Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Orang Boleh Pandai Setinggi Langit Tapi Selama ia Tidak Menulis Ia akan hilang didalam Masyarakat dan Sejarah. Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Ini adalah Blog Arif Nurul Imam

"Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian".

Monday, December 26, 2016

Tanggapan Ketua DPP PDIP Terkait Komentar saya tentang Penambahan Kursi Pimpinan DPR/MPR

DPR Akan Tetap Stagnan, Revisi UU MD3 Hanya Bagi-Bagi Kekuasaan

Minggu, 25 Desember 2016 | 20:03

INDOPOS.CO.ID - Relevansi dalam meningkatkan fungsi dan kinerja parlemen tidak  memiliki pengaruh apapun yang signifikan. Merevisi UU 17/2014 atau UU MD3 pun, apalagi hanya menambah wakil ketua DPR untuk PDIP, tidak akan berpangaruh apa-apa tehadap kinerja parlemen.

 Analis Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Imam menilai, langkah revisi UU MD3 ini sekadar bagi-bagi kekuasaan, menjalankan politik akomodasi untuk memberi jatah kursi PDIP. 

"Di tengah buruknya citra parlemen dan kinerja yang tak maksimal, tentu penambahan kursi pimpinan DPR/MPR ini layak dipertanyakan. Karena, penambahan kursi ini bukan berdasar kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas kinerja yang hanya akan menambah beban negara, tapi tak bakal menaikkan kinerjanya. 

Sebagai contoh pada tahun 2016, lanjutnya, dari 50 RUU yang ditargetkan, hanya 16 yang tercapai. Bahkan, hanya empat RUU yang murni produk DPR,” paparnya, Minggu (25/12/2016).

PDIP sebagai pemenang Pemilu 2014 lalu, kata Arief, merasa berhak atas jatah kursi pimpinan DPR dan MPR. Tetapi akibat terjadi perubahan UU MD3 yang mengubah metode pemilihan pimpinan menjadi sistem paket sehingga PDIP sebagai partai pemenang pemilu tidak otomatis mendapat posisi Ketua DPR.

"Tantangan DPR saat ini adalah bagaimana meningkatkan kepercayaan publik dengan menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal, bukan justru sekadar bagi-bagi kekuasaan. DPR mesti menerapkan politik kinerja, bukan politik akomodasi," ujarnya.

Tanggapan Ketua DPP PDIP

Terpisah, Ketua DPP PDIP, Andreas Hugo Pareira mengatakan, partainya membantah mengejar kursi pimpinan DPR/MPR terkait Revisi UU MD3. Justru, revisi itu untuk mengembalikan jatah yang seharusnya dimiliki PDIP. 

"Untuk menciptakan keseimbangan representasi proporsional. Karena PDIP kan partai pemenang pileg 2014 dan teman-teman fraksi lain pun bisa memahami," kata Andreas ketika dikonfirmasi, Minggu (25/12).

Andreas menuturkan, perubahan konstelasi komposisi politik terjadi di DPR serta berakhirnya KIH dan KMP sehingga UU MD3 direvisi. Revisi tersebut untuk menciptakan keseimbangan representasi proporsional di pimpinan MPR/DPR dan alat kelengkapan dewan.

"Sehingga ini akan memperlancar proses pengambilan keputusan di MPR/DPR dan alat kelengkapan dewan serta memciptakan hubungan yang lebih sinergis dengan pemerintah dalam mekanisme pengawasan dan pengambilan keputusan," imbuhnya. 

Sebelumnya, DPD RI kian gencar melakukan manuver menjegal niatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meraih kursi pimpinan DPR/MPR RI. Lembaga senator itu menyebut Revisi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) sekedar bagi-bagi kekuasaan partai politik tertentu. Namun, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tak pedulikan hal tersebut.

Sekretaris Kelompok DPD di MPR RI, Muh Asri Anas mengatakan, jika pemerintah mendukung Revisi UU MD3 berarti tidak ada bedanya dengan DPR yang kerap hanya berpikir UU bisa diubah untuk 'syahwat' kekuasaan. 

