Sejak Jokowi-Jusuf Kalla dilantik, situasi
ekonomi bangsa kita belum menunjukkan arah dan gejala perbaikan yang
signifikan. Jargon Nawacita serta berbagai langkah yang dilakukan tim
ekonomi, ternyata belum mampu mencari jalan keluar dan landasan pondasi
ekonomi yang kokoh.
Kritis moneter suatu negara bisa dilihat
dari banyaknya modal asing yang masuk ke dalam sektor keuangan negara
tersebut. Banjirnya modal asing di sektor finansial dan perbankan
menandakan suatu negara sudah masuk ke
dalam fase awal krisis yang mengkhawatirkan. Saat ini, Indonesia sudah
memasuki fase kedua masuknya modal asing tidak hanya melalui perbankan,
tetapi juga sudah membanjiri pasar modal tanah air.
Sementara itu, pertumpuhan ekonomi diangka 4,7 persen merupakan kondisi terburuk sejak satu dasawarsa. Hal ini ditandai, misalnya dengan melemahnya nilai tukar rupiah yang telah nembus pada kisaran Rp 14.000. Jika kondisi terus berlanjut, tentu akan menjadi ancaman jika nilai tukar rupiah “terjun bebas” hingga titik yang mengkhawatirkan.
Secara sederhana, penyebab krisis disebabkan oleh dua faktor. Pertama faktor internal, yakni rendahnya penyerapan APBN. Sementara faktor eksternal, disebabkan terjadinya fluktusasi kondisi ekonomi dunia, seperti kebijakan Cina menurunkan nilai tukar mata uang. Disisi lain, sebentar lagi kita akan menghadapi pasar bebas di regional Asia Tenggara yakni disepakatinya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Lemahnya kualitas SDM dan perkembangan Industrialisasi nasional kita menjadikan MEA seakan suatu potensi ancaman buat kita.
Lalu, apa sesungguhnya akar persoalan sistem ekonomi kita. Fakta yang nyata seringkali ekonomi kita rentan dengan perkembangan krisis dunia. Kerentanan ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak mampu mengontrol ekonomi nasional. Ada ketergantungan pada alur infrastruktur ekonomi makro; tata kelola finansial dan kebijakan. Sebagamana misalnya Indonesia tidak mampu mengontrol pergerakan harga beberapa komoditi pertanian sampai harus menggelar pasar murah tomat di halaman kantor Kementerian. Ketidak-mampuan menguasai produksi dan distribusi pertanian merupakan suatu kondisi ironis.
Berbagai hulu dan hilir dari berbagai sektor tidak mampu dikontrol oleh pemerintah. Ini karena bangsa kita memang tidak memiliki bangunan industrialisasi yang kokoh yang mampu menopang satu sama lain. Dalam arus globalisasi interdepedensi ekonomi antar negara merupakan fakta yang tak bisa kita abaikan.
0 komentar:
Post a Comment