Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Orang Boleh Pandai Setinggi Langit Tapi Selama ia Tidak Menulis Ia akan hilang didalam Masyarakat dan Sejarah. Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Friday, January 31, 2020

Ketidakpuasan Jokowi atas Draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja.


Ketidakpuasan Jokowi atas Draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja.
 Kompas.com - 31/01/2020, 08:55 WIB



Lihat Foto Presiden Joko Widodo saat menghadiri peresmian Terowongan Air Nanjung di Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/1/2020). Presiden Jokowi meresmikan Terowongan Nanjung sepanjang 230 meter dengan diameter 8 meter yang dibangun sebagai salah satu langkah penanggulangan banjir di kawasan Bandung Selatan.(SETPRES/AGUS SUPARTO)Penulis Fabian Januarius Kuwado | Editor Bayu Galih JAKARTA,

 KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo disebut-sebut belum puas atas draf Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, yang merupakan salah satu omnibus law usulan pemerintah. Dalam rapat terbatas yang digelar Selasa (28/1/2020) lalu, Kepala Negara meminta supaya Kementerian Koordinator Ekonomi yang menjadi leading sector pembahasan omnibus law di eksekutif tak mengabaikan pasal-pasal proteksi dan pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah ( UMKM).

"Presiden memberikan catatan-catatan penting untuk diperhatikan dalam proses finalisasi draf," ujar Juru Bicara Kepresidenan Dini Shanti Purwono saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (30/1/2020).

