakhlak baik dan unggul. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/17(ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)
KEHADIRAN Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY) dalam panggung politik Indonesia sesungguhnya agak mengejutkan publik.
Betapa
tidak, sebagai orang yang memiliki peluang karir militer moncer, putra
sulung mantan presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) ini justru banting
stir, pindah di dunia politik yang sama-sekali baru, untuk tidak
mengatakan tuna pengalaman.
Berbekal sebagai anak mantan presiden sekaligus Ketua Umum Partai
Demokrat, tentu tak sebagaimana politisi lainnya yang harus tertatih
meniti karir dari bawah. Tampil perdana di dunia politik langsung
menggebrak maju sebagai calon gubernur di palagan Pilkada DKI Jakarta
dengan menggandeng birokrat senior Sylviana Murni.
Meski kalah dalam bursa Pilkada, namun bukan berarti sia-sia karena
ada manfaat yang bisa dipetik. Setidaknya, momentum tersebut, memberi
pelajaran berharga bagaimana kehidupan riil politik sehingga bisa
menjadi bekal dalam meniti karir politik selanjutnya.
Selain itu,
perhelatan itu juga bisa dibaca sebagai langkah cerdik SBY dalam
memanfaatkan momentum untuk mengorbitkan putra sulung agar bukan hanya
dikenal publik, melainkan juga membangun ketokohan.
Kekalahan
Pilkada DKI Jakarta, tentu bukanlah akhir dari karir politiknya.
Peristiwa itu justru merupakan tonggak yang bakal menjadi tangga politik
untuk meroket. Tentu dengan sejumlah syarat, terutama soal bagaimana
mengelola, memanfaatkan dan memperbesar modal politik serta sabar dalam
proses penokohan.
Modal politik
Selain memiliki modal politik yang bersifat given, AHY juga mempunyai modal yang datang dari dirinya sendiri. Artinya, ia tak sekadar mengandalkan modal politik yang bersifat keberuntungan, melainkann memiliki perpaduan modal politik yang potensial bisa mengeskalasi kiprahnya di panggung politik.
Selain memiliki modal politik yang bersifat given, AHY juga mempunyai modal yang datang dari dirinya sendiri. Artinya, ia tak sekadar mengandalkan modal politik yang bersifat keberuntungan, melainkann memiliki perpaduan modal politik yang potensial bisa mengeskalasi kiprahnya di panggung politik.
Pertama,
karakter dan personalitas. Kepribadian seorang politisi tentu menjadi
salah satu tolak ukur sejauhmana seseorang pantas-tidaknya menjadi
pelayan publik alias politisi. Karakter dan personalitas AHY nampaknya
termasuk jenis yang mendukung untuk berkiprah di rimba politik.
Sosok
yang luwes dalam berkomunikasi, mudah beradaptasi, kalem dan santun.
Ini karakter dan personalitas yang cocok bagi politisi yang hidup di
iklim politik Indonesia.
Keluwesan berkomunikasi misalnya,
ditunjukkan ketika secara elegan menyatakan menerima kekalahan dalam
Pilkada usai hitung cepat.
Walhasil, meski kalah justru mendapat
simpati dan pujian publik, bahkan menjadi topik hangat di sosial media,
seperti Facebook dan Twitter.
Kedua, kapasitas
intelektual. Kapasitas intelektual laki-laki berusia 39 tahun ini memang
tak diragukan lagi. Selain berkarir di militer, AHY juga relatif bagus
dari sisi studi akademik.
Tiga gelar master berhasil berhasil
disabet. Setidaknya, kapasitas intelektual bisa menjadi modal yang turut
menentukan karir di panggung politik.
Ketiga, klan politik Yudhoyono. Sebagai anak SBY, ia memperoleh modal yang bersifat given
karena berupa warisan. Sebagai putra mahkota pewaris klan politik
Yudhoyono, hampir dipastikan akan menjadi petinggi Partai Demokrat
menggantikan ayahnya.