"Sekali lagi ditegaskan DPD RI menolak jika Revisi UU MD3 hanya untuk bagi-bagi kekuasaan, untuk kepentingan elite politik atau pihak tertentu," ungkapnya kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Rabu (21/12). (aen)‎






Analis: Penambahan Kursi Pimpinan DPR/MPR Cuma Politik Akomodasi

Sunday, 25 December 2016, 19:58 WIB
Red: Heri Ruslan
dok pri
 Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.
Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah DPR merevisi Undang-Undang Nomor 42 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dengan agenda penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR menuai kritik. 

Analis Politik POINT Indonesia Arif Nurul Imam menilai, langkah DPR merevisi  UU MD3 tak memiliki relevansi dalam meningkatkan fungsi dan kinerja parlemen.  Menurut dia, upaya revisi UU MD3 ini sekadar bagi-bagi kekuasaan dan menjalankan politik akomodasi untuk memberi jatah kursi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).  

"“Di tengah buruknya citra parlemen dan kinerja yang tak maksimal, tentu penambahan kursi pimpinan DPR/MPR ini layak dipertanyakan," ujar Arif kepada Republika.co.id, Ahad (25/12).

Arif menegaskan, penambahan kursi pimpinan DPR tak berdasar kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas kinerja. Yang ada, kata dia, justru akan menambah beban negara. "Sebagai contoh pada tahun 2016, dari 50 RUU yang ditargetkan, hanya 16 yang tercapai. Bahkan, hanya empat RUU yang murni produk DPR,” cetus Arif.

Penambahan Kursi Pimpinan DPR/MPR Hanya Jadi Beban Negara

POLITIK  MINGGU, 25 DESEMBER 2016 , 07:10:00 WIB |
 LAPORAN: DEDE ZAKI MUBAROPenambahan Kursi Pimpinan DPR/MPR Hanya Jadi Beban Negara
Ilustrasi/Net

RMOL. Langkah DPR merevisi UU 42/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dengan agenda penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR sesungguhnya tak memiliki relevansi dalam meningkatkan fungsi dan kinerja parlemen.
B
Meski demikian, revisi terbatas UU MD3 itu telah disepakati Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.

Analis Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Imam menilai, langkah revisi UU MD3 ini sekadar bagi-bagi kekuasaan, menjalankan politik akomodasi untuk memberi jatah kursi PDI Perjuangan.

"Di tengah buruknya citra parlemen dan kinerja yang tak maksimal, tentu penambahan kursi pimpinan DPR/MPR ini layak dipertanyakan. Karena, penambahan kursi ini bukan berdasar kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas kinerja yang hanya akan menambah beban negara, tapi tak bakal menaikkan kinerjanya. Sebagai contoh pada tahun 2016, lanjutnya, dari 50 RUU yang ditargetkan, hanya 16 yang tercapai. Bahkan, hanya empat RUU yang murni produk DPR,” ujar Arif.

Friday, December 9, 2016

Analis: Pemilih Tradisional Berpotensi Jadi Bandul Kemenangan di Pilkada DKI

Jumat, 09 Desember 2016, 17:33 WIB
Red: Heri Ruslan
dok pri
 Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.
Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.


REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tak ubahnya magnet yang menarik perhatian publik secara luas. Analis Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Iman menilai, pesta demokrasi di Ibu Kota seperti “Pilpres mini” karena menyita perhatian publik, bukan hanya warga Jakarta yang memiliki hak pilih, melainkan pula warga di berbagai daerah di Tanah Air.


"Meskipun otonomi daerah telah diterapkan lebih dari satu dasawarsa, fenomena tersebut sesungguhnya dapat dipahami; lantaran Jakarta adalah Ibu kota Negara yang pada akhirnya menjadi gambaran wajah Indonesia," ujar Arif kepada Republika.co.id, Jumat (9/12).

Meski begitu, kata Arif, pada akhirnya yang menentukan siapa yang bakal menjadi kepala daerah adalah pemilih Jakarta. Itulah sebabnya, papar Arif, melihat peta pemilih Jakarta merupakan cara efektif untuk melihat sejauhmana peluang masing-masing pasangan calon yang maju dalam bursa Pilkada DKI.

"Sebagai kota metropolitan, Jakarta tentu memiliki karakteristik pemilih yang berbeda dengan daerah lain. Di lihat dari segi pendidikan, tingkat pendapatan, ataupun komsumsi informasi, warga Ibukota bisa dipastikan lebih unggul. Derajat komsumsi informasi yang tinggi, misalnya menjadikan Pilkada paling “berisik” di republik ini," ungkap Arif.