 "Presiden cuma memastikan bahwa tujuan yang diharapkan dalam omnibus law (RUU) Cipta Lapangan Kerja ini tercapai," kata dia.
Presiden Jokowi ingin omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja dapat mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga lapangan kerja baru tercipta bagi masyarakat, terutama pengangguran. Presiden Jokowi juga ingin RUU Cipta Lapangan Kerja menjadi omnibus law yang justru "menggulung tikar" UMKM, melainkan menjadi "karpet merah" agar pelaku UMKM berkembang dan berdaya.
"Khusus soal UMKM, pesannya Bapak Presiden jelas bahwa UMKM tidak boleh terlukai dalam rangka cita-cita menciptakan lapangan kerja ini," ujar Dini.
Namun demikian, Dini kurang setuju apabila muncul persepsi bahwa ketidakpuasan inilah yang semata-semata menghambat penyerahan Surat Presiden (Surpres) RUU Cipta Lapangan Kerja ke DPR RI untuk segera dibahas.
Diketahui, Menteri Koordinator Ekonomi Airlangga Hartarto awalnya menyebut, Surpres RUU Cipta Lapangan Kerja ini akan dikirimkan ke parlemen pada akhir Januari. Namun, rupanya hanya Surpres RUU Perpajakan sebagai omnibus law yang dikirim ke Senayan.
"Pokoknya pada intinya Bapak Presiden hanya ingin memastikan bahwa semua aspek penting dan relevan dalam omnibus law ini sudah dipertimbangkan dan diatur dalam porsi yang tepat dan berimbang," ujar Dini.
Jangan ada penumpang gelap Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki menyampaikan, Presiden memang sangat mewanti- wanti menteri terkait soal isi omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja.
"Presiden menyampaikan dalam ratas, 'awas ya kalau ada banyak penumpang gelapnya'. Nah, jadi itu penting," ujar Teten, beberapa waktu lalu.
 "Kemudahan dalam investasi, ekspor, pendirian usaha, pembiayaan dan lain sebagainya pada UMKM. Inilah yang menjadi fokusnya Presiden. Makanya Presiden ingatkan, jangan ada penumpang gelapnya," kata dia.
Mengenai Surpres RUU Cipta Lapangan Kerja yang tertunda, Teten enggan memberikan komentar. Ia menyerahkan prosesnya ke kementerian terkait. Ia hanya memastikan bahwa usulan kementeriannya tentang proteksi dan pengembangan UMKM sudah disampaikan.
 Menteri Koordinator Ekonomi Airlangga Hartarto saat dikonfirmasi Kompas.com tidak menjawab lugas saat ditanya apakah benar Presiden Jokowi kurang puas terhadap isi omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja lantaran belum mengakomodasi poin perlindungan UMKM.
Namun, Ketua Umum Partai Golkar itu mengaku, dalam rapat internal Selasa lalu, salah satu topik yang dibahas adalah percepatan penyelesaian draf omnibus law beserta isu-isu strategis di dalamnya, termasuk UMKM. Tanpa menyebut secara rinci, ia sekaligus memastikan bahwa pasal-pasal yang menyangkut isu strategis telah masuk ke dalam draf RUU omnibus law.
"Dibahas mengenai isu-isu strategis dan seluruhnya sudah dimasukkan ke dalam omnibus law," ujar dia.
Sementara soal perlindungan dan pengembangan UMKM, Airlangga Hartarto menyebutkan, poin itu bakal masuk ke dalam daftar prioritas. Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud.
 "Itu teknis. Jadi nanti UMKM akan diberikan sektor-sektor tertentu yang hanya ditugaskan kepada UMKM. Tentu prioritasnya itu UMKM tetap dijaga sektor-sektornya serta agar UMKM diberikan ruang yang seluas-luasnya," ujar Airlangga.
 Jangan korbankan rakyat kecil
Pengamat Politik dari Indostrategi Arif Nurul Imam mengatakan, hambatan RUU omnibus law saat ini lebih nampak dari sisi internal eksekutif sendiri, bukan dari DPR RI. Hal itu disebabkan konfigurasi di parlemen yang lebih banyak diisi oleh partai politik pendukung pemerintah.
"Dominan merupakan pendukung pemerintah sehingga mereka memilih diam, bukan melakukan kontrol. Kekosongan ini kemudian diambil oleh masyarakat sipil menyuarakan kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat," ujar Arif.
Masyarakat sipil yang turun memprotes RUU omnibus law itu berasal dari kalangan buruh dan UMKM.
Melihat pertarungan kepentingan yang terjadi dalam pembahasan omnibus law di eksekutif, Arif merasa maklum apabila hingga saat ini pemerintah belum membuka draf RUU itu.
 "Kalau memang benar Presiden marah dengan isi RUU omnibus law itu, pantas saja draf itu disusunnya rahasia oleh kementerian," ujar Arif.
 Ia pun mengingatkan, RUU omnibus law harus berdampak positif bagi rakyat kecil, tidak hanya pengusaha saja.
Lima tahun ke depan merupakan periode terakhir Presiden Jokowi. Oleh sebab itu, Jokowi semestinya memberikan warisan yang positif bagi Indonesia dalam bentuk regulasi.
 "Presiden harus mengontrol benar agar RUU omnibus law bisa memberi keadilan bagi semua pihak. Jangan sampai ada dominasi kepentingan, misalnya pengusaha sehingga mengorbankan rakyat kecil," ujar Arif.

Artikel ini telah tayang di 
Kompas.com dengan judul "Ketidakpuasan Jokowi atas Draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja...",


Tuesday, January 21, 2020

Pengamat: Dinasti Politik Menghambat Kesejahteraan

Pengamat: Dinasti Politik Menghambat Kesejahteraan
Kompas.com - 20/01/2020, 15:17
(Kompas.com) Editor Farid Assifa