Thomas Carothers (2006;66) menyimpulkan, parpol di negara transisi demokrasi cenderung bersifat top down, figur sentris, lemah dalam organisasi, korup dan kabur dalam ideologi.
Dengan iklim politik semacam ini, tidak terlalu sulit bagi SBY untuk mewariskan kemudi Partai Demokrat pada putra mahkota.
Penokohan
Penokohan adalah syarat mutlak untuk terjun dipolitik. Seseorang bisa duduk di jabatan publik, di antaranya karena faktor ketokohan. Ini sangat dipahami SBY sehingga, mau tak mau, mantan presiden ke-6 ini menyiapkan sekoci sebagai alat membangun ketokohan putra mahkotanya.
Penokohan adalah syarat mutlak untuk terjun dipolitik. Seseorang bisa duduk di jabatan publik, di antaranya karena faktor ketokohan. Ini sangat dipahami SBY sehingga, mau tak mau, mantan presiden ke-6 ini menyiapkan sekoci sebagai alat membangun ketokohan putra mahkotanya.
"Berdirinya The Yudhoyono Institute
ini nantinya diharapkan dapat melahirkan generasi masa depan, calon
pemimpin bangsa yang berjiwa patriotik, berakhlak baik, dan unggul, yang
dapat membawa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan niscaya dapat
menjadi bangsa yang memimpin di dunia internasional di masa mendatang,"
kata AHY.
Dibentuknya The Yudhoyono Institute sebagai lembaga think-thank,
tentu tak bisa dibaca sekadar lembaga riset biasa. Lembaga yang
diinisiasi oleh SBY dan dipimpin langsung AHY boleh jadi juga
diperuntukkan sebagai lembaga pematangan sekaligus membangun ketokohan.
The
Yudhoyono Institute, sudah tentu, menjadi wadah artikulasi dan
aktualisasi AHY di satu sisi, dan di sisi lain bisa dibaca sebagai wadah
yang berfungsi juga sebagai “panggung”.
Panggung bagi AHY untuk terus muncul di publik melalui pemikiran-pemikiran sehingga pada gilirannya terbangun ketokohan.
Paling
tidak, melalui lembaga ini, AHY bisa menjalin komunikasi di level elit
politik, seperti misalnya, bertandang ke Istana bertemu Presiden Joko
Widodo untuk menyampaikan undangan ketika hendak peresmian lembaga
tersebut.
PR AHY
Dengan modal politik yang bisa dikatakan komplit, AHY cuma menyisakan pekerjaan rumah untuk terus menerus serta konsisten membangun ketokohan, melalui berbagai aktivitas yang positif bagi publik, termasuk melalui The Yudoyono Institute.
Dengan modal politik yang bisa dikatakan komplit, AHY cuma menyisakan pekerjaan rumah untuk terus menerus serta konsisten membangun ketokohan, melalui berbagai aktivitas yang positif bagi publik, termasuk melalui The Yudoyono Institute.
Ia
tak perlu susah-payah menyiapkan atau membangun gerbong politik. Karena
kita paham, AHY adalah putra mahkota pewaris Partai Demokrat yang bakal
menjadi penerus dan tokoh utama partai tersebut sebagai sekoci politik
dalam meniti karir di pentas politik.
Jika cerdik dan piawai dalam
mengelola modal politik, bukan tidak mungkin, pada saatnya nanti bakal
muncul sebagai tokoh politik nasional, bahkan menjadi pucuk pimpinan
republik ini. Mari kita lihat dan uji dalam prosesnya.
Duel Gerindra-PKS, Demokrat dan PDIP-Golkar di Jabar `Perang Bintang` Prabowo, SBY Dan Sohibul VS Mega-Setnov
Harian Terbit, 11 Agustus 2017
Jakarta,
HanTer -
Pilkada Jabar akan dihelat serentak dengan daerah lain di Indonesia pada Juli
tahun 2018 mendatang. Berbagai kalangan memprediksi, perhelatan Pilkada Jabar
merupakan 'perang bintang' karena banyak pesohor politik dan partai politik
besar yang ikut bertarung. Duel Prabowo Subianto-Sohibul Iman vs Megawati-Setya
Novanto, akan berlangsung ketat untuk memenangkan pertarungan di Jabar karena
memiliki ceruk massa terbesar.
