Pilkada Serentak
Kompas Cetak,
Pemilihan kepala daerah serentak tahun 2015 ini
menjadi laboratorium demokrasi. Ada hal-hal tak biasa yang dijumpai pada
tahapan demi tahapan penyelenggaraan pilkada. Salah satunya, kemunculan
petahana yang menyeberang keluar dari "zona nyaman" partai politik.
Mengapa mereka memilih jalur berpeluh?
Kedua pilihan itu
masing-masing punya sisi positif dan negatif. Jika memilih partai
politik (parpol), para petahana tinggal memanfaatkan mesin partai yang
relatif stabil dari tingkat kabupaten/kota, kecamatan, hingga ke
kelurahan/desa. Namun, tak mudah mendapat "perahu" dari parpol, bahkan
untuk para petahana sekali pun. Kendalanya mulai dari melobi petinggi
partai hingga perkara uang mahar yang kerap muncul dalam wacana di ranah
publik.
Hal itu berbanding terbalik dengan pasangan calon yang
melaju dari jalur perorangan. Boleh jadi mereka tak perlu lobi-lobi
elite untuk mendapat rekomendasi. Namun, calon harus berpeluh membangun
jaringan relawan dari awal, terutama untuk mengumpulkan syarat
pencalonan berupa dukungan masyarakat yang jumlahnya lumayan besar,
mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu. Jika calon sudah akrab
dengan organisasi kemasyarakatan, institusi itu pun bisa jadi mesin
politik.
Arif Nurul Imam, asisten politik Faisal Basri-ekonom dan
calon gubernur DKI Jakarta 2012-ingat betul bagaimana tim kampanye harus
bersusah payah di awal karena tak mudah mencari relawan pada awal-awal
masa pencalonan. Ini karena masyarakat merasa peluang menang calon
perorangan relatif kecil dibandingkan dengan calon dari parpol yang
memiliki mesin politik kuat.
"Tapi, begitu terekspos, relawan
datang, kok. Tapi, tetap harus dibangun dulu karena latar belakang
relawan macam-macam dan tidak semua terbiasa bekerja politik. Harus ada
adaptasi dan proses belajar," tutur Arif, Rabu (16/9), di Jakarta.
Para
calon juga harus begadang bersama-sama relawan untuk menyortir ratusan
ribu kartu tanda penduduk sehingga tak ada dukungan ganda yang
disetorkan ke Komisi Pemilihan Umum daerah. Walau tidak menang, Faisal
mampu menunjukkan dengan dukungan relawan, dia tidak berada di posisi
paling bawah dalam perolehan suara. Bersama Biem Benyamin-calon wakil
gubernur-Faisal bisa unggul atas salah satu pasangan calon yang diusung
partai besar.
"Kalau sekarang ada petahana yang menyeberang ke
jalur perorangan, ya, harus kita lihat dulu apa motifnya. Kalau karena
tertekan oleh partai pengusung yang campur tangan programnya atau karena
uang mahar, itu pertanda positif," kata Arif.
Data KPU
menunjukkan, dari 789 pasangan calon yang ditetapkan pada 24 Agustus
2015, ada 130 pasangan calon yang melaju dari jalur perorangan. Dari
jumlah itu, setidaknya ada 11 petahana yang memilih menyeberang ke jalur
perorangan.
Jumlah ini bisa jadi lebih besar karena pendataan di
sistem KPU masih belum sempurna lantaran belum semua KPU daerah
mencantumkan pekerjaan para calon.
Jumlah ini juga belum termasuk
petahana yang tidak maju lagi karena sudah dua periode menjabat, tetapi
anaknya atau kerabatnya maju bertarung melalui jalur perorangan, seperti
terjadi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
"Pada pilkada
sebelumnya juga ada (petahana maju jalur perorangan) karena tidak dapat
(perahu) saat penjaringan partai politik. Namun, sekarang bisa jadi
karena faktor konflik parpol yang melatarbelakangi petahana masuk jalur
perorangan," kata komisioner KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah.
Empat karakter
Sebanyak
11 kasus petahana yang "pindah" haluan ke jalur perorangan itu bisa
dibagi dalam beberapa karakteristik yang bisa memberi "kisi-kisi" soal
faktor yang mendorong mereka tak lagi maju dari jalur parpol.