 KOMPAS.com - Pengamat politik dan Direktur IndoStrategi Arif Nurul Imam menilai, praktik dinasti politik akan menghambat percepatan terwujudnya demokrasi subtansial, yaitu kesejahteraan dan keadilan.
Hal demikian disampaikan Arif Nurul Imam dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Senin (20/1/2020). Pendapat Arief itu disampaikan dalam diskusi bertajuk “ Dinasti Politik dalam Konstelasi Pilkada Serentak” yang digelar Sultan Center Banten di aula Sultan Center, Serang, Banten, Minggu (19/01/2020).
Menurut Arif, praktik dinasti politik sejatinya terjadi di banyak negara, termasuk negara kampiun demokrasi.
Hanya saja, kata dia, praktik dinasti politik di luar negeri tetap menimbang aspek kapasitas, pengalaman, dan rekam jejak dan pengabdian di masyarakat. Karena itu, lanjut dia, dinasti politik semacam ini tidak memiliki dampak buruk signifikan bagi perkembangan demokrasi subtansial.
“ Dinasti politik sesungguhnya fenomena global, di Amerika ada dinasti Kennedy, Bush dan lain-lain, hanya mereka mengedepankan aspek meritokrasi bukan hanya karena masih saudara. Sementara di Indonesia, dinasti politik berjalan ke arah negatif karena hanya mempertimbangkan aspek hubungan darah, popularitas dan ketersediaan logistik,” katanya.
Dinasti politik semacam ini tentu tidak memberi dampak positif bagi demokrasi, terutama demokrasi subtansial.
Dikatakan Arif, dinasti politik ini hanya melanggengkan kekuasaan semata, tanpa memberi efek positif bagi perkembangan demokrasi. “Dinasti politik seperti ini juga menjadi hambatan mewujudkan demokrasi subtansial karena pemimpin produk dinasti politik tidak memiliki kepekaaan pada persoalan masyarakat kecil, sehingga makin sulit mewujudkan cita-cita kesejahteraan,” ujarnya.


Artikel ini telah tayang di 
Kompas.com dengan judul "Pengamat: Dinasti Politik Menghambat Kesejahteraan", https://medan.kompas.com/read/2020/01/20/15172161/pengamat-dinasti-politik-menghambat-kesejahteraan.

Monday, January 13, 2020

Legitimasi hasil Pemilu 2019 setelah OTT komisioner KPU


Legitimasi hasil Pemilu 2019 setelah OTT komisioner KPU
Arif Nurul ImamSenin, 13 Jan 2020 17:09 WIB



Tertangkapnya Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah pasti menjadi guncangan dahsyat dalam dunia kepemiluan di Tanah Air. KPK akhirnya menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024. 