Pilkada Jabar memang sangat menarik karena memiliki pemilih/jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Para pengamat politik menyebut, wilayah ini merupakan ‘kelanjutan’ pertarungan parpol kuat, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PKS. Kemesraan Gerindra dan PKS di Pilgub DKI Jakarta kemungkinan besar akan terjadi lagi di Jabar.
Apalagi, kata Arif, bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang bermunculan pun merupakan tokoh-tokoh yang dikenal dengan prestasi dan popularitasnya. Pilkada Jabar menarik perhatian lantaran banyak pesohor politik yang digadang-gadang oleh berbagai pihak untuk maju sebagai cagub dan cawagub.
“Megawati, SBY, dan Prabowo, diprediksi bakal 'duel'. Mengingat, Pilgub Jabar merupakan ‘kelanjutan’ pertarungan parpol kuat, yakni PDIP, Gerindra, Demokrat, Golkar dan PK,” kata Analis politik POINT Indonesia, Arif Nurul Iman di Jakarta, Kamis (11/8/2017).
Sejumlah tokoh digadang-gadang bakal maju pada Pilkada Jabar. Mereka antara lain, Dedi Mulyadi (Bupati Purwakarta), Deddy Mizwar (Wagub jabar), Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Dedi Yusuf (DPR), Desi Ratnasari (DPR), AA Gym (ulama), dan Rieke Dyah Pitaloka (DPR). "Pilkada Jawa Barat merupakan 'perang bintang', sehingga menarik terus dicermati," tandas Arif.
Arif berpendapat, hampir seluruh partai memiliki fokus penuh ke Jabar, karena fokus mereka menyongsong Pemilu 2019. "Pilkada Jawa Barat adalah pilkada menarik bagi parpol karena memiliki ceruk massa terbesar. Ini bisa dikatakan sebagai pilkada pertaruhan," ujar Arif.
Mati-matian
Arif nenilai, partai politik bakal bertarung mati-matian untuk Pilkada Jabar karena momentum ini sekaligus dimanfaatkan untuk membangun kantong suara untuk Pemilu 2019. Selain itu, menurut dia, parpol akan menggunakan pilkada sebagai ajang memanaskan mesin politik.
Adapun beberapa waktu lalu, pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Prabowo Subianto sempat digelar. Berbagai kalangan menilai, pertemuan tersebut merupakan ajang konsolidasi guna persiapan pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Tak sedikit pula yang beranggapan bahwa pertemuan itu jadi ajang pertemuan dalam mempersiapkan koalisi di Pilkada Jabar.
Terkait hal itu, Pengamat Politik, Hendri Satrio, pesimis akan terwujudnya koalisi yang melibatkan kekuatan politik Prabowo dan SBY. "Jadi kecil kemungkinannya ada koalisi Prabowo-SBY," ujarnya di Jakarta,
Namun, ia menilai, prediksi koalisi yang lebih nyata adalah koalisi antara Prabowo dan Sohibul Iman. "Lebih besar kansnya Prabowo-Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman," ujarnya.
Duel
Sementara itu, Pengamat Politik dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW) Amir Hamzah, menilai, Pilgub Jabar akan menarik layaknya Pilgub DKI Jakarta. Dimana tiga Ketum Parpol, yaitu Megawati, SBY, dan Prabowo, diprediksi bakal 'duel'. Mengingat, lanjut dia, Pilgub Jabar merupakan ‘kelanjutan’ pertarungan parpol kuat, yakni PDIP, Gerindra, Demokrat, dan PKS.