Karakter
pertama, seperti disampaikan Ferry, calon petahana menghadapi persoalan
partai pengusungnya pada periode terdahulu menghadapi konflik
kepengurusan sehingga ketimbang membahayakan peluang mencalonkan diri,
mereka memilih maju lewat jalur perorangan. Hal ini, misalnya, bisa
ditemui pada kasus Bupati Bandung (Jawa Barat) Dadang Moh Naser dan
Bupati Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) Rita Widyasari yang punya
basis dukungan di Partai Golkar.
"Bisa jadi memang calon
menghindari kerumitan untuk mendapat rekomendasi dari partai yang antara
pengurus daerah dan pusatnya berbeda pilihan atau bahkan punya konflik
internal, seperti Golkar dan PPP, yang membuat calon harus punya dua
rekomendasi," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih
untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz.
Karakter kedua, pasangan
petahana pecah kongsi, lalu salah satu di antaranya mendapat dukungan
dari parpol. Kasus ini terlihat di Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera
Utara). Di daerah itu, Wakil Bupati Syahrianto berhadapan dengan Bupati
Soekirman yang didukung partai-partai besar, seperti PAN, Demokrat,
Gerindra, PKB, dan Nasdem.
Di Kota Magelang, Jawa Tengah, Wakil
Wali Kota Joko Prasetyo maju dari jalur perorangan setelah Wali Kota
Sigit Widyonindito yang diusung PDI-P dan Gerindra menggandeng pasangan
lain. Kasus sebaliknya bisa ditemui di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
Bupati Ilyas Sabli harus melaju dari jalur perorangan setelah Wakil
Bupati Imalko mendapat perahu dari Partai Demokrat dan Nasdem.
Kendati
sama-sama pecah kongsi, seperti kasus Magelang dan Natuna, di Kabupaten
Labuhan Batu (Sumatera Utara), bupati dan wakil bupatinya, Tigor
Panusunan Siregar dan Suhari Pane, sama-sama memilih melaju dari jalur
perorangan. Mereka menggandeng pasangan baru. Pada pilkada nanti, kedua
petahana ini berhadapan dengan tiga pasangan calon lainnya yang semuanya
diusung parpol.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif
Veri Junaidi menduga keputusan menyeberang ini didominasi kepercayaan
diri yang tinggi sebagai petahana. Tidak semata-mata hanya didorong oleh
partai yang berpotensi mengusung mereka tengah berkonflik.
Karakter
ketiga, petahana mencoba maju ke jenjang jabatan lebih tinggi, seperti
dialami Wali Kota Banjarmasin Muhidin yang bertarung memperebutkan kursi
gubernur Kalimantan Selatan lewat jalur perorangan melawan dua pasangan
calon yang didukung gabungan parpol.
Konflik dengan partai
Adapun
karakter keempat, petahana maju karena berkonflik dengan partai
pengusung pada periode pertama. Hal ini boleh jadi bisa ditemukan pada
kasus Bupati Pesawaran di Lampung, Aries Sandi Darma Putra. Pada periode
pertama, dia diusung PAN. Namun, pada pilkada kali ini, PAN memilih
bergabung dengan PDI-P, Demokrat, Gerindra, dan PKS mendukung duet
anggota DPRD Provinsi Lampung, Dendi Ramadhona dan anggota DPRD
Kabupaten Pesawaran, Eriawan. Selain itu, juga ada dua pasangan calon
yang juga maju dari jalur perorangan.
Tentu motivasi sesungguhnya
para petahana itu berpindah haluan tidak tunggal. Namun, akan menarik
melihat bagaimana pusaran politik di daerah menentukan karier politik
mereka.
Mampukah para petahana melawan mesin partai? Kita tunggu jawabannya setelah 9 Desember nanti. (Antony Lee)
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2015, di
halaman 4 dengan judul "Ketika Petahana Memilih "Berkeringat" di Jalur
Perseorangan".http://print.kompas.com/baca/2015/09/18/Ketika-Petahana-Memilih-Berkeringat-di-Jalur-Perse
0 komentar:
Post a Comment