Penyelenggara pemilu, termasuk KPU dituntut untuk bekerja independen dan profesional. Hal ini karena fungsi dan peran mereka merupakan penyelenggara sekaligus wasit, sehingga mesti menjunjung integritas untuk menciptakan pemilu yang jujur dan adil.
Meski pemilu sudah usai dan telah melantik pemenang kontestasi, namun ada persoalan lain dari peristiwa kasus ini. Peristiwa ini selain akan menurunkan kepercayaan publik pada KPU, juga potensial menggerus bobot dan legitimasi hasil Pemilu 2019. 
Personal atau sistematik?
Sebagaimana diberitakan oleh media, kasus suap yang melibatkan mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan ini berawal adanya pengajuan proses pergantian antarwaktu (PAW) calon legislatif yang dilayangkan PDIP kepada KPU sebanyak tiga kali yang berisi permintaan calon yang telah meninggal dunia atas nama Nazarudin Kiemas, nomor urut 1, dapil Sumatera Selatan I, suara sahnya dialihkan kepada calon atas nama Harun Masiku.
Seperti disampaikan Ketua KPU Arief Budiman, kronologi permohonan PAW anggota DPR terpilih Fraksi PDIP yang diajukan oleh tersangka suap, Harun Masiku. KPU menjelaskan PDIP mengirimkan surat sebanyak tiga kali. KPU tidak bisa mengabulkan permohonan PDIP yang dilayangkan PDIP karena Harun Masiku tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi PAW anggota DPR.
Wahyu Setiawan sebenarnya juga setuju dengan keputusan KPU menolak permintaan PDIP untuk melakukan PAW terhadap anggota DPR dari dapil Sumatera Selatan I Riezky Aprilia. Dalam tiga kali rapat pleno terkait PAW tersebut, tidak ada anggota KPU yang berbeda pendapat, semua menolak permohonan PAW caleg PDIP. 
Alasan penolakan KPU jelas dan tegas, karena sesuai dengan peraturan yang berlaku, PAW anggota DPR digantikan oleh calon anggota legislatif dengan perolehan suara terbanyak berikutnya di dapil tersebut, bukan sesuai kewenangan partai.
Jika melihat kronologi ini, setidaknya dari rapat pleno KPU, kejadian ini lebih condong bersifat personal, bukan sistematik. Asumsi ini paling tidak lantaran dalam rapat pleno tidak ada upaya penggiringan opini dan perdebatan untuk mengegolkan permintaan PDIP. Bahkan tak ada perpedaan pendapat, termasuk dari Wahyu Setiawan. Tentu ini masih bersifat tentatif, seraya menunggu penyelidikan lebih lanjut oleh penegak hukum, apakah kasus ini bersifat personal atau sistematis?
Legitimasi hasil pemilu
Selain berdampak merosotnya kepercayaan publik, langsung atau tidak, hampir dipastikan memengaruhi bobot dan legitimasi hasil Pemilu 2019. Dikatakan demikian karena, salah satu prasyarat hasil pemilu memiliki legitimasi tentu tak lepas dari independensi dan profesionalitas penyelenggara pemilu, termasuk KPU.
Pengaruh kasus ini terhadap legitimasi hasil pemilu tentu amat bergantung sejauh mana modus operandi skandal memalukan tersebut. Jika sistematik, tentu akan menjadi preseden bagi demokrasi karena legitimasi hasil pemilu akan menjadi sorotan publik yang pada gilirannya menggerus legitimasi hasil pemilu.
Sebaliknya, jika ini bersifat personal, tentu dampaknya tak begitu besar bagi legitimasi hasil pemilu. Meski begitu, juga tak bisa disimpulkan kemudian bahwa tak memiliki efek tehadap hasil pemilu. Pendek kata, dampaknya pasti ada, hanya tidak signifikan dalam memengaruhi legitimasi hasil pemilu. Peristiwa memalukan ini tentu mencederai demokrasi sekaligus mencoreng wajah seluruh jajaran penyelenggara pemilu dari tingkat pusat hingga tingkat paling bawah. 
Filosof Frans Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik, Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern membuat semacam patokan soal legitimasi negara bahwa setidaknya negara harus memiliki pengakuan masyarakat. Pengakuan masyarakat terhadap hukum dan untuk menjamin keberlakuan hakikat negara. Negara berkuasa karena masyarakat mengakui kewenangannya. Itu sebabnya, kestabilan negara tergantung dari pengakuan wewenang oleh masyarakat. Pendek kata, minimnya pengakuan masyarakat, maka berimplikasi atas legitimasi akan luntur atau sirna.

Padahal merujuk pendapat begawan filsafat tersebut, pemerintahan yang legitimite mesti memiliki dukungan masyarakat secara luas. Pengakuan masyarakat terhadap hasil pemilu, oleh sebab itu, menjadi penting dan menentukan terhadap bobot dan legitimasi pemerintahan. Makin tinggi pengakuan masyarakat terhadap hasil pemilu maka secara pararel legitimasi pemerintahan juga makin tinggi. Begitu pula sebaliknya, makin rendah kepercayaan terhadap hasil pemilu juga berimplikasi makin menurunnya legitimasi pemerintahan hasil pemilu.
Di tengah peristiwa ini, sebaiknya jadi momentum untuk melakukan evaluasi, pembenahan dan menata sistem sehingga di satu sisi akan terjadi perbaikan, dan di sisi lain akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan publik pada KPU sekaligus memiliki legitimasi politik yang kuat sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen dan profesional. Dengan demikian, legitimasi hasil pemilu kembali menguat dan dipercaya publik.