"Saya melihat bahwa pertarungan Pilpres 2014 yang lalu akan menjadi gambaran pertarungan Pilgub Jabar 2018. Prabowo dan Jokowi masih menjadi primadona di mata publik Jabar. Tiga tokoh nasional pimpinan Parpol juga akan berpengaruh, yakni Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Dan jangan lupa, PKS memiliki basis massa yang kuat di Jabar," ujarnya di Jakarta, Kamis (10/8/2017).
Ia memprediksi akan terjadi konsolidasi tingkat tinggi oleh parpol-parpol besar yang ingin memastikan mendapat dukungan mayoritas publik Jabar. Karena menurutnya, dibanding provinsi lain, Jabar sangat strategis karena memiliki jumlah pemilih terbanyak dalam pemilu.
"Bagi partai besar, menang dalam Pilgub Jabar adalah langkah awal untuk konsolidasi politik menjelang Pilpres 2019," tegasnya.
Jika melihat jumlah kursi di DPRD Jabar, lanjutnya, PDIP merupakan satu-satunya parpol yang bisa mengusung sendiri pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Kenyataan tersebut, kata dia, tentu membuat PDIP tidak akan terburu-buru menentukan bakal cagub dan cawagub, seperti saat mengusung Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki pada Pilgub Jabar 2013.
Sedangkan, kata Amir, partai politik yang tidak memenuhi syarat 20 persen kursi parlemen akan melakukan manuver politik sedini mungkin, seperti yang dilakukan Nasdem dengan mengusung Ridwan Kamil.
Selain itu, Partai Gerindra yang memiliki 11 kursi di DPRD kemungkinan akan kembali berkoalisi dengan PKS yang memiliki 12 kursi.
"Kemesraan Gerindra dan PKS di Pilgub DKI Jakarta kemungkinan besar akan terjadi lagi di Jabar," ujarnya.
Sedangkan untuk Partai Demokrat, dia mengaku masih sulit menebak arah koalisi parpol tersebut dalam Pilgub Jabar.
Banteng 'Keok'
Disisi lain, Amir menilai kalahnya 'jagoan' PDIP di berbagai Pilkada, dinilai sangat berpengaruh dalam pertarungan politik di Jabar. Hal itu menurutnya, karena masyarakat menganggap partai berlambang Banteng Moncong Putih mendukung penista agama.
"Jagoan PDIP bisa tumbang di Jabar, Jateng. Masyarakat akan menilai PDIP mendukung penista agama," kata dia.
Menurut dia, masyarakat tidak akan lupa pada PDIP yang membela Ahok mati-matian dalam kasus penistaan agama. Sehingga, hal itu sangat menjatuhkan nama PDIP.
Ia melihat bahwa PDIP akan habis-habisan di Pilkada Jabar 2018. Terlebih, pasca kekalahan di Pilgub Banten dan Pilgub DKI Jakarta. “Kemenangan di Jabar menjadi sangat strategis bagi partai yang dipimpin Megawati itu. "Saya kira PDIP akan all out di Jabar, apalagi PDIP juga sudah kalah di DKI dan Banten," katanya.
Pilkada Jabar memang sangat menarik karena memiliki pemilih/jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Para pengamat politik menyebut, wilayah ini merupakan ‘kelanjutan’ pertarungan parpol kuat, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PKS. Kemesraan Gerindra dan PKS di Pilgub DKI Jakarta kemungkinan besar akan terjadi lagi di Jabar.
Apalagi, kata Arif, bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang bermunculan pun merupakan tokoh-tokoh yang dikenal dengan prestasi dan popularitasnya. Pilkada Jabar menarik perhatian lantaran banyak pesohor politik yang digadang-gadang oleh berbagai pihak untuk maju sebagai cagub dan cawagub.
“Megawati, SBY, dan Prabowo, diprediksi bakal 'duel'. Mengingat, Pilgub Jabar merupakan ‘kelanjutan’ pertarungan parpol kuat, yakni PDIP, Gerindra, Demokrat, Golkar dan PK,” kata Analis politik POINT Indonesia, Arif Nurul Iman di Jakarta, Kamis (11/8/2017).
Sejumlah tokoh digadang-gadang bakal maju pada Pilkada Jabar. Mereka antara lain, Dedi Mulyadi (Bupati Purwakarta), Deddy Mizwar (Wagub jabar), Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Dedi Yusuf (DPR), Desi Ratnasari (DPR), AA Gym (ulama), dan Rieke Dyah Pitaloka (DPR). "Pilkada Jawa Barat merupakan 'perang bintang', sehingga menarik terus dicermati," tandas Arif.
Arif berpendapat, hampir seluruh partai memiliki fokus penuh ke Jabar, karena fokus mereka menyongsong Pemilu 2019. "Pilkada Jawa Barat adalah pilkada menarik bagi parpol karena memiliki ceruk massa terbesar. Ini bisa dikatakan sebagai pilkada pertaruhan," ujar Arif.
Mati-matian
Arif nenilai, partai politik bakal bertarung mati-matian untuk Pilkada Jabar karena momentum ini sekaligus dimanfaatkan untuk membangun kantong suara untuk Pemilu 2019. Selain itu, menurut dia, parpol akan menggunakan pilkada sebagai ajang memanaskan mesin politik.
Adapun beberapa waktu lalu, pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Prabowo Subianto sempat digelar. Berbagai kalangan menilai, pertemuan tersebut merupakan ajang konsolidasi guna persiapan pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Tak sedikit pula yang beranggapan bahwa pertemuan itu jadi ajang pertemuan dalam mempersiapkan koalisi di Pilkada Jabar.
Terkait hal itu, Pengamat Politik, Hendri Satrio, pesimis akan terwujudnya koalisi yang melibatkan kekuatan politik Prabowo dan SBY. "Jadi kecil kemungkinannya ada koalisi Prabowo-SBY," ujarnya di Jakarta,
Namun, ia menilai, prediksi koalisi yang lebih nyata adalah koalisi antara Prabowo dan Sohibul Iman. "Lebih besar kansnya Prabowo-Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman," ujarnya.
Duel
Sementara itu, Pengamat Politik dari Budgeting Metropolitan Watch (BMW) Amir Hamzah, menilai, Pilgub Jabar akan menarik layaknya Pilgub DKI Jakarta. Dimana tiga Ketum Parpol, yaitu Megawati, SBY, dan Prabowo, diprediksi bakal 'duel'. Mengingat, lanjut dia, Pilgub Jabar merupakan ‘kelanjutan’ pertarungan parpol kuat, yakni PDIP, Gerindra, Demokrat, dan PKS.
"Saya melihat bahwa pertarungan Pilpres 2014 yang lalu akan menjadi gambaran pertarungan Pilgub Jabar 2018. Prabowo dan Jokowi masih menjadi primadona di mata publik Jabar. Tiga tokoh nasional pimpinan Parpol juga akan berpengaruh, yakni Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Dan jangan lupa, PKS memiliki basis massa yang kuat di Jabar," ujarnya di Jakarta, Kamis (10/8/2017).
Ia memprediksi akan terjadi konsolidasi tingkat tinggi oleh parpol-parpol besar yang ingin memastikan mendapat dukungan mayoritas publik Jabar. Karena menurutnya, dibanding provinsi lain, Jabar sangat strategis karena memiliki jumlah pemilih terbanyak dalam pemilu.
"Bagi partai besar, menang dalam Pilgub Jabar adalah langkah awal untuk konsolidasi politik menjelang Pilpres 2019," tegasnya.
Jika melihat jumlah kursi di DPRD Jabar, lanjutnya, PDIP merupakan satu-satunya parpol yang bisa mengusung sendiri pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Kenyataan tersebut, kata dia, tentu membuat PDIP tidak akan terburu-buru menentukan bakal cagub dan cawagub, seperti saat mengusung Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki pada Pilgub Jabar 2013.
Sedangkan, kata Amir, partai politik yang tidak memenuhi syarat 20 persen kursi parlemen akan melakukan manuver politik sedini mungkin, seperti yang dilakukan Nasdem dengan mengusung Ridwan Kamil.
Selain itu, Partai Gerindra yang memiliki 11 kursi di DPRD kemungkinan akan kembali berkoalisi dengan PKS yang memiliki 12 kursi.
"Kemesraan Gerindra dan PKS di Pilgub DKI Jakarta kemungkinan besar akan terjadi lagi di Jabar," ujarnya.
Sedangkan untuk Partai Demokrat, dia mengaku masih sulit menebak arah koalisi parpol tersebut dalam Pilgub Jabar.
Banteng 'Keok'
Disisi lain, Amir menilai kalahnya 'jagoan' PDIP di berbagai Pilkada, dinilai sangat berpengaruh dalam pertarungan politik di Jabar. Hal itu menurutnya, karena masyarakat menganggap partai berlambang Banteng Moncong Putih mendukung penista agama.
"Jagoan PDIP bisa tumbang di Jabar, Jateng. Masyarakat akan menilai PDIP mendukung penista agama," kata dia.
Menurut dia, masyarakat tidak akan lupa pada PDIP yang membela Ahok mati-matian dalam kasus penistaan agama. Sehingga, hal itu sangat menjatuhkan nama PDIP.
Ia melihat bahwa PDIP akan habis-habisan di Pilkada Jabar 2018. Terlebih, pasca kekalahan di Pilgub Banten dan Pilgub DKI Jakarta. “Kemenangan di Jabar menjadi sangat strategis bagi partai yang dipimpin Megawati itu. "Saya kira PDIP akan all out di Jabar, apalagi PDIP juga sudah kalah di DKI dan Banten," katanya.
Thursday, August 3, 2017
Hary Tanoe: Kita Sebagai Partai Melayani, Bukan Dilayani
Siswanto
Rabu, 02
Agustus 2017 | 14:22 WIB
Bos MNC
Group yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia Hary Tanoesoedibjo seusai
menjalani pemeriksaan oleh penyidik Direktorat Siber Bareskrim selama delapan
jam, Jumat (7/7/2017). [Suara.com/Wely Hidayat
Hary Tanoe kemudian memuji
kinerja pemerintah yang berjalan cukup baik.
Suara.com - Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo
menyampaikan apresiasi kepada seluruh kepala daerah yang memperoleh penghargaan
sebagai Kepala Daerah Inovatif Koran Sindo 2017.
“Apresiasi ini diberikan kepada kepala daerah yang
berprestasi dalam membangun daerahnya dan motivasi bagi yang lain supaya mampu
melakukan hal yang sama," kata Hary Tanoe dikutip dari laman Facebook-nya.
Dengan daerah-daerah terbangun dengan baik akan
meningkatkan APBD, ABPN, penerimaan pajak, tax ratio dan kesejahteraan
masyarakat, kata Hary Tanoe.
"Pemerataan pembangunan daerah dan
kesejahteraan masyarakat akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Ekonomi maju,
Indonesia semakin maju," katanya.
Hary Tanoe kemudian memuji kinerja pemerintah yang
berjalan cukup baik.
"Saya lihat dari APBN-P yang sudah disahkan
DPR pertumbuhannya 5,2 persen, lebih baik dari tahun sebelumnya. Harapannya
bisa terwujud, sehingga memperbesar ekonomi kita," kata dia.
Hary Tanoe juga menginstruksikan kepada kadernya di
manapun berada untuk bekerja keras menjelang pemilu pemilu tahun 2019.
“Untuk pileg (pemilu legislatif) kami selalu
menegaskan kepada seluruh kader dan pengurus banyak turun ke masyarakat. Kita
sebagai partai politik melayani masyarakat bukan dilayani,” kata